Para pemain muda Liverpool ditaklukkan Aston Villa dan tersingkir dalam perebutan gelar juara Piala Liga Inggris. Namun, mereka telah mendapatkan pelajaran yang berharga.
Oleh
D HERPIN DEWANTO PUTRO
·4 menit baca
BIRMINGHAM, RABU - Jadwal super padat memaksa Liverpool mengorbankan peluang mereka di Piala Liga Inggris. Mereka memainkan skuad termuda sepanjang sejarah klub dan akhirnya digilas Aston Villa, 0-5, pada babak perempat final di Stadion Villa Park, Rabu (18/12/2019) dini hari WIB. Meski kalah, ”The Reds” muda belajar, sepak bola di level senior itu keras dan sering kali menyakitkan.
Tidak ada Mohamed Salah, Sadio Mane, Roberto Firmino, atau pelatih Liverpool Juergen Kloop malam itu. Skuad utama The Reds sedang berada di Doha, Qatar, untuk menjalani laga semifinal Piala Dunia Antarklub melawan Monterrey, Kamis (19/12/2019) pukul 00.30 WIB. Gelar klub terbaik di dunia yang bisa diraih di Doha tentu lebih layak diperjuangkan.
Di Villa Park, Liverpool diwakili para pemain yang rata-rata berusia 19 tahun enam bulan, yang ditangani pelatih Liverpool U-23, Neil Critchley. Mereka berduel melawan Aston Villa yang haus kemenangan setelah menelan tiga kekalahan beruntun di Liga Inggris.
”Laga ini sungguh aneh, mungkin laga teraneh yang pernah saya jalani pada laga perempat final di sebuah kompetisi mayor,” ujar pelatih Aston Villa, Dean Smith.
Aneh bagi Smith, karena skuadnya jauh lebih berpengalaman tetapi sempat kewalahan menghadapi lawannya yang masih remaja. Pada sepuluh menit pertama, Liverpool mampu menekan dan membuat tuan rumah kikuk. Energi yang diperlihatkan para pemain muda The Reds seperti Harvey Elliott (16) atau Herbie Kane (21) sempat menjadi ancaman.
Kiper Aston Villa, Orjan Nyland, harus bekerja keras menyelamatkan gawangnya pada menit-menit pertama ketika Elliott dan Kane mendapatkan peluang gol. Permainan cepat dan menekan dari Elliott dan kawan-kawan mengingatkan pada karakter permainan tim utama Liverpool.
Pesta gol
Memasuki menit ke-14, pelajaran bagi para pemain masa depan dari Anfield itu dimulai ketika Conor Hourihane membuka pesta gol Aston Villa. Bek muda Liverpool, Morgan Boyes, juga belajar dari kesalahannya saat melakukan gol bunuh diri. Setelah itu, striker Aston Villa, Jonathan Kodija, mencetak dua gol dan Wesley menutup pesta gol pada menit ke-90+2. Aston Villa pun melaju ke semifinal Piala Liga Inggris, pertama kalinya sejak musim 2012-2013.
Aston Villa malam itu akhirnya menunjukkan, pengalaman serta kemampuan bermain secara efektif menentukan hasil akhir dalam sepak bola. Liverpool muda tetap tumbang meski mendominasi penguasaan bola sebanyak 57 persen dan melepaskan 15 tembakan. Adapun Aston Villa hanya menembak total sebanyak 11 kali.
”Laga ini memberi pelajaran pada para pemain muda Liverpool, sepak bola di level senior itu tidak mengenal ampun,” tulis jurnalis The Guardian, Paul Doyle. Dalam kompetisi senior, terutama di Liga Inggris, pemain tidak mendapat toleransi ketika melakukan kesalahan sekecil apa pun.
Pelajaran yang didapat para pemain muda Liverpool dalam laga inilah yang menjadi sisi positif dari kekalahan tersebut. Setidaknya mereka memiliki bayangan mengenai standar yang harus dicapai untuk bisa bersaing bersama tim senior. Bagi Liverpool, ini keuntungan besar dari sisi regenerasi.
”Jika saya berada pada posisi mereka, saya akan sangat gembira dan tidak sabar menjalani laga itu. Anak-anak muda itu akan mengingat laga ini hingga akhir hayatnya,” ujar Juergen Klopp yang menyaksikan laga itu dari kamar hotel di Doha.
Saat turun minum, Klopp juga menelepon Critchley dan menyampaikan rasa bangganya. Klopp tidak banyak memberi arahan dan hanya meminta agar mereka tetap bermain seperti pada awal laga dengan gagah berani. “Saya pun bangga. Hampir sepanjang laga, pemain tidak banyak melakukan kesalahan,” ujar Critchley.
Pujian juga datang dari kubu Aston Villa. Smith dan asistennya, John Terry, memasuki ruang ganti Liverpool usai laga dan memberi selamat. “Apresiasi yang sebesar-besarnya untuk para pemain Liverpool. Mereka bermain dengan berani dan bisa mengguncang kandang Villa pada awal laga,” kata mantan gelandang Aston Villa, Andy Townsend, kepada BBC.
Jurnalis The Independent, Mark Critchley, menulis bahwa para pemain muda itu tidak perlu malu. Mereka tetap bisa keluar dari lapangan dengan kepala tegak. “Yang memalukan adalah pengatur kompetisi ini. Merekalah yang bertanggung jawab atas pengaturan jadwal,” ujarnya.
Mendapati jadwal berlaga selama dua hari berturut-turut merupakan sesuatu yang mustahil dilakukan klub manapun. Apalagi laga itu terjadi di Inggris dan Qatar yang berjarak lebih dari 5.000 kilometer jika ditempuh dengan pesawat. (AFP/REUTERS)