Cerita Castro Tuduh CIA Masukkan Demam Babi Afrika ke Kuba
Presiden Kuba Fidel Castro pernah menuduh Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat terlibat dalam masuknya demam babi afrika ke Kuba tahun 1971.
Oleh
Subur Tjahjono
·4 menit baca
Demam babi afrika adalah penyakit babi lintas benua. Presiden Kuba Fidel Castro pernah mengangkatnya sebagai isu politik global dengan menuduh Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat terlibat dalam masuknya demam babi afrika ke Kuba tahun 1971.
Media massa Amerika Serikat (AS) memberitakan Fidel Castro masih membicarakannya beberapa tahun kemudian. The Washington Post edisi daring, 28 Juni 1981, misalnya, melaporkan pidato Fidel Castro di depan 75.000 pendukungnya di Barak Moncada di Kuba timur.
”Demam babi afrika, karat tebu, jamur biru pada tembakau telah merusak ekonomi dan sekarang demam berdarah telah menewaskan 113 orang dan menginfeksi lebih dari 270.000 lainnya dalam tujuh minggu terakhir. (Itu) bisa saja diperkenalkan... oleh CIA (Badan Intelijen Pusat AS),” ujar Castro.
CIA membantah terkait dengan terjadinya wabah demam babi afrika (DBA) di Kuba. Dalam perpustakaan di situs webnya, CIA menampilkan guntingan berita dari Newsday edisi 15 Januari 1977 berjudul ”CIA Membantah Terkait Demam Babi Kuba”.
Berita itu mengutip Spencer Davis, juru bicara Komite Senat untuk Intelijen yang menyelidiki tuduhan itu. Tuduhan tersebut berdasarkan hasil liputan investigasi yang menemukan bahwa ada anggota CIA yang membantu pengiriman kaleng bersegel berisi virus DBA dari markas tentara AS di Panama ke Kuba.
Spencer Davis membantahnya. ”Berdasarkan informasi yang disampaikan kepada Komite, wabah DBA terjadi di Kuba tahun 1971. Penyakit ini masuk ke Kuba melalui daging babi yang tidak diawetkan yang diimpor dari Eropa,” kata Spencer.
Penelitian ilmiah menunjukkan, Kuba tertular DBA dari Spanyol, seperti dikemukakan Solenne Costard, peneliti The Royal Veterinary College, Inggris, dan rekan-rekan dalam penelitian berjudul ”Demam Babi Afrika: Bagaimana Penyebaran Global Dapat Dicegah?” Penelitian dimuat dalam jurnal The Royal Society Publishing 27 September 2009.
Menurut Costard dan kawan-kawan, DBA pertama kali ditemukan di Kenya pada 1920-an sebagai demam berdarah akut yang menyebabkan kematian mendekati 100 persen pada babi domestik. Penyebaran DBA pertama di luar Afrika adalah ke Portugal pada tahun 1957 sebagai akibat dari limbah dari penerbangan maskapai penerbangan ke babi di dekat bandara Lisabon.
Kuba, pada tahun 1971, adalah negara pertama di wilayah Karibia yang melaporkan infeksi DBA dan virus itu diyakini telah ditularkan dari Spanyol. DBA selanjutnya dilaporkan pada akhir 1970-an mewabah di beberapa negara Kepulauan Karibia seperti Republik Dominika (1978) dan Haiti (1979).
DBA dilaporkan di Brasil pada tahun 1978 dan mungkin ditularkan dari Spanyol atau Portugal melalui limbah makanan yang dibawa oleh penerbangan lintas benua dan/atau produk hewani yang diimpor oleh wisatawan.
DBA baru masuk Asia tahun 2018. Pemerintah China melaporkan kepada Organisasi Kesehatan Hewan Dunia atau Office Internatioal Des Epizooties (OIE) pada 1 Agustus 2018. Wabah menyebabkan kematian 47 babi di peternakan babi di Jalan Shenbei, Shenyang, Provinsi Liaoning, China bagian timur laut. Tingkat fatalitas mencapai 100 persen. Sumber penularan di China belum diketahui.
Dengan cepat, DBA menyebar ke negara tetangga China, seperti Korea Utara, Laos, Vietnam, Kamboja, Filipina, dan Timor Leste. Sedikitnya 55 negara terjangkiti wabah DBA di dunia. DBA saat ini menjadi penyakit babi paling penting dan strategis di dunia.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa faktor risiko utama untuk penyebaran virus DBA lintas pulau atau lintas benua akibat dari pergerakan ilegal babi yang terinfeksi virus DBA, daging babi atau produk babi yang terkontaminasi dengan virus DBA, dan praktik pemberian makanan sisa untuk babi.
Namun, penyebaran infeksi lokal dapat terjadi melalui pergerakan babi hutan melalui lanskap alam yang terhubung, yang membuat virus DBA menjadi endemik pada populasi babi hutan, seperti yang terjadi di Uni Eropa (Jose E Barasona, dkk, Frontiers in Veterinary Science, 26 April 2019).
Pemerintah Indonesia melaporkan wabah DBA ke OIE pada 17 Desember 2019, setelah pada 12 Desember 2019 Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menerbitkan Surat Keputuan Mentan Nomor 820/KPTS/PK.320/M/12/2019 tentang Pernyataan Wabah Penyakit Demam Babi Afrika pada Beberapa Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa faktor risiko utama untuk penyebaran virus DBA lintas pulau atau lintas benua akibat dari pergerakan ilegal babi yang terinfeksi virus DBA, daging babi atau produk babi yang terkontaminasi dengan virus DBA, dan praktik pemberian makanan sisa untuk babi.
Dari laporan pemerintah ke OIE tersebut diketahui kasus pertama terjadi di Kabupaten Dairi pada 4 September 2019. Sumber wabah belum diketahui.
Dalam keputusan itu disebutkan 16 kabupaten/kota dari 33 kabupaten/kota di Sumut dinyatakan sebagai daerah wabah DBA. Ke-16 kabupaten/kota itu adalah Kabupaten Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Karo, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, Langkat, Kota Tebing Tinggi, Kota Pematang Siantar, dan Kota Medan.
Wabah DBA di Sumut tersebut menyebabkan kematian 28.136 ekor babi. Tingkat fatalitas mencapai 100 persen.
Antisipasi pemerintah cukup lambat hingga akhirnya menyebar ke 16 kabupaten/kota di Sumut. Meskipun demikian, Surat Keputusan Mentan tersebut dapat menjadi dasar untuk melaksanakan pengendalian dan penanggulangan DBA yang dilakukan Otoritas Veteriner di pusat hingga daerah di seluruh Indonesia.
Dampak DBA ini terutama adalah dampak ekonomi bagi eksportir babi dan peternakan babi rakyat. DBA tidak menular ke manusia sehingga masyarakat tidak perlu terlalu khawatir.