Sinta Nuriyah mendapat doctor honoris causa bidang sosial agama. Penghargaan atas kebinekaan dan kerukunan umat dapat terwujud, menurut dia, jika ada kesalehan individu dan sosial yang seimbang.
Oleh
Haris Firdaus / Muhammad Ikhsan Mahar
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS —Umat beragama di Indonesia diharapkan bisa menyeimbangkan kesalehan individual dengan kesalehan sosial. Keseimbangan tersebut penting agar umat beragama bisa menghargai kebinekaan di masyarakat serta menjalin kerukunan berbagai umat agama.
Hal itu dikemukakan Sinta Nuriyah saat menerima anugerah doctor honoris causa bidang sosiologi agama dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (18/12/2019), di Kampus UIN Sunan Kalijaga, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam pidato berjudul ”Inklusi dalam Solidaritas Kemanusiaan: Pengalaman Spiritualitas Perempuan dalam Kebhinnekaan”, Sinta menyatakan, kesalehan individual dan kesalehan sosial harus berjalan beriringan dan menjadi kesatuan yang tak terpisahkan.
Hadir pada kesempatan itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa serta empat putri Sinta dan sejumlah tokoh lintas agama.
Sinta menguraikan, kesalehan individual merupakan kesalehan seseorang karena ketekunan beribadah formal. Sementara, kesalehan sosial merupakan tindakan-tindakan seseorang yang bermanfaat bagi banyak orang dan berpengaruh baik terhadap kehidupan sosial.
”Nilai keagamaan seseorang menjadi sempurna jika dapat menyeimbangkan kesalehan individual dan kesalehan sosial,” ujar istri Presiden ke-4
RI Abdurrahman Wahid tersebut.
Sinta juga memaparkan, ketakwaan atau ketaatan ajaran agama seharusnya tak hanya dihayati personal, tetapi juga teraktualisasikan dalam perilaku saat berinteraksi sosial. ”Dengan demikian, ketakwaan tak saja bisa dilihat ketika seseorang berada di akhirat, tetapi juga berkaitan dengan fakta kehidupan sehari-hari ketika seseorang berinteraksi sosial dengan sesamanya,” ujarnya.
Ketua tim promotor penganugerahan gelar doctor honoris causa untuk Sinta Nuriyah, Ema Marhumah, menjelaskan, penganugerahan gelar tersebut dilakukan karena sejumlah alasan. Salah satunya, Sinta merupakan sosok yang aktif memperjuangkan hak- hak perempuan, memberdayakan perempuan, serta mengadvokasi perempuan korban kekerasan seksual.
”Kepedulian dan perjuangannya terhadap persoalan ini dapat dilihat dari gagasan atau pemikiran progresif promovenda Sinta yang dituangkan dalam bentuk tulisan di media ataupun buku, juga di berbagai forum,” ujarnya.
Butuh keteladanan
Sementara itu, saat peresmian Maarif Award 2020 di Jakarta, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif menyatakan, hiruk-pikuk narasi bernuansa polarisasi dan tindakan tokoh politik yang semakin jauh dari semangat kebangsaan membuat bangsa Indonesia butuh keteladanan nyata dari orang-orang kecil di daerah. Kehadiran teladan dari sosok biasa di tengah masyarakat bisa menjadi pemantik merawat dan melestarikan nilai-nilai universal, pluralisme, serta toleransi yang menjadi fitrah manusia Indonesia.
Menurut Syafii, Indonesia mempunyai banyak tokoh yang tidak pernah terpublikasi. Namun, kegiatannya justru bisa memberikan kontribusi signifikan bagi pelestarian nilai-nilai keindonesiaan. Kehadiran orang-orang kecil itu, lebih dibutuhkan oleh bangsa dibandingkan para politikus yang hanya memedulikan kepentingan sesaat tanpa memperhatikan pengaruhnya bagi kehidupan berbangsa.
”Kami yakin masih banyak riak-riak kecil di daerah yang suatu saat bisa menjadi gelombang atas kontribusinya yang tanpa pamrih,” ujar Syafii.
Atas dasar itu, Maarif Institute menyelenggarakan Maarif Award 2020 yang bertujuan menemukan sosok inspiratif di daerah. Penyelenggaraan Maarif Award pada kali ini adalah yang kedelapan sejak 2007.