Dalam kejadian bencana, semua orang bisa jadi korban sekaligus penyelamat. Apakah perempuan juga bisa jadi penyelamat? Jawabannya sangat bisa. Lantas, apa saja yang bisa dilakukan perempuan dalam penanganan bencana?
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
Asano Sachiko, Co-Representative Training Center for Gender and Disaster Risk Reduction (GDRR) dari Institute for Sustainable Community and Risk Management Tokyo Gender and Disaster Network, mengatakan, perempuan bisa berperan dalam pencegahan bencana, penanganan selama bencana, sekaligus pada rekonstruksi pascabencana. Pada pencegahan bencana, misalnya, perempuan bisa berperan aktif dalam pelatihan-pelatihan kesiagaan bencana. Di Jepang, perempuan berperan dalam pemadaman kebakaran. ”Pemadam kebakaran perempuan ini bukan (sebagai petugas) pemadam kebakaran utama.
Mereka hanya perespons pertama jika ditemui kebakaran di sekitarnya. Semua orang, baik perempuan maupun orang tua sekalipun, bisa jadi perespons pertama jika terjadi bencana seperti itu,” kata Sachiko di hadapan sejumlah jurnalis dari negara-negara Asia Pasifik yang diundang untuk mengunjungi Training Center GDRR di Tokyo, 2 Desember lalu.
Dalam hal mitigasi bencana, perempuan di Jepang juga punya peran penting. Hana Kobayashi, perempuan asal Tokyo, membagikan pengalamannya terkait tradisi mitigasi bencana yang dilakukan oleh warga, termasuk perempuan. ”Ada sekelompok orang yang akan berkeliling kampung untuk mengingatkan apakah api sudah dimatikan atau belum. Itu dilakukan setiap malam menjelang tidur dengan berkeliling jalan kaki dari rumah ke rumah dan memukul alat (semacam kentongan),” katanya.
Hana juga mengatakan turut menjadi sukarelawan saat topan Hagibis beberapa bulan lalu menerjang Jepang. ”Saat itu, untuk pertama kalinya saya mengungsi bersama keluarga. Saat itu, sungai di dekat rumah saya diprediksi meluap,” katanya. Meski menjadi pengungsi, Hana juga memilih menjadi sukarelawan karena tenaga sukarelawan di posko tempatnya mengungsi kurang. Lelaki dan perempuan saat itu sama-sama berbagi tugas mengurusi pengungsi.
Adapun pada saat terjadi bencana, perempuan bisa turut menjadi pendeteksi kondisi tetangga di sekitar rumahnya. ”Perempuan biasanya lebih banyak tinggal di rumah sehingga tahu tetangganya siapa saja dan sudah menyelamatkan diri atau belum. Informasi ini penting dan perempuan bisa diandalkan untuk itu,” kata Sachiko menambahkan.
Selain itu, perempuan juga bisa turut andil mendorong penyediaan tempat penampungan yang ramah anak dan perempuan. Oleh karena itu, penting adanya perempuan sebagai salah satu anggota tim penyelamat/sukarelawan yang ikut merumuskan kebijakan.
Selama bencana, beberapa hal yang sering terlupa adalah diperlukannya tempat terpisah antara laki-laki dan perempuan. Hal itu untuk mencegah terjadinya pelecehan pada perempuan dan anak yang mungkin saja terjadi saat berbaur di tempat pengungsian.
”Selain itu, tempat khusus bagi perempuan juga memungkinkan agar ibu bisa tetap menyusui anaknya selama berada di penampungan. Anak-anak korban bencana sangat butuh asupan susu dan susu paling higienis adalah dari ibu, bukan susu pembagian di pengungsian,” kata Sachiko.
Dengan adanya perempuan sebagai sukarelawan, harapannya pemenuhan dan distribusi kebutuhan perempuan untuk hal-hal privat, seperti pembalut dan pakaian dalam, akan lebih terpantau. ”Bisa jadi bantuan itu menumpuk di satu tempat dan tidak terdistribusi dengan baik karena tidak ada yang mendistribusikannya,” kata Sachiko.
Adapun saat rekonstruksi pascabencana, perempuan juga bisa berbuat banyak hal, di antaranya turut membantu pemulihan psikologis para korban bencana. ”Daripada meratapi nasib sehingga terjebak pada minuman beralkohol dan tindakan tidak produktif lain, perempuan bisa mengajak pria untuk turut bertanggung jawab menyediakan makan.
Pria bisa dilatih memasak dan tidak membebankan semua urusan pemenuhan makanan pada perempuan. Tindakan ini sekaligus juga meringankan beban perempuan sebagai korban bencana,” kata Sachiko. Berbagai peran perempuan dalam penanganan bencana itu bisa terwujud jika mereka diberi tempat dalam manajemen bencana.
Siaga
Kepala Honjo Life Safety Learning Center Tokyo Fire Department Imamura Hitoshi mengatakan, setiap orang, termasuk perempuan, harus siaga terhadap segala bencana yang mungkin terjadi. Baik itu kebakaran, angin kencang dan banjir, maupun gempa bumi dan tsunami. Honjo Life Safety Learning Center Tokyo didirikan untuk mendorong kesiapsiagaan itu. Ada dua pusat pelatihan serupa di kota lain di Jepang. Namun, Honjo Life Safety Learning Center Tokyo adalah yang terbaru dan terbesar.
Honjo Life Safety Learning Center Tokyo adalah departemen di bawah Pemadam Kebakaran Jepang. Di sini, siapa saja bisa belajar mitigasi bencana serta bersiap saat bencana menerpa. Ada beberapa kegiatan simulasi bencana yang bisa dirasakan oleh pengunjung secara gratis, misalnya simulasi membuka pintu saat pintu tertutup banjir, simulasi menyikapi hujan angin, simulasi keluar dari asap kebakaran, serta simulasi merasakan gempa bumi.
”Apa yang bisa kita lakukan jika bencana menerjang kita? Itu sebabnya, kita semua harus waspada dan tahu apa yang harus dilakukan saat bencana datang. Siapa pun, baik laki-laki, perempuan, anak-anak, maupun orang tua. Kesiapan ini akan mengurangi risiko atas bencana,” kata Imamura.
Di setiap simulasi, petugas akan mengarahkan cara terbaik untuk menghadapi setiap bencana tersebut. Saat di simulator gempa bumi, misalnya, pengunjung disarankan untuk berlindung di bawah meja, menutup kepala, dan keluar ruangan saat situasi aman.
”Saya rasa pusat pelatihan bencana seperti ini sangat bagus karena membuat kita tahu hal-hal yang bisa dilakukan saat terkena bencana. Selain itu, tempat seperti ini juga akan selalu mengingatkan bahwa pencegahan bencana sangat penting,” kata Ni Xiaowen, pengunjung Honjo Life Safety Learning Center Tokyo asal China.
Dari gambaran di atas, harus diakui bahwa Jepang beberapa langkah lebih maju dalam penanganan bencana. Jepang mengajarkan bahwa siapa pun berpotensi menjadi korban, sekaligus penyelamat, saat bencana datang. Siapa pun, termasuk perempuan.