Meluruhkan Keterbelahan Masyarakat, Menatap Era 4.0
Oleh
Antony Lee
·5 menit baca
Setelah melalui tahun politik 2019 yang melelahkan, bangsa Indonesia masih punya pekerjaan rumah yang besar menapaki 2020; meluruhkan pembelahan masyarakat yang sudah mengkhawatirkan. Hal itu dibutuhkan agar imaji sebagai satu ”komunitas terbayang” bernama Indonesia tetap terjaga di tengah perubahan yang berlangsung cepat.
Setelah Pemilu 2019, dua rival di Pemilihan Presiden 2014 dan 2019, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sudah bergandengan tangan dan bekerja dalam pemerintahan yang sama. Polarisasi antara pendukung Jokowi dan Prabowo, yang begitu masif berlangsung di ranah digital ataupun di ranah offline saat pemilu, kini sudah sedikit mereda. Di media sosial memang masih kerap muncul ”benturan” pandangan dan komentar di antara pendukung tokoh itu, tetapi skalanya sudah jauh berkurang.
Hanya saja, pembelahan yang membuat masyarakat berhadap-hadapan dalam dua kutub yang ekstrem itu bisa jadi hanya dorman. Sewaktu-waktu, ia bisa kembali bangkit jika ada momen dan aktor yang tepat. Ini karena polarisasi muncul tidak semata-mata akibat kontestasi sengit di antara dua aktor politik. Polarisasi menunjukkan simtom dari persoalan kronis di masyarakat, salah satunya kesenjangan yang memunculkan rasa ketidakadilan sehingga masyarakat mudah larut dalam narasi biner antara ”kami” dan ”kalian”.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia mengalami pembelahan masyarakat yang tergolong parah. Hal ini tergambar dari indikator Polarisasi Masyarakat dalam komponen Indeks Varieties of Democracy dari V-Dem Institute, Swedia. Pada 2018, Indonesia mendapat nilai 0,27. Sementara nilai rata-rata Asia Tenggara pada tahun yang sama 1,7. Dari skala 0-4, angka 0 menandai polarisasi serius; terdapat perbedaan pandangan masyarakat dalam hampir setiap isu politik. Skor 1 menandai polarisasi moderat, nilai 2 menengah, skor 3 polarisasi terbatas, sedangkan nilai 4 ketiadaan polarisasi.
Fragile State Index atau Indeks Negara Rentan juga mengindikasikan hal yang sama. Dalam 14 tahun terakhir, ketahanan Indonesia menghadapi tekanan terus membaik. Namun, indikator ketidakpuasan kelompok justru memburuk. Tahun 2006, skor Indonesia untuk indikator ini 6,3. Tahun 2019, skor Indonesia 7,3. Dari skala 0-10, semakin mendekati 10, semakin buruk nilai sebuah indikator. Ketidakpuasan kelompok fokus pada pembelahan dan perpecahan antarkelompok di masyarakat.
Polarisasi itu perlu segera diatasi karena di era perubahan yang kini sangat cepat, makin tidak mudah menjaga imaji sebagai satu ”komunitas terbayang” bernama Indonesia. Revolusi industri 4.0 diprediksi beberapa lembaga think tank, dalam 5-10 tahun mendatang, akan makin terakselerasi; mengubah struktur ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Revolusi industri 4.0 akan ditandai konvergensi inovasi digital, biologi, dan lahiriah. Proses produksi antara lain akan dipengaruhi otomasi, penggunaan mahadata, serta internet of things, yakni koneksi peranti di sekeliling manusia dengan jaringan internet.
Era 4.0 menjadi tahap keempat revolusi industri. Revolusi industri 1.0 ditandai dengan mekanisasi produksi dan penemuan mesin uap; revolusi industri 2.0 ditandai dengan produksi massal dan penemuan listrik; dan industri 3.0 ditandai dengan internet, penggunaan elektronik dan otomasi dalam produksi (Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution, Brittanica.com). Dari sisi positif, revolusi industri tahap keempat membuka kesempatan luas bagi mereka yang mampu beradaptasi dengan perubahan itu. Akan muncul jenis-jenis dan lapangan pekerjaan baru.
Di sisi lain, otomasi juga bisa membuat sebagian orang kehilangan pekerjaan karena jenis pekerjaan rutin digantikan kecerdasan buatan dan mesin. Selain itu, gig economy yang menyertai era 4.0 akan memunculkan lebih banyak jenis pekerjaan temporer. Implikasi sosial politik dari fenomena ini tak bisa diremehkan karena berpotensi memperbesar kelas sosial prekariat yang gelisah, marah, dan merasa teralienasi.
Guy Standing dalam The Precariat: The New Dangerous Class (2011) menuturkan, prekariat ialah mereka yang konstan berada dalam pekerjaan temporer dan penuh ketidakpastian. Selain itu, orang-orang yang diharuskan bekerja multitasking berlebih, tidak bisa mengontrol waktunya sendiri, dan menghadapi tekanan terus-menerus juga bisa menjadi prekariat.
Kondisi itu rentan menjadi ladang subur pembelahan masyarakat yang akhirnya bakal merusak kohesi sosial yang selama ini menyatukan Indonesia yang beragam. Apalagi jika muncul entrepreneur of identity yang mengarahkan kemarahan dan kegelisahan itu kepada ”kambing hitam” tertentu; sistem bernegara, kelompok sosial-ekonomi, atau etnis tertentu.
Oleh karena itu, pemerintah yang bekerja demi rakyat lewat kebijakan dan program pembangunan inklusif menjadi amat dibutuhkan agar tidak ada komponen masyarakat yang merasa terpinggirkan. Pemerintah perlu menjadi relevan bagi rakyatnya. Bersamaan dengan itu, memberantas korupsi yang selama ini merusak lapangan bermain yang setara bagi masyarakat tetap harus menjadi program prioritas pemerintah.
Kontrol masyarakat sipil
Pemilu 2019, dengan berbagai kelebihan dan kekurangan, berlangsung aman. Politik nasional seusai pemilu, secara teori, bisa stabil setelah pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin ”menguasai” 74,26 persen kursi DPR.
Dengan komposisi DPR yang didominasi partai politik pendukung pemerintah, secara teori akan membuat penyusunan regulasi dan rancangan anggaran bisa lebih mudah dilakukan. Dengan begitu, program yang dijanjikan saat kampanye pemilu bisa lebih mudah dieksekusi.
Di sisi lain, kekuasaan yang terkonsolidasi juga perlu dijalankan dalam koridor yang tetap menjamin kebebasan sipil warga negara dalam menyampaikan aspirasi, pendapat, dan kritik. Suara publik harus didengar.
Elite perlu memetik pelajaran dari rangkaian unjuk rasa September 2019 yang merefleksikan kemarahan rakyat karena merasa suaranya diabaikan. Elemen masyarakat di banyak kota memprotes DPR 2014-2019 yang di ujung masa jabatannya buru-buru membahas dan mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang yang dinilai masih punya konten bermasalah, termasuk revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Revisi UU itu dianggap melemahkan KPK.
Di tengah kekuatan elite yang terkonsolidasi, bangsa Indonesia juga memerlukan masyarakat sipil yang kuat guna memastikan elite bekerja akuntabel untuk rakyat serta menjamin dalam proses itu hak-hak masyarakat terlindungi. Daron Acemoglu dan James Robinson dalam The Narrow Corridor: States, Societies, and the Fate of Liberty (2019) mengingatkan masyarakat harus ambil peran mengontrol para elite. Sebab, mereka pesimistis model kontrol dari ”atas” yang dilakukan sesama elite akan berjalan baik.
Semoga pada tahun yang baru, masyarakat sipil menjadi makin kuat dan pemerintah mewujudkan kebijakan yang inklusif bagi semua elemen masyarakat.