Ambisi Liverpool menggapai puncak dunia untuk kali pertama bakal tidak mudah terwujud. Lawannya, Flamengo, berambisi mengulang mimpi buruk “The Reds” di final Piala Dunia Antarklub 2019, Minggu dini hari WIB.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
DOHA, JUMAT – Ribuan suporter Flamengo menari samba dan berpesta di jalanan ibukota Peru, Lima, ketika membungkam River Plate 2-1 di final Copa Libertadores 2019, November lalu. Dalam nyanyian keriangannya itu, mereka menyinggung Liverpool FC, klub juara Eropa yang terpisah nyaris setengah jarak dunia.
“Pada Desember 1981, kami menari mengelilingi orang-orang Inggris. (Menang) 3-0 atas Liverpool. Itulah jejak bersejarah yang tidak pernah kami lupakan,” demikian nyanyian mereka dalam bahasa Portugis itu seusai meraih trofi Copa Libertadores, kompetisi antarklub di Amerika Selatan, keduanya sepanjang sejarah.
Ketika itu, 38 tahun silam, Flamengo bertemu Liverpool di final Piala Interkontinental yang menjadi cikal bakal dari Piala Dunia Antarklub. “The Reds” ketika itu digadang-gadang sebagai klub terbaik sejagat karena baru saja menguasai Eropa dan diperkuat barisan pemain ternama seperti Graeme Souness, Kenny Dalgish, dan Terry McDermott.
Realitasnya, mereka seperti kehilangan aura hebatnya pada duel di Tokyo, Jepang, itu dan kalah 0-3. Para pemain Flamengo, khususnya Zico, saat itu tampil kesetanan seolah-olah menjalani laga terakhir dalam hidupnya. Itulah final pertama dan terakhir klub asal Brasil itu di puncak dunia sebelum akhirnya kembali ke pentas yang sama, akhir 2019 ini.
Flamengo menggapai final Piala Dunia Antarklub seusai menyingkirkan wakil Asia, Al-Hilal, 3-1, di semifinal. Takdir mempertemukan mereka kembali dengan Liverpool, lawan yang tidak lagi asing, pada Minggu (22/112/2019) pukul 00.30 WIB di Qatar. Bagi fans klub itu, pertemuan ini sudah diprediksi dan dinanti-nantikan. Seperti empat dekade silam, mereka sangat percaya diri dan tidak gentar dengan nama besar Liverpool.
“Saya sempat menghadiri acara TV di Brasil. Saat bertanya ke fans Flamengo, apakah memilih bertemu Al-Hilal atau Liverpool di final, jawabannya sungguh mengejutkan. Mereka justru ingin bertemu Liverpool untuk memberikan kejutan ke dunia. Mereka bakal bernyanyi selamanya jika kembali menang. Bagi saya, inilah final terbaik di turnamen ini sejak pertama kali digulirkan 2005 lalu,” ujar Tim Vickery, jurnalis ESPN.
Final Piala Dunia Antarklub kali ini agak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pada satu dekade terakhir, kesenjangan kualitas para finalis sangatlah mencolok. Para wakil Eropa seperti Real Madrid, Barcelona, Bayern Muenchen, dan Inter Milan, dengan mudah menjadi juara juara seusai melumat para finalis lainnya seperti Al-Ain, Gremio, Kashima Antlers, dan River Plate.
Flamengo berbeda dengan tim-tim Amerika Selatan lainnya. Mereka lebih mirip klub Eropa yang sengaja didesain untuk tampil ofensif. Hal itu tidak terlepas dari kehadiran Jorge Jesus, pelatih kaya pengalaman asal Portugal. Meskipun tidak lagi memiliki pemain sekelas Zico, Flamengo sangatlah berbahaya.
Mereka bermain seperti Liverpool, yaitu kompak, menekan di areal pertahanan lawan dan menerapkan garis bertahan tinggi. Karakter ofensif itu membuat mereka meraih prestasi hebat yang lama tidak dicapai, yaitu juara Liga Brasil dan Copa Libertadores. Tambahan trofi Piala Dunia Antarklub bisa menjadi capaian bersejarah dan era emas baru bagi klub berjuluk “Rubro-Negro” itu.
“Ini final kontra (Liverpool) adalah laga terpenting dalam hidup kami. Maka itu, kami harus tampil dengan kekuatan terbaik,” ujar Felipe Luis, bekas bek Atletico Madrid yang kini menjadi andalan di lini belakang Flamengo, seperti dikutip Globoesporte.
Melawan kutukan
Diakui Manajer Liverpool Juergen Klopp, Flamengo bisa menjadi tantangan tersulit timnya dalam mengakhiri penantian panjang klubnya sebagai juara dunia. Meskipun menjadi langganan juara Eropa, yaitu enam kali, Liverpool tidak sekali pun pernah meraih trofi Piala Dunia Antarklub maupun Piala Interkontinental.
Mereka bak dikutuk di turnamen itu. Dari tiga kali tampil di final, mereka selalu kalah dari tim-tim Amerika Selatan, khususnya Brasil. Cilakanya pula, mereka dihadapkan masalah di lini belakang. Bek andalannya, Virgil van Dijk, belum dipastikan bakal tampil meskipun ia telah kembali berlatih bersama tim, kemarin. Van Dijk sempat absen di laga semifinal akibat kurang bugar.
The Reds seperti di era suram, yaitu banyak kebobolan, ketika tidak diperkuat pemain terbaik Eropa 2019 itu. “Liverpool jelas membutuhkannya di laga kontra Flamengo. Dengan Van Dijk, Liverpool lebih tenang di belakang dan semua pemain bisa jauh lebih rileks serta fokus menyerang,” ujar Harry Kewell, mantan pemain Liverpool, seperti dikutip Goal.
Klopp berjanji timnya akan tampil habis-habisan mengejar trofi ketiganya tahun ini, yaitu setelah Liga Champions dan Piala Super Eropa. Mereka enggan pengorbanan “melepas” Piala Liga Inggris berakhir sia-sia. Di turnamen itu, Liverpool memilih menurunkan pemain belia alias akademi agar bisa fokus tampil di Piala Dunia Antarklub. Mereka bakal mengukir sejarah sebagai generasi pertama The Reds yang menjadi juara dunia.
“Kami di sini (Qatar) sekarang untuk mewakili Liverpool dan seluruh Eropa. Seperti biasanya, kami akan memberikan yang terbaik apa pun situasinya. Kami terbiasa menghadapi situasi sulit dan mencari solusinya,” tutur Klopp kemudian.(AFP/Reuters)