Juara Dunia, Juara di Hati Orangtua
Meski dalam kondisi yang berbeda, tidak akan membatasi seseorang untuk berprestasi. Muhammad Nur Saliim Madek (14) menegaskan hal itu setelah menjadi juara dunia di lapangan bulu tangkis.
Di mata kedua orangtuanya, Muhammad Nur Saliim Madek (14) tidak hanya sebagai juara dunia di lapangan bulu tangkis. Penyandang tunarungu ini juga dianggap sebagai juara kemanusiaan di hati mereka.
Bersama Ilyas Rachman Riyandhani, Saliim berhasil meraih medali emas dalam ajang World Deaf Badminton Championship 2019 di Taipei, Taiwan, Juli lalu. Di partai pamungkas, mereka mengalahkan pasangan ganda putra India dengan skor ketat, 18-21, 21-14, 22-20.
Sujud syukur, hal pertama yang dilakukan Saliim. Tangisnya pun tak terbendung. Ia seolah tak percaya kejuaraan internasional pertama yang diikutinya ini langsung berbuah emas. Apalagi, ini adalah pertama kalinya Saliim berduet dengan Ilyas pada kompetisi resmi.
”Susah lawannya dari India. Ini juga pertama kali, napas berat,” ujar Saliim sambil terbata-bata.
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Olahraga Tunarungu Indonesia (Porturin) Harpalis Alwi, sang pelatih saat itu, Gesha Salo, membuat keputusan jeli. Ilyas, yang selama ini dipasangkan dengan pemain lain, secara mengejutkan malah dipasangkan dengan Saliim yang berusia lima tahun lebih muda.
Saat ditemui di rumahnya di Desa Ragajaya, Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Kamis (12/12/2019), Saliim tampak mengenakan jersi tim nasional bulu tangkis Indonesia. Beberapa bendera Indonesia juga terpasang di tiang-tiang penyangga tangga menuju kamarnya.
Di sudut ruang keluarga, sejumlah trofi dipamerkan di atas rak buku. Di urutan paling depan berdiri sebuah trofi bertuliskan Juara I Tunggal Putra Pelajar Kejuaraan Bulu Tangkis Tuna Rungu se-DKI Jakarta. Setiap tahun sejak 2014, Saliim memang rajin membawa pulang dua hingga enam trofi kejuaraan tingkat daerah ataupun nasional ke rumahnya.
Kecintaannya terhadap bulu tangkis bermula saat Saliim berusia dua tahun. Ayahnya, Mulyadi Madek, yang menjadi pelatih bulu tangkis, beberapa kali mengajaknya ke lapangan. Tak disangka, di usianya yang sangat belia tersebut, Saliim mulai mengidolakan sosok ayahnya. ”Usia dua tahun ikut ayah melatih, keren,” kata Saliim sambil mengangkat kedua jempolnya.
Kecintaannya terhadap bulu tangkis bermula saat Saliim berusia dua tahun.
Mulyadi mengaku, keluarga besarnya memang dikenal amat mencintai bulu tangkis. Tidak hanya ia dan istrinya, Sari Siti Rohani, yang pernah meniti karier sebagai atlet bulu tangkis, tetapi kakak dan adiknya pun mencintai olahraga yang sama.
Meski begitu, ia dan istri sama sekali tidak berniat untuk mengarahkan Saliim mengikuti jejaknya. Menjadi atlet bulu tangkis adalah cita-cita pribadi Saliim. Keduanya bahkan tidak pernah menyangka bahwa Saliim mampu menjadi juara dunia.
Kepedulian tinggi
Namun, bukan predikat juara dunia yang paling membuat Mulyadi dan Sari takjub terhadap Saliim. Lebih dari itu, dikaruniai anak seperti Saliim membuat mereka belajar banyak tentang nilai-nilai kehidupan. Meski memiliki ”kekurangan”, mereka menilai Saliim memiliki kelebihan yang hanya dimiliki oleh segelintir orang lewat jiwa kepeduliannya yang tinggi.
Dalam sebuah ajang kejuaraan bulu tangkis se-DKI Jakarta, Saliim pernah berhadapan dengan salah satu temannya di laga final. Berdasarkan prestasi-prestasi sebelumnya, penonton menganggap laga tersebut akan dimenangi dengan mudah oleh Saliim.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya, Saliim tak bermain seperti biasa. Saat ditanya apakah ada hal yang tidak beres, ia hanya terdiam. Laga berakhir, Saliim kalah. Ia masih terdiam meski Mulyadi berkali-kali menanyainya.
Sesampainya di rumah, ia bercerita kepada ibunya bahwa ia baru saja menjalani pertandingan yang berat. Yang memberatkan bukanlah kemampuan si lawan, melainkan kemampuan melawan egonya sendiri. Saat itu, Saliim mengaku bahwa dirinya sengaja mengalah demi lawan.
Banyak hal yang bisa kami pelajari dari Saliim. Dia memang memiliki kepedulian yang tinggi, termasuk saat saya sakit. Dia yang paling sigap merawat.
Sambil menangis, dia mengaku iba dengan lawan yang juga teman akrabnya tersebut lantaran selama ini jarang mendapatkan juara. Dibandingkan dengan dirinya, jumlah medali atau trofi yang dikoleksi berbeda jauh.
Dari kejadian itu Mulyadi menyadari, juara di mata Saliim bukan semata-mata tentang hadiah atau trofi, melainkan tentang kemanusiaan. ”Banyak hal yang bisa kami pelajari dari Saliim. Dia memang memiliki kepedulian yang tinggi, termasuk saat saya sakit. Dia yang paling sigap merawat,” kata Mulyadi.
Satu tahun
Mulyadi dan Sari menyadari bahwa Saliim ”berbeda” dari dua anak mereka sebelumnya saat berusia satu tahun. Kala itu, Salim terlihat kurang peka pada bunyi-bunyian yang keras. Dokter mendiagnosis Salim mengalami gangguan pada saraf sehingga pendengarannya tak berfungsi.
Bukannya meratapi, Mulyadi dan Sari menganggap bahwa kenyataan itu adalah ”pekerjaan rumah” yang diberikan Tuhan kepada mereka. Hingga detik ini, keduanya tak pernah memperlakukan Saliim berbeda dengan dua kakak dan satu adiknya.
Begitu pula dengan Saliim. Semangatnya untuk menjadi atlet bulu tangkis sama kuatnya dengan semangatnya bersekolah. Sejak bersekolah di SDLB Santi Rama Jakarta, ia tak pernah absen berlatih di lapangan bulu tangkis dekat rumahnya bersama ayah dan kakaknya sepulang sekolah.
Hal itu terus berlanjut hingga kini. Kini, ia duduk di kelas II SMPLB Negeri 02 Lenteng Agung. Ia juga rutin berlatih bulu tangkis di lapangan Victory Badminton Club Bogor selepas pulang sekolah.
”Kebanyakan di sana, para atlet hanya fokus menjadi atlet. Tapi Saliim tak mau, ia tetap ingin bersekolah seperti biasa,” kata Mulyadi. ”Pihak sekolah pernah menawarinya untuk bersekolah hanya di hari-hari tertentu saja, tetapi ia menolak,” katanya.
Kebanyakan di sana, para atlet hanya fokus menjadi atlet. Tapi, Saliim tak mau. Ia tetap ingin bersekolah seperti biasa.
Kerja keras Saliim dan kesabaran keluarga kini berbuah manis. Sebagai peraih medali emas, ia menerima bonus dari Kementerian Pemuda dan Olahraga dalam peringatan Hari Olah Raga Nasional 2019. Jumlahnya tidak kurang dari Rp 40 juta.
Mulyadi bersyukur, bonus tersebut selain membantu perekonomian keluarga juga berguna untuk modal latihan Saliim ke depan. Kini, Saliim punya impian untuk dapat bergabung dan tinggal di asrama Sekolah Khusus Olahragawan Ragunan, Jakarta Selatan.