Biosekuriti Lemah, Peternakan Kecil Rentan Tertular Virus
Pencegahan demam babi afrika sulit dilakukan di level peternakan kecil. Sifat virus yang bisa menular lewat benda hidup ataupun benda mati hanya mungkin dicegah dengan penerapan biosekuriti yang ketat.
Oleh
Pandu Wiyoga
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Pencegahan demam babi afrika sulit dilakukan di level peternakan kecil. Sifat virus yang bisa menular lewat benda hidup ataupun benda mati hanya mungkin dicegah dengan penerapan biosekuriti yang ketat. Namun, hal itu membutuhkan biaya besar dan tenaga ahli yang sulit dipenuhi peternak kecil.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia melaporkan, wabah demam babi afrika atau african swine fever (ASF) telah merebak di 16 kabupaten/kota di Sumatera Utara. Laporan tersebut dimuat dalam situs web Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) pada 17 Desember 2019.
Hewan di peternakan rakyat itu jelas lebih rawan terserang virus karena sama sekali tidak dilindungi biosekuriti.
Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas II Tanjung Pinang Donni Muksydayan, Kamis (19/12/2019), mengatakan, Kota Batam merupakan daerah di Kepulauan Riau yang paling rawan terjangkit ASF. Tingginya lalu lintas orang dan barang dari dalam ataupun luar negeri jadi penyebabnya.
”Ditambah lagi, di Batam ada banyak sekali peternakan babi skala kecil. Hewan di peternakan rakyat itu jelas lebih rawan terserang virus karena sama sekali tidak dilindungi biosekuriti,” kata Donni.
Biosekuriti adalah upaya menjaga suatu daerah agar tidak tertular penyakit dari daerah lain. Dalam hal upaya pencegahan ASF, biosekuriti itu berupa pengawasan dan pembatasan terhadap lalu lintas orang dan barang yang berpotensi membawa penyakit dari daerah lain.
Salah satu contoh yang telah memberlakukan biosekuriti ketat adalah peternakan di Pulau Bulan, Batam. PT Indotirta Suaka, yang mengelola lokasi itu, semakin meningkatkan pengawasan lalu lintas orang dan barang. Para pekerja juga dilarang membawa segala jenis makanan dari luar peternakan.
Namun, hal semacam ini mustahil dilakukan di peternakan kecil yang dimiliki perorangan. Selain membutuhkan biaya sangat tinggi, pencegahan penularan penyakit dengan biosekuriti juga membutuhkan tenaga ahli yang jumlahnya mencukupi.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Kesehatan Hewan Kepulauan Riau Ahmad Izhar menyatakan telah memerintahkan petugasnya turun langsung memantau setiap peternakan. Dengan begitu, diharapkan indikasi penularan penyakit bisa lebih cepat diketahui.
Sayangnya, jumlah tenaga ahli di kabupaten/kota di Kepulauan Riau sangat terbatas untuk dapat memantau langsung kondisi peternakan kecil dengan efektif. Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Batam, misalnya, hanya memiliki dua dokter hewan, padahal jumlah peternakan yang harus diawasi ada puluhan.
”Kalau dibilang cukup, ya, memang belum. Namun, kami tetap berusaha menjalankan tugas semaksimal mungkin,” ujar Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Batam Sri Yuneli.
Kondisi itu membuat Manajer Biosekuriti dan Pencegahan Penyakit PT Indotirta Suaka Paulus Mbolo khawatir. Jika peternakan kecil di Pulau Batam terjangkit ASF, bisa saja Singapura menghentikan impor babi dari peternakan PT Indotirta Suaka di Pulau Bulan.
Saat ini, populasi babi di Pulau Bulan sekitar 230.000 ekor. Setiap hari, sekitar 1.000 babi diekspor ke Singapura. Data dari laman Badan Karantina Pertanian menunjukkan, sepanjang 2018, peternakan yang dikelola PT Indotirta Suaka itu mengekspor 271.000 babi yang nilainya diperkirakan mencapai sekitar Rp 1,1 triliun.
Paulus menjelaskan, dalam menentukan daerah terjangkit, OIE membaginya ke dalam zonasi dan kompartemen tertentu. Penentuan zonasi merujuk pada kondisi geografis, sedangkan kompartemen merujuk pada manajemen pengelolaan suatu peternakan.
Kompartemen peternakan di Pulau Bulan yang dikelola PT Indotirta Suaka jelas terpisah dari peternakan kecil di Pulau Bulan. Yang bisa jadi masalah adalah persoalan zonasi. Pulau Bulan secara geografis memang terpisah dari Pulau Batam, tetapi secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kota Batam.
”Soal itu semuanya tergantung kepada Singapura. Jika mereka merasa khawatir, bisa saja impor dari Pulau Bulan distop,” kata Paulus, yang juga menjabat Ketua Asosiasi Dokter Hewan Monogastrik Indonesia, Rabu (18/12/2019).