Meski sudah setahun lebih teror bom terjadi di tiga gereja di Surabaya, yakni pada Mei 2018, peristiwa itu masih membekas di benak masyarakat korban. Rentetan teror bom di sejumlah gereja juga pernah terjadi sebelumnya.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
Meski sudah setahun lebih teror bom terjadi di tiga gereja di Surabaya, yakni pada Mei 2018, peristiwa itu masih membekas di benak masyarakat korban. Rentetan teror bom di sejumlah gereja juga pernah terjadi sebelumnya, yakni serangan yang menodai khusyuknya malam Natal pada Desember 2000.
”Seluruh gereja di Indonesia akan kami berikan jaminan keamanan karena saya yakin titik kerawanan ada di sana,” kata Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto ketika ditanya terkait kesiapan pengamanan Natal 2019 dan Tahun Baru 2020.
Sejak Rabu (18/12/2019) hingga Kamis (19/12/2019), Hadi bersama Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis turun langsung untuk meninjau pengamanan Natal 2019 dan Tahun Baru 2020 di tiga kota, yaitu Surabaya, Semarang, dan Medan.
Hadi dan Idham juga mengecek kondisi pengamanan di beberapa gereja, yaitu di Gereja Santa Maria Tak Bercela (SMTB) Surabaya dan Gereja Katedral Semarang.
Gereja SMTB merupakan salah satu gereja yang menjadi sasaran aksi teror bom bunuh diri pada Mei 2018. Selain Gereja SMTB, Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) di Jalan Arjuno juga menjadi sasaran bom yang menewaskan 13 orang.
Para pelaku aksi teror bom Surabaya diduga berasal dari kelompok Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang bergerak sendiri atau pelaku tunggal (lone wolf) dan sporadis. Mereka tidak terorganisasi dan para pelakunya belajar untuk merakit bom sendiri sehingga dikenal dengan istilah Do-It-Yourself Terrorism.
”Kami memiliki sekitar 14.000 umat yang biasanya beribadah di sini. Ketika perayaan Natal, biasanya seluruh gedung penuh umat hingga jalan di depan gereja kami tutup karena ada ibadah,” kata Pastor Gereja SMTB Romo Eka Winarno.
Eka menjelaskan, pengamanan perayaan Natal kali ini akan diperketat agar kejadian pada Mei 2018 tidak terulang. Meski peristiwa tersebut masih membekas di benak umat, Eka menyampaikan bahwa Gereja telah memaafkan para pelaku.
”Kami juga berterima kasih karena pengamanan dari unsur TNI-Polri, bahkan Banser juga terlibat sehingga kami beribadah dengan tenang. Kami merasa aman dan merasa pengamanan dari pihak internal pun juga sudah memadai,” ucapnya.
Kejadian aksi teror di Surabaya juga mengingatkan masyarakat terhadap rentetan teror bom yang terjadi di sejumlah gereja, yaitu di Medan, Pematang Siantar, Batam, Pekanbaru, Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Pangandaran, Kudus, Mojokerto, dan Mataram. Peristiwa tersebut memakan korban jiwa sebanyak 15 orang yang berasal dari pihak kepolisian dan masyarakat sipil.
Berbeda dengan teror bom di Surabaya, rentetan teror bom di sejumlah gereja pada tahun 2000 dilakukan oleh kelompok Jemaah Islamiyah (JI) yang sangat terorganisasi. Jenis target serangan yang menyasar rumah ibadah tersebut memberi petunjuk cukup mudah soal latar belakang ideologi pelakunya. Aksi ini kental berkarakter terorisme religius atau terorisme apokaliptik yang berlatar belakang pencatutan (dogma) agama (Kompas, 14 Mei 2018).
Terkait pengamanan Natal 2019 dan Tahun Baru 2000, Idham menjelaskan akan ada sekitar 120.000 personel gabungan TNI dan Polri yang telah disiapkan untuk penjagaan. Rangakaian perjalanan Panglima TNI dan Kapolri ke sejumlah kota kali ini juga menunjukan bahwa negara hadir untuk menjamin keamanan masyarakat.
”Operasi lilin akan berlangsung selama 23 Desember 2019 hingga 2 Januari 2020. Kami sudah melakukan pemetaan daerah dan tingkat kerawanan setiap daerah untuk pengamanan kali ini,” ucapnya seusai apel gelar pasukan di Lapangan Benteng, Medan, Kamis (19/12/2019).
Peran masyarakat
Selain penjagaan dari personel TNI dan Polri, Hadi mengharapkan komponen masyarakat juga ikut serta untuk menjaga perayaan Natal dan Tahun Baru agar berlangsung damai. Ia menyebutkan, saat ini sudah ada komponen masyarakat, seperti remaja masjid ataupun Banser, yang turut menjaga keamanan saat ibadah di gereja berlangsung. Hal ini menunjukkan rasa toleransi antarumat beragama yang harus terus dipertahankan.
”Kerja sama dapat dilakukan melalui pemberdayaan komponen masyarakat. Masyarakat dalam hal ini bukan bertindak sebagai aparat penegak hukum, melainkan sebagai bentuk gotong royong yang merupakan budaya luhur bangsa. Hal ini juga menunjukkan kepekaan dan kesadaran masyarakat untuk turut aktif menjaga wilayahnya,” katanya.
Idham menjelaskan, soliditas antarkomponen perlu diperkuat untuk mengantisipasi pihak-pihak yang ingin memecah belah bangsa. Ia menuturkan, negara menaruh harapan besar kepada TNI dan Polri dalam proses pengamanan Natal dan Tahun Baru.
”Banyak pihak, baik di tingkat bawah maupun di tingkat atas, yang ingin masuk melakukan infiltrasi untuk memecah belah dan membuat kita tidak solid. Kita jangan sampai terpengaruh dengan hal-hal seperti ini,” ujarnya.
Meski menyimpan sejarah kelam terkait aksi terorisme di masa lalu, setidaknya aparat dan masyarakat terus belajar untuk mencegah agar kejadian serupa tidak terulang. Kohesi sosial di tengah masyarakat jangan sampai tergerus hanya karena aksi teror yang berusaha memecah belah bangsa.