Belum ada data terpilah berdasarkan ragam disabilitas membuat proses perencanaan kebijakan pembangunan yang inklusif menjadi sulit terwujud, hak-hak penyandang disabilitas pun sulit terpenuhi.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati jumlah penyandang disabilitas sudah diketahui sebesar sekitar 21,84 juta atau sekitar 8,56 persen, tetapi belum ada data terpilah berdasarkan ragam disabilitas. Kondisi ini membuat proses perencanaan kebijakan pembangunan yang inklusif sulit terwujud, hak-hak penyandang disabilitas pun sulit terpenuhi.
Untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif demi kesetaraan penyandang disabilitas, Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial telah menginisiasi Sistem Informasi Penyandang Disabilitas (SIMPD) yang dapat diakses secara daring melalui alamat https://simpd.kemsos.go.id. Saat ini, data terpilah berdasarkan ragam disabilitas baru mencapai 185.000 orang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, terdapat lima ragam disabilitas, meliputi disabilitas fisik, mental, sensorik, intelektual, dan ganda. “Soal data, kami sudah meminta Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial segera memperbaiki. Tapi itu kan perlu proses. Tapi kami akan terus berupaya memperbaikinya,” ujar Menteri Sosial Juliari Peter Batubara di Jakarta, Selasa (17/12/2019).
Bahrul Fuad, Konsultan Disabilitas dan Inklusi Sosial Program Peduli The Asia Foundation, mengungkapkan persoalan disabilitas tidak bisa dilepaskan dari data. Karena itu pemerintah perlu memastikan tersedianya Data Induk Disabilitas yang terhubung mulai tingkat desa hingga tingkat nasional.
Diakuinya, tidak mudah untuk mendapatkan angka populasi disabilitas yang akurat di Indonesia. Sementara data yang dipakai masih mengandalkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang melalui Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukan 8,56 persen penduduk Indonesia mengalami disabilitas.
Secara terpisah, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Gufroni Sakaril mengatakan, dengan tidak adanya data rinci penyandang disabilitas, sulit menggambar situasi dan kondisi penyandang disabilitas. “Dibutuhkan data by name by address. Dari 21,84 juta penyandang disabilitas, siapa-siapa saja mereka, jenis disabilitas seperti apa, umur berapa, tingkat pendidikan seperti apa, sehingga program-program yang dijalankan pemerintah itu lebih efektif dan efisien,” ujar Gufroni.
Peluang kerja
Dari sisi regulasi, UU Penyandang Disabilitas mengatur bahwa lembaga pemerintah wajib menerima penyandang disabilitas sebesar 2 persen dari total karyawan, sedangkan perusahaan swasta 1 persen dari total karyawan.
Namun, “Ketika penyandang disabilitas melamar pekerjaan di bidang tertentu, yang menentukan bukan UU, yang menentukan peraturan di bawahnya. Jadi harus dipastikan ada harmonisasi di UU. Aturan turunannya harus selaras UU,” kata Prof Irwanto dari Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya, pegiat isu disabilitas.
Juliari mengatakan, Kemsos sudah menerapkan undang-undang tersebut. Sebanyak 2 persen dari 3.909 karyawan di Kemensos adalah penyandang disabilitas. Dia berharap langkah ini segera diikuti kementerian/lembaga lain.
Sebanyak 2 persen dari 3.909 karyawan di Kemensos adalah penyandang disabilitas.
Kemsos bersama Kelompok Kerja Penyandang Disabilitas juga telah menyusun pedoman aksesibilitas kerja bagi penyandang disabilitas. Ini akan menjadi acuan pemerintah dan swasta dalam merekrut tenaga kerja disabilitas.
Terkait pelaksanaan UU Penyandang Disabilitas, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 52/2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas, dan PP Nomor 70/2019 tentang Rencana Pembangunan Inklusif Disabilitas yang mewajibkan pemerintah pusat/daerah untuk melibatkan penyandang disabilitas dalam proses pembangunan.
Untuk pemenuhan hak kesejahteraan sosial, selain menyalurkan 13.000 Kartu Penyandang Disabilitas, Kemsos menyalurkan bantuan sosial melalui Program Keluarga Harapan, di antaranya 119.311 penerima manfaat dari penyandang disabilitas. Sebanyak 7.070 alat bantu penyandang disabilitas juga telah disalurkan.
“Di bidang olahraga, Kemsos menfasilitasi Asian Para Games 2018. Sebanyak 71 atlet dari 293 atlet yang bertanding di ajang olahraga itu adalah siswa binaan Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas,” ujar Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kemsos Edi Suharto.
Pemerintah juga membenahi lembaga-lembaga rahabilitasi sosial, termasuk melakukan akreditasi panti-panti sosial. Sejumlah Lembaga Kesejahteraan Sosial melalui BRSPD juga menggelar pelatihan bagi penyandang disabilitas agar berdaya secara ekonomi.
Sekretaris Jenderal Kemensos Hartono Laras menambahkan, untuk menyiapkan tenaga kerja dari penyandang disabilitas, pemerintah mendorong pihak swasta untuk berperan serta. Pada Senin (16/12), Mensos hadir meletakkan batu pertama untuk pembangunan bengkel kerja khusus penyandang disabilitas ‘Ability Hub’ di kawasan industri Metland Cibitung, Bekasi, Jawa Barat, yang akan dibangun PT Metropolitan Land Tbk melalui Yayasan Metropolitan Peduli.
Di tingkat daerah sejumlah kota/kabupaten membuat kebijakan dan program yang berpihak pada disabilitas. Pemerintah Kota Surabaya misalnya, sejak April 2018 membangun layanan pijat yang berada di Mal Pelayanan Publik Siola yang dikunjungi lebih dari 1.000 orang per hari. Seluruh terapis di tempat tersebut merupakan tuna netra yang memiliki keahlian pijat dan bersertifikat.
Pemkot Surabaya juga membuka panti pijat tunanetra di Taman Bungkul dan hotel. Penyandang diasbilitas juga bekerja sebagai petugas sekretariat di sejumlah kantor organisasi pemerintahan daerah. “Kami memberi kesempatan kepada penyandang disabilitas agar mereka bisa mandiri, tidak lagi bergantung kepada orang lain,” kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, pekan lalu, di Surabaya.
Di Solo, Jawa Tengah, Pemkot membangun membangun fasilitas ramp di sejumlah fasilitas publik seperti halte bus Batik Solo Trans, gedung-gedung pemerintahan Kota Solo, puskesmas, pasar tradisional, dan terminal. Selain itu, Balai Latihan Kerja Solo juga inklusif bagi penyandang disabilitas. Bahkan Kota Solo memiliki Tim Advokasi Difabel yang menjaring aspirasi dan mengidentifikasi masalah penyandang disabilitas.
“Dari sisi pendidikan, sekolah-sekolah di Solo sudah inklusif,” kata Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo di Solo, pekan lalu.
Kendati sudah ada daerah yang ramah disabilitas, Fajri Nursyamsi, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), yang juga termasuk dalam Koalisi Nasional Kelompok Kerja RUU Penyandang Disabilitas menilai, kendala terbesar yang dialami pemerintah pusat dan daerah dalam mengimplementasikan UU Penyandang Disabilitas adalah minimnya contoh baik pelayanan dan kurangnya interaksi pemerintah dengan para penyandang disabilitas.
“Karena itu, pelibatan penyandang disabilitas dalam pengambilan kebijakan atau pembentukan peraturan menjadi sangat penting. Dengan begitu, ada proses saling mengenal, dan proses saling memahami kebutuhan masing-masing,” katanya.