Situs Lambanapu di Sumba Timur Menjadi Pusat Studi Peradaban
Situs Lambanapu bukan sekadar tempat hunian leluhur Sumba, tetapi juga merupakan bagian dari rangkaian persebaran penutur Austronesia di kepulauan Nusantara.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Sumba Timur bekerja sama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mengembangkan Situs Lambanapu di Desa Lambanapu, Kecamatan Kambera, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur sebagai Pusat Studi dan Rumah Peradaban Sumba Timur. Bagi masyarakat Sumba Timur, situs ini memiliki arti penting karena menjadi tempat hunian leluhur Sumba sejak ribuan tahun lalu.
Penelitian Situs Lambanapu berlangsung sejak 1978 oleh begawan arkeologi Indonesia sekaligus Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), almarhum RP Soejono. Waktu itu, para peneliti menemukan jejak kubur kuno yang kemudian dilanjutkan penelitiannya secara intensif pada 1980, 1982, dan 1989.
Dari temuan-temuan penelitian selama ini, kami makin yakin bahwa Situs Lambanapu merupakan salah satu perkampungan leluhur tertua Sumba.
Mengingat padatnya temuan, baik berupa kubur tanpa wadah maupun dengan wadah, maka Balai Arkeologi Bali yang merupakan Unit Pengelola Teknis di bawah Puslit Arkenas melanjutkan penelitian ini secara simultan sejak 1990 hingga 2006.
“Sejak 2016, Puslit Arkenas meneruskan penelitian di Situs Lambanapu, dan dari temuan-temuan penelitian selama ini, kami makin yakin bahwa Situs Lambanapu merupakan salah satu perkampungan leluhur tertua Sumba,” kata Ketua Tim Penelitian Situs Lambanapu, Retno Handini dari Puslit Arkenas, Rabu (18/12/2019), saat dihubungi dari Jakarta.
Temuan 53 individu
Hingga kini, para peneliti telah menemukan sebanyak 53 individu yang dikuburkan tanpa wadah di Situs Lambanapu. Selain itu, mereka juga menemukan 52 tempayan yang berfungsi sebagai wadah kubur.
Hal menarik yang ditemukan peneliti di situs ini adalah, terdapat sebuah wadah kubur yang dibuat bukan dari tembikar, melainkan dari perunggu sebagai tempat menaruh tulang-tulang manusia.
“Kami juga menemukan beliung persegi, cangkang moluska, perhiasan dari cangkang, tulang-belulang babi dan kerbau, perunggu, besi, manik-manik, hingga tembikar. Dari tinggalan tembikar, khususnya yang berslip merah serta beliung persegi, diperkirakan situs ini dulu dihuni oleh leluhur penurut Austronesia dengan budaya neolitiknya dan kemudian berlanjut ke budaya logam di masa protosejarah,” kata Retno.
Jika melihat dari data-data pertanggalan regional di situs-situs terdekat seperti di Flores, Lembata, dan Timor Leste, diperkirakan Situs Lambanapu sudah dihuni para leluhur Sumba sejak 3.500-3000 tahun yang lalu. Para peneliti memperkirakan Situs Lambanapu berkaitan dengan Situs Melolo yang terletak sekitar 50 kilometer di sisi timur Lambanapu. Keduanya sama-sama merupakan perkampungan leluhur Austronesia.
Apabila ditarik secara nasional, maka situs hunian leluhur Sumba ini merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian persebaran penutur Austronesia di Kepulauan Nusantara sejak kedatangannya dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu.
“Penelitian situs ini dapat menumbuhkan rasa kebanggaan bagi masyarakat Sumba sebagai bagian penyumbang kebinekaan budaya Nusantara,” ujar arkeolog senior Prof Truman Simanjuntak beberapa waktu lalu.
Penelitian situs ini dapat menumbuhkan rasa kebanggaan bagi masyarakat Sumba sebagai bagian penyumbang kebinekaan budaya Nusantara.
Sejak April 2019, Bupati Sumba Timur Gideon Mbiliyora menyatakan komitmennya untuk mengembangkan Situs Lambanapu sebagai Pusat Studi Peradaban sekaligus destinasi wisata baru. Harapan ini juga muncul dari masyarakat setempat yang merasakan minat wisatawan berkunjung ke Sumba Timur meningkat pasca-Situs Lambanapu diteliti dan banyak dipublikasikan.
Setelah Puslit Arkenas melakukan penelitian pada 19-30 April 2019 di Situs Lambanapu, tetua desa beserta sejumlah warga berkeinginan agar kotak galian ekskavasi yang berisi kerangka manusia, tempayan, dan aneka peninggalan itu tetap dibiarkan terbuka agar bisa disaksikan masyarakat serta wisatawan. Tokoh adat dan jajaran Pemerintah Kabupaten Sumba Timur sempat berdiskusi panjang membahas hal ini.
Untuk mengantisipasi agar kerangka-kerangka manusia dan kubur tempayan tidak rusak, maka Puslit Arkenas kemudian mencetak casting atau replika yang kemudian ditempatkan di lubang galian situs. Adapun, kerangka-kerangka dan kubur tempayan yang asli dipindahkan ke tempat yang lebih aman agar terlindungi dari iklim dan cuaca maupun gangguan lainnya.