Wacana tentang dibukanya ekspor benih lobster oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menuai reaksi pro dan kontra di publik. Perang opini dan tarik-menarik kepentingan perihal benih lobster menjadi viral di media sosial dan forum diskusi publik.
Kajian tentang ekspor benih lobster merupakan bagian dari rencana pemerintah merevisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/2016 tentang Larangan Penangkapan dan Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) dari Wilayah Negara RI. Ketentuan itu mencakup larangan penangkapan benih lobster untuk diekspor maupun untuk tujuan budidaya.
Berdasarkan pasal 2 aturan tersebut, penangkapan dan/atau pengeluaran lobster hanya dapat dilakukan jika lobster tidak dalam kondisi bertelur. Syarat lain, ukuran panjang karapas di atas 8 sentimeter (cm) atau berat di atas 200 gram per ekor. Dalam pasal 7 ayat 1, setiap orang dilarang menjual benih lobster untuk budidaya.
Sebelum regulasi itu terbit, puluhan juta ekor benih lobster mengalir deras setiap tahun ke luar negeri, dengan tujuan utama Vietnam. Oleh Vietnam, benih asal Indonesia itu dibesarkan menjadi ukuran konsumsi, kemudian diekspor lagi dengan nilai tambah berkali-kali lipat.
Sebaliknya, Indonesia tidak serius memanfaatkan benih untuk nilai tambah. Budidaya lobster nyaris tak berkembang. Selama puluhan tahun, riset balai-balai perikanan untuk teknologi pembesaran lobster berlangsung lamban. Pemerintah bahkan belum memiliki data riil stok sebagai basis pengembangan lobster.
Faktanya, regulasi larangan ekspor benih lobster yang diikuti pengawasan TNI, bea dan cukai, kepolisian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak mampu membendung penyelundupan. Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan merilis, penyelundupan ke luar negeri berlangsung marak lewat jalur darat, laut, dan udara dengan modus yang terus berubah.
Berdasarkan data KKP. Indonesia mampu menghasilkan tangkapan 50 juta-60 juta ekor benih lobster per tahun, namun sebagian besar diselundupkan. Di alam, tingkat hidup (SR) benih lobster hanya 1 persen. Sementara, Vietnam yang memproduksi 2 juta-3 juta benih lobster per tahun mampu membesarkan benih dengan SR 70-80 persen.
Dua opsi kebijakan kini tengah dikaji pemerintah, yakni perdagangan benih dan pengembangan budidaya lobster. Jika keran ekspor benih dibuka, keuntungan sesaat akan diraih, namun sulit berharap teknologi budidaya lobster dalam negeri akan tumbuh. Nilai tambah bagi Indonesia sangat kecil jika keran ekspor benih lobster dibuka.
Keberlanjutan benih lobster patut terus dijaga tanpa menghalangi kegiatan perekonomian pelaku usaha yang menggantungkan hidup dari lobster. Dibutuhkan keberpihakan pemerintah untuk menjadikan budidaya lobster sebagai tuan rumah di negeri sendiri, sejalan dengan amanat presiden untuk memajukan sektor perikanan budidaya.
Terobosan menggarap budidaya lobster dinantikan, seperti kesiapan sumber daya manusia, pendataan stok lobster, penentuan lokasi budidaya, teknologi pembesaran, pakan, hingga akses pasar. Indonesia dapat meniru teknologi Vietnam atau mengundang investor luar untuk berinvestasi dengan jaminan transfer teknologi.
Sebagai ilustrasi, Vietnam menggunakan variasi empat jenis pakan untuk lobster, yakni ikan rucah, kepiting, kerang-kerangan, dan udang. Sementara, Indonesia masih bergelut dengan pakan yang sulit didapat dan mahal. Dari akses pasar, harga jual lobster untuk konsumsi di Vietnam berkisar Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per kilogram (kg), sedangkan di Indonesia Rp 200.000-Rp 300.000 per kg.
Kendati jauh tertinggal dari sisi teknologi, belum ada kata terlambat untuk menggarap budidaya lobster. Inilah momentum bagi Indonesia untuk mengelola benih yang berlimpah dalam budidaya terpadu (hulu-hilir), meningkatkan ekspor bernilai tambah, dan devisa negara. Perikanan berkelanjutan yang bernilai tambah adalah masa depan. (BM Lukita Grahadyarini)