Setelah dua dekade reformasi berlalu, pemerintahan yang demokratis telah berjalan melalui sejumlah tantangan. Iklim demokrasi masih bertahan, tetapi mulai terasa gejala tercerabutnya nilai ideal yang diinginkan rakyat.
Oleh
Muhammad Ikhsan Mahar
·4 menit baca
Selama dua dekade reformasi telah berlalu. Masa pemerintahan yang demokratis telah berjalan melalui sejumlah tantangan. Meskipun iklim demokrasi masih bertahan, gejala tercerabutnya nilai-nilai ideal yang diinginkan rakyat (demos) di dalam pemerintahan (kratos) mulai terasa.
Berdasarkan Indeks Demokrasi 2018 yang dirilis The Economist Intelligence Unit, Indonesia berada di peringkat ke-65 dengan skor 6,39. Dari skala 0-10, semakin kecil angka, maka semakin buruk kualitas demokrasi.
Sejak 2014, skor Indonesia cenderung menurun. Pada 2014, Indonesia memiliki skor 6,95, lalu meningkat menjadi 7,03 pada 2015. Selanjutnya, skor Indonesia kembali menurun menjadi 6,97 pada 2016, kemudian menurun drastis pada 2017 dan 2018 dengan skor 6,39.
Di kawasan Asia Tenggara, peringkat Indonesia sudah di bawah Timor Leste (peringkat ke-42), Malaysia (52), dan Filipina (53).
Dengan skor itu, Indonesia masuk dalam kategori flawed democracy, yakni negara yang memiliki pemilihan umum yang bebas dan adil serta kebebasan sipil dasar yang dihormati.
Meski begitu, terdapat sejumlah kelemahan di dalam pelaksanaan demokrasi, mulai dari masalah dalam pemerintahan, budaya politik yang tidak berkembang, hingga partisipasi politik yang rendah.
Menurut Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra, ciri-ciri flawed democracy telah terlihat nyata di Indonesia, seperti muncul politik identitas dalam pertarungan di pemilihan umum, sikap intoleransi, dan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu yang tidak selesai.
”Hal itu membuat demokrasi tidak berjalan sempurna. Gejala itu diperparah dengan kebebasan berekspresi dan berserikat yang dibatasi, salah satunya melalui kehadiran Undang-Undang Ormas,” kata Azyumardi pada acara talkshow Satu Meja The Forum bertajuk ”Politik dan Pertaruhan Demokrasi” di Kompas TV, Rabu (18/12/2019).
Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu hadir pula sejumlah pembicara lain, yaitu Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid; pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Fachry Ali; budayawan Radhar Panca Dahana; serta Pemimpin Redaksi Koran Tempo Budi Setyarso.
Di sisi lain, lanjut Azyumardi, pasca-Pemilu 2019 perjalanan demokrasi jauh dari harapan publik. Indikasi itu terlihat dari menghilangnya kekuatan penyeimbang terhadap pemerintah, sebab simpul oposisi utama yang menjadi pesaing Presiden Joko Widodo, yakni Prabowo Subianto dan Partai Gerindra, justru masuk ke dalam Kabinet Indonesia Maju.
Budi menilai terjadi ironi dari pertarungan Pemilu 2019 yang menyebabkan masyarakat terbelah menjadi dua bagian. Setelah Pemilu 2019 usai, lanjutnya, publik disingkirkan begitu saja oleh para elite politik seiring oposisi yang masuk pemerintahan tanpa mempertimbangkan perjuangan dari para pendukung.
”Demokrasi hanya dilihat sebagai instrumen mengejar kekuasaan. Para elite poltiik tidak memiliki ideologi, prinsip, dan konsistensi sehingga masyarakat disingkirkan setelah pemilu selesai,” katanya.
Kebebasan terancam
Dalam laporan ”Freedom in The World 2019” yang dikeluarkan Freedom House, Indonesia hanya mendapatkan nilai 62 dari skala 0-100. Nilai itu membuat Indonesia masuk kategori Partly Free.
Indonesia masuk dalam kategori itu sejak 2013. Padahal, sejak 1999 hingga 2012, Indonesia termasuk negara Free dalam hal kebebasan menjalankan praktik-praktik demokrasi.
Penurunan signifikan Indonesia terjadi dalam kebebasan sipil. Pada 2018, Indonesia memiliki angka 34 dari skala nilai 0-60, tetapi menurun 2 angka pada 2019. Indikasi paling buruk yang terjadi di Indonesia ialah kebebasan individu untuk melaksanakan dan mengekspresikan keyakinan beragama di muka umum.
Menurut Yenny, kebebasan berpendapat tidak hanya dipasung, tetapi juga mendapat ancaman dari aktor non-negara. Hal itu tidak lepas dari munculnya hegemoni yang hadir dari kelompok-kelompok intoleran seiring derasnya informasi di media sosial.
”Kebebasan bertindak dan mengekspresikan diri mendapat ancaman dari non-state actor, tetapi di satu sisi, negara tampaknya agak bingung menghadapi mereka terutama ketika menggunakan isu keagamaan,” kaya Yenny.
Lebih lanjut, ujar Yenny, kegamangan negara menghadapi aktor non-negara itu tidak lepas dari cara-cara kelompok itu menggunakan isu keagamaan dan kesukuan yang populer di masyarakat. Padahal, cara itu merupakan intrumen yang paling merusak dalam kehidupan bernegara.
Meski begitu, Yenny tetap yakin demokrasi Indonesia bisa tetap di dalam jalur yang baik ketika masih ada suara masyarakat sipil yang tetap kritis menyuarakan kondisi bangsa yang tidak sesuai dengan amanat nilai-nilai demokrasi.
Fachry menambahkan, meredupnya kebebasan untuk berpendapat merupakan kondisi yang sebelumnya tidak diharapkan muncul di dalam iklim demokrasi. Negara, lanjutnya, hanya menjadi salah satu aktor yang tampil dalam memunculkan opini dewasa ini. Di sisi lain, muncul individu-individu dengan logika kuat yang menjadi kekuatan alternatif untuk membentuk opini.
”Terjadi shifting (pergeseran) yang kita tidak tahu lagi di mana jangkar yang harus kita pegang,” ujar Fachry.
Menurut Radhar, perjalanan demokrasi yang semakin jauh dari ideal tidak lepas dari ketiadaan visi bangsa untuk demokrasi. Alhasil, tidak ada arah jelas yang dilakukan secara kolektif untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai demokratis.
Gejala itu diperparah, tambahnya, dengan peran negara yang kelewat batas karena ingin mengurusi persoalan di ranah privat publik. Sikap negara itu didasari realitas bahwa negara saat ini bukan aktor tunggal untuk menguasai opini di masyarakat, sebab sudah ada media massa dan media sosial yang membuat kebenaran bertransformasi dari referensial menjadi preferensial.
”Ketika negara kehilangan otoritas dan kehilangan posisi dominan, mereka berlaku over-acting untuk mengatur kehidupan masyarakat,” ucap Radhar.
Demokrasi bukan hanya milik segelintir elite politik, tetapi juga milik seluruh rakyat Indonesia. Akhirnya, waktu yang akan menjawab, siapa yang mengingkari cita-cita reformasi yang dicetuskan dua dekade silam.…