Ketidakpastian Global Menghantam Industri Pengolahan
Pelambatan ekonomi global menghantam industri pengolahan Indonesia sepanjang 2019. Penerimaan pajak dari sektor manufaktur anjlok yang berimbas pada pendapatan nasional.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelambatan ekonomi global menghantam industri pengolahan Indonesia sepanjang 2019. Penerimaan pajak dari sektor manufaktur anjlok yang berimbas pada pendapatan nasional. Ancaman tak tercapainya target penerimaan pajak dan melebarnya kekurangan setoran pajak (shortfall) semakin nyata.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan perpajakan sepanjang Januari-November 2019 sebesar Rp 1.312,4 triliun atau 73,5 persen. Realisasi penerimaan perpajakan itu hanya tumbuh 0,8 persen secara tahunan. Padahal, pada November 2018, realisasinya tumbuh 15,3 persen secara tahunan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kondisi global sepanjang 2019 dihadapkan pada ketidakpastian ekonomi dan politik. Dampaknya ke dalam negeri paling kuat menghantam industri pengolahan dan pertambangan. Kondisi itu terefleksi pada penurunan penerimaan pajak yang konsisten sejak awal tahun.
”Industri manufaktur terkena pukulan paling nyata dari pelemahan ekonomi global sehingga penerimaan pajaknya mengalami kontraksi. Padahal, sektor ini berkontribusi paling besar dalam perpajakan nasional,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN edisi November 2019 di Jakarta, Kamis (19/12/2019).
Ditilik berdasarkan sektor, realisasi penerimaan pajak dari industri pengolahan pada November 2019 turun 3,1 persen menjadi Rp 312,9 triliun. Sektor industri ini berkontribusi paling besar dalam penerimaan nasional, yakni 29,7 persen. Realisasi penerimaan industri pengolahan pada November 2018 tumbuh 12,1 persen.
Penerimaan pajak dari industri pengolahan konsisten tumbuh negatif sepanjang 2019. Selain industri pengolahan, sektor lain yang penerimaan pajaknya tumbuh negatif adalah industri pertambangan. Realisasi penerimaannya pada November 2019 sebesar Rp 52,49 triliun atau tumbuh negatif 20 persen.
Sri Mulyani mengatakan, tekanan terhadap industri pengolahan tidak hanya dialami Indonesia. Indeks manufaktur Purchasing Managers’ Index (PMI) sejumlah negara konsisten berada di zona kontraksi, seperti di Amerika Serikat, Singapura, Jepang, Korea Selatan, dan Jerman. Indeks manufaktur mereka di bawah level 50.
Indeks PMI adalah indikator ekonomi yang mencerminkan keyakinan para manajer bisnis di sektor manufaktur. Skor indeks manufaktur PMI di bawah 50 mengindikasikan adanya risiko pelambatan pertumbuhan ekonomi ke depan. Adapun indeks manufaktur PMI Indonesia per Oktober 2019 sebesar 48,2.
”Indeks PMI Indonesia menunjukkan penurunan di bawah 50 pada kuartal terakhir. Ini sesuatu yang harus diwaspadai,” ujar Sri Mulyani.
Industri pengolahan tertekan karena aktivitas impor mengalami kontraksi. Kondisi ini terefleksi pada realisasi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) impor yang turun 1,5 persen menjadi Rp 49,32 triliun dan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor turun 7,9 persen menjadi Rp 155,7 triliun.
Anjloknya penerimaan industri pengolahan turut memengaruhi pelebaran defisit anggaran. Realisasi defisit APBN pada November 2019 mencapai Rp 368,9 triliun atau 2,29 produk domestik bruto (PDB). Defisit anggaran melebar dari November 2018, yakni 1,89 PDB.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memproyeksikan potensi penerimaan pajak yang tidak mencapai target (shortfall) tahun 2019 lebih dari Rp 140 triliun.
Insentif manufaktur
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menambahkan, insentif fiskal yang selama ini diberikan untuk industri manufaktur tidak mampu menghalau risiko pelambatan ekonomi.
Menurut Suahasil, skema stimulus fiskal yang tepat untuk industri manufaktur masih terus dicari. Terbaru, pemerintah menerbitkan insentif pengurangan PPh sebesar 60 persen untuk investasi padat karya.
Insentif fiskal akan berkelanjutan pada 2020 untuk menumbuhkan keyakinan investor
Pada 2019, pemerintah menerbitkan sejumlah insentif untuk memacu industri pengolahan, antara lain pembebasan PPh badan (tax holiday), pengurangan PPh badan (tax allowance), pengurangan PPh badan di atas 100 persen (super tax deduction). Insentif pajak diberikan untuk industri-industri pionir.
”Insentif fiskal akan berkelanjutan pada 2020 untuk menumbuhkan keyakinan investor. Estimasi belanja pajak tahun 2019 dan 2020 sama, sekitar Rp 150 triliun,” kata Suahasil.
Dihubungi terpisah, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal, Kamis, berpendapat, stimulus fiskal yang diberikan untuk sektor industri manufaktur belum optimal. Diperlukan pendekatan yang lebih institusional agar insentif bisa diberikan secara general untuk semua sektor.
”Perbaikan industri manufaktur tidak hanya bertumpu pada fiskal, tetapi yang paling penting adalah ekosistem,” kata Fithra.
Menurut Fithra, pembentukan omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja diharapkan menjadi solusi. RUU akan menyinergikan antara perbaikan struktural dan pemberian insentif fiskal. Di sisi lain, hilirisasi industri bisa segera direalisasikan untuk menciptakan produk bernilai tambah.
RUU Cipta Lapangan Kerja akan mengakomodasi sejumlah pasal dalam 82 UU yang terdiri atas 1.194 pasal terkait investasi.