Pekerjaan Rumah Menata SDM TNI
Masalah sumber daya manusia TNI jauh lebih kompleks daripada masalah kelebihan kolonel dan perwira tinggi. Karena itu, solusinya juga harus lebih komprehensif dari sekadar menambah jabatan TNI.
Masalah sumber daya manusia TNI jauh lebih kompleks daripada masalah kelebihan kolonel dan perwira tinggi. Karena itu, solusinya juga harus lebih komprehensif dari sekadar menambah jabatan, baik di dalam TNI maupun TNI aktif mengisi jabatan fungsional di instansi sipil.
Perencanaan SDM TNI perlu bersifat strategis, yaitu memenuhi tujuan akhirnya: mempersiapkan TNI untuk perang. Hanya saja, tidak ada seorang pun yang bisa membayangkan bagaimana bentuk perang modern di masa depan. Di seluruh negara di dunia, para prajurit disiapkan berdasarkan perang-perang yang sudah pernah dialami.
Untuk mengantisipasi perang yang akan datang, para perencana militer menggunakan sains dan seni. Oleh karena itu, sah-sah saja jika kemudian muncul bayangan bahwa perang ke depan akan diwarnai drone sekecil burung gereja (film Eye in The Sky, 2015), robot tanpa awak (Iron Man 2, 2010), perpaduan kecerdasan buatan dan kloning (Gemini Man, 2019), dan siber (Spectre/James Bond, 2015).
Kegelisahan tentang pentingnya tentara profesional dalam menghadapi perang di masa depan juga menjadi diskusi intens. Kumpulan tulisan dalam Redefining the Modern Military yang diterbitkan Naval Institute Press, AS (2018), membahas mulai dari kebutuhan spesialisasi yang semakin tinggi bagi tiap personel, kemampuan teknis menggunakan teknologi, hingga masalah-masalah etika yang muncul karena teknologi.
Lepas dari berbagai keterbatasannya, TNI juga telah merancang adaptasi organisasi dan personel yang lebih sesuai dengan teknologi dan informasi. Pembangunan kekuatan TNI difokuskan pada pengadaan sewaco (sensor, weapons, and command) yang terpadu, serta pembangunan tactical data link, termasuk pengawasan dengan pesawat nir-awak.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto berencana mewujudkan network centric warfare, penggunaan dan penyebaran informasi agar unggul di medan perang. Namun, hal itu tersendat dengan belum adanya satelit militer yang pengadaannya di Kementerian Pertahanan masih problematik. Saat ini TNI menyewa satelit PT Telkom.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto berencana mewujudkan network centric warfare, penggunaan dan penyebaran informasi agar unggul di medan perang. Namun, hal itu tersendat dengan belum adanya satelit militer yang pengadaannya di Kementerian Pertahanan masih problematik.
Kurangnya prajurit TNI
Namun, di sisi lain, Indonesia masih bergelut dengan problem kuantitas dan sebaran SDM. Masalah yang kerap disampaikan adalah banyaknya kolonel dan perwira tinggi yang non-job. Non-job artinya tidak memiliki jabatan.
Secara personal, hal ini menimbulkan rasa frustrasi karena seorang perwira merasa seperti menjadi pengangguran terselubung. Sementara secara nasional, ada kerugian karena kapasitas seorang perwira pada usia yang paling produktif tersia-siakan.
Saat ini ada kelebihan di tingkat kolonel dan perwira tinggi TNI sekitar 125 persen dari jabatan yanag tersedia.
Namun, ada masalah lain yang juga mendasar, yaitu kekurangan personel. Saat ini, secara umum baru sekitar 75 persen susunan organisasi TNI yang terisi. Ini berarti ada kekosongan masif personel di tingkat jabatan kopral dua sampai letnan kolonel. Hal ini membawa beberapa konsekuensi.
Di berbagai lini operasional terjadi kekurangan orang. Solusi yang dilakukan selama ini adalah rangkap jabatan walau bukan berarti mendapat gaji dobel. Hal ini membuat seorang personel harus bekerja lebih daripada seharusnya. Hal ini harus diwaspadai karena kelelahan yang berlebih bisa berisiko pada tugas, kesehatan, serta rentan masalah sosial.
Hal ini belum mencakup masalah biaya, yakni anggaran operasional TNI tidak selalu bisa mengakomodasi masalah geografi. Perhatian tambahan perlu diberikan pada gelar pasukan di perbatasan yang tidak hanya mahal, tetapi juga tidak semua tabel organisasi dan perlengkapan/daftar susunan personel dan perlengkapan terisi penuh.
Dalam jangka panjang, kekurangan personel itu juga membuat lebih sedikit perwira yang mendapat kesempatan sekolah ke luar negeri. Padahal, sekolah ke luar negeri untuk perwira muda bukan hanya membuka wawasan. Namun, hal yang lebih penting adalah membangun jaringan dengan personel militer negara lain untuk kebutuhan diplomasi militer ke depan.
Kelebihan perwira TNI
Ironisnya, pada saat yang sama terjadi kelebihan perwira. Beberapa langkah telah dilakukan untuk menangani masalah ini.
Peraturan Panglima TNI (Perpang) Nomor 40/2018 memperlambat kenaikan pangkat perwira dengan mengubah masa dinasnya. Misalnya, untuk seorang lulusan sekolah staf dan komando (sesko) angkatan, masa dinas perwira letnan kolonel diubah dari minimal 16 tahun menjadi 18 tahun.
Solusi lain adalah jabatan fungsional perwira TNI. Selain itu, juga sedang diadakan perubahan UU No 34/2004 tentang TNI sehingga ada beberapa jabatan di instansi sipil yang nanti akan diisi perwira TNI aktif.
Saat ini, berdasarkan UU TNI, ada 10 instansi di luar TNI yang secara legal bisa diisi militer aktif. Dalam praktik yang bisa diterima, Badan Keamanan Laut yang dibentuk setelah tahun 2004 juga diisi TNI aktif.
Persoalannya, ada praktik yang sulit diterima alasannya, seperti penempatan perwira aktif di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Perhubungan.
Pemerintah dan juga Mabes TNI membantah masuknya perwira TNI aktif ke posisi-posisi sipil itu bukan pengulangan Dwifungsi ABRI. Namun, sejarah menunjukkan masuknya TNI ke jabatan-jabatan sipil pada awal Orde Baru juga didasari maksud baik, yaitu mengaryakan militer agar kemampuannya tidak mubazir.
Ada dua hal yang menjadi masalah mendasar terkait hal ini. Untuk TNI, para perwira aktif yang keluar dari TNI untuk sementara jadi punya dua loyalitas. Konsentrasi mereka untuk TNI yang profesional untuk perang modern tidak lagi fokus. Kedua, kebijakan ini mengorbankan para pejabat sipil yang telah membangun karier.
Solusi
Sayangnya, solusi yang diajukan selama ini malah menimbulkan tanda tanya. Misalnya, Peraturan Presiden No 66/2019 tentang Susunan Organisasi TNI, menghasilkan banyak jabatan untuk perwira tinggi.
Banyaknya perwira tinggi otomatis meningkatkan porsi anggaran rutin TNI yang saat ini sudah menelan sekitar 60 persen dari total anggaran. Kenaikkan anggaran pertahanan tidak akan berdampak pada modernisasi TNI, tetapi lebih untuk gaji.
Selain itu, rencana memperpanjang usia bintara/tamtama dari 53 tahun menjadi 58 tahun juga problematik. Hal ini tidak saja menimbulkan masalah fisik, tetapi juga dipertanyakan efektivitasnya dalam mengadopsi teknologi baru.
Daripada menunggu sampai seorang perwira non-job, sejak awal seleksi telah dipersiapkan jalur di luar TNI.
Solusi yang sudah kerap diajukan adalah perencanaan yang lebih komprehensif dari sisi personel. Daripada menunggu sampai seorang perwira non-job, sejak awal seleksi telah dipersiapkan jalur di luar TNI.
Misalnya, perwira yang tidak lulus seleksi Sesko dipersilakan untuk ikut jalur karier di luar TNI yang dipersiapkan. Demikian pula perwira-perwira dengan peringkat di bawah 50 persen, perlu didorong berani untuk berkiprah dan berkontribusi di luar TNI.
Sistem prestasi juga harus diperbaiki sehingga karier seseorang tidak ditentukan dari latar keluarganya, teman angkatannya, dukungan politik, atau suka tidak suka atasannya. Namun, hanya prajurit terbaik yang akan melaju hingga memegang jabatan pembuat keputusan.
Ada banyak alternatif solusi untuk membangun SDM TNI yang lebih baik. Pertanyaan yang paling dasar memang ditujukan pada TNI, pemerintah, dan masyarakat. Apakah TNI memang benar-benar dipandang sebagai alat negara?