Dari tangan para perajin di Tegal, bulu-bulu itik disulap menjadi produk ”shuttlecock” atau kok yang mendukung prestasi bulu tangkis bangsa. Ironisnya, nasib mereka tak melesat cepat seperti kok buatannya.
Oleh
Kristi dwi Utami
·5 menit baca
Jemari Juriyah (60) lincah memainkan gunting, merapikan satu per satu bulu itik di depannya menjadi bentuk setengah lingkaran. Sesekali ia membolak-balik bulu itik untuk memastikan ukuran. Matanya memicing, berhati-hati. Salah sedikit, bulu itik yang per helainya dihargai Rp 300 itu bisa berakhir di tempat sampah.
”Untuk bisa menggunting sesuai standar, enggak mudah. Saya harus belajar sebulan. Saat itu, saya kerap dimarahi bos karena sering salah,” kata Juriyah, Senin (25/11/2019), di salah satu industri rumahan kok, Kelurahan Debong Lor, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Jawa Tengah.
Siang itu, aktivitas industri rumahan kok tempat Juriyah bekerja tampak ramai. Sejumlah pekerja lain tampak mencuci dan menjemur bulu, melubangi gabus penampang, menancapkan 16 bulu ke gabus penampang, serta memasang dan mengelem tali supaya bulu itik tak bergeser. Ada juga yang memasang pita dan label merek pada gabus penampang serta menguji kok dengan cara dilempar dan dipukul dengan raket.
Untuk membuat sebuah kok layak jual, pekerja dituntut konsentrasi dan ketelitian tinggi. Komponen-komponen seperti bulu dan gabus penampang harus diukur dan dipasang sesuai standar. Jika tidak sesuai, kok tidak lolos uji dan tidak laku. Namun, pekerjaan yang terbilang rumit tak lantas membuat mereka mendapat upah tinggi. Dalam sepekan, para pekerja diupah Rp 130.000-Rp 200.000. Artinya, dalam sebulan, para pekerja mendapat Rp 520.000-Rp 800.000.
Kondisi serupa dialami pekerja di perusahaan pembuat kok. Dalam sebulan, mereka diupah Rp 720.000-Rp 1.680.000, tergantung produktivitas. Nilai itu masih di bawah upah minimum Kota Tegal, yaitu Rp 1.762.000 per bulan. Sulastri (41), buruh pembuat kok lain, mengaku mendapatkan upah Rp 552.000 per bulan. Uang sejumlah itu diakuinya tak cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan kedua anaknya.
Semenjak suaminya meninggal beberapa tahun lalu, Sulastri harus berjuang menghidupi diri dan kedua anaknya yang masih bersekolah. Ia pun terpaksa mengandalkan bantuan adik dan saudara iparnya. Demikian halnya dengan Sumaryo (34), pembuat kok yang mendapat upah maksimal Rp 1,2 juta per bulan. ”Jelas tidak cukup. Tetapi mau bagaimana lagi,” ucap Sumaryo yang mesti menghidupi istri dan anaknya.
Padahal, kok merupakan salah satu industri unggulan Kota Tegal. Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian setempat mencatat, pada 2019 ada sekitar 66 industri kok dengan jumlah pekerja berkisar 5-20 orang. Artinya, industri ini menyerap hingga 1.300 pekerja. Salah satu sentranya berada di Kelurahan Debong Lor.
Beralih
Kondisi itu yang membuat banyak perajin kok beralih kerja. Indra (29), misalnya, setahun terakhir memilih menjadi pengojek daring. Saat menjadi pekerja di salah satu produsen kok, upahnya hanya Rp 1 juta per bulan. Kini, sedikitnya, ia menghasilkan Rp 1,4 juta. ”Dulu waktu belum menikah mungkin upah sebanyak itu cukup. Tapi, setelah menikah dan punya anak, tanggungan saya bertambah,” ucap Indra.
Godaan mencari pekerjaan lain diakui sering menghinggapi para perajin kok. Namun, sebagian tidak berdaya, salah satunya karena pendidikan rendah. ”Kalau punya ijazah, saya ingin sekali bekerja di tempat lain yang upahnya sesuai UMK,” kata Aris Ardianto (16), yang tak tamat sekolah dasar.
Para pekerja lain bertahan membuat kok karena lokasi kerjanya dekat dengan tempat tinggal. Bahkan, ada yang diperbolehkan membawa pekerjaannya ke rumah. Waeri (50), warga Debong Lor mengaku biasa mengerjakan lemburan di rumahnya. Selain lebih santai, itu dilakukan untuk menambah pemasukan.
Di rumahnya, malam itu, ia duduk bersila di teras. Tangan kiri memegang kok, tangan kanannya memegang kuas yang telah berlumur lem. Setelah dibalur lem, kok-kok tersebut dijemur. ”Sebulan bisa dapat tambahan Rp 100.000 dari lemburan. Lumayan, bisa dikerjakan sambil momong cucu,” ujarnya.
Pemilik perusahaan kok Sinar Mutiara, Rudi Hartono Siswanto (35), mengatakan, pemberian upah tergantung produktivitas pekerja. Saat ini, upah yang diberi berkisar Rp 30.000-Rp 70.000 per hari. ”Kami pakai sistem borongan. Jadi, besaran upah mereka sendiri yang menentukan. Kalau mau upahnya lebih banyak, produktivitasnya harus dinaikkan,” ucapnya.
Hal sama diungkapkan pengusaha industri kok rumahan di Debong Lor, Sumarno (43). Ia memberi upah para pekerjanya berkisar Rp 180.000-Rp 200.000 per minggu, menyesuaikan upah dari pengusaha kok lain.
Pengusaha industri kok rumahan lain, Taripah (50), sebenarnya ingin menggaji pekerjanya lebih baik. Namun, dia tak berdaya karena hasil penjualannya pas-pasan. Dalam seminggu, Taripah menjual 150 lusin kok dengan harga selusin Rp 60.000. Artinya, setiap minggu, pendapatan Taripah Rp 9 juta.
”Dari Rp 9 juta, sekitar Rp 2 juta untuk upah 12 pekerja. Selebihnya, untuk beli bahan baku Rp 5 juta dan kebutuhan sehari-hari Rp 2 juta,” ucap Taripah. Dengan kondisi upah yang tak layak, ia pun khawatir tak ada lagi yang berminat menjadi perajin kok.
Kejayaan industri kok Tegal berawal sekitar tahun 1942 dari produsen bermerek Robinhood. Perusahaan tersebut diklaim sebagai industri penghasil kok pertama di Indonesia. Seiring waktu, perusahaan itu pecah menjadi dua merek besar, yakni Gadjahmada dan Garuda. Permintaan yang terus meningkat seiring popularitas bulu tangkis, mendorong banyak industri kok skala besar ataupun rumahan bermunculan.
Dalam buku Semangat Orang Tegal (2003), Prof Dr Abu Suud menuturkan, jejak kejayaan industri kok di Tegal diabadikan melalui dua tugu kok. Sebagian warga pun menggantungkan hidup mereka di industri ini. Budayawan Tegal, Atmo Tan Sidik, menambahkan, industri kok tumbuh di Kota dan Kabupaten Tegal seiring maraknya ternak itik dan angsa di kawasan pantura barat.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian Kota Tegal R Heru Setyawan menyarankan pengusaha kok membayar pekerja sesuai UMK agar regenerasi perajin terjaga. Terlebih, sejak 2013, industri kok terus berkembang. Kapasitas produksi yang pada 2013 sekitar 3.414 kok per hari, meningkat menjadi 18.762 kok per hari pada 2019. Adapun omzet naik dari Rp 2,69 miliar pada 2013 menjadi Rp 14,39 miliar pada 2019.
”Jumlah pengusaha juga terus bertambah. Dulunya hanya 35 pengusaha di enam kelurahan, kini 66 pengusaha di 14 kelurahan. Artinya, bisnis kok semakin baik,” kata Heru. Bahkan, industri kok masuk dalam Rencana Induk Pengembangan Industri Daerah (RPID) Kota Tegal 2017-2037.
Para perajin berharap kesejahteraan mereka bisa melesat kencang seperti produk kok buatannya. Senapas dengan kebanggaan mereka menyaksikan atlet-atlet tepok bulu negeri ini berjaya di gelanggang dunia.