Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTB, belum memiliki kesiapsiagaan bencana yang ideal. Hal itu tecermin dari proses pembangunan kawasan yang tak disertai kajian risiko bencana serta penganaktirian BPBD setempat.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
LABUAN BAJO, KOMPAS — Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Barat, belum memiliki kesiapsiagaan bencana yang ideal. Hal itu tecermin dari proses pembangunan kawasan yang tak disertai kajian risiko bencana serta penganaktirian Badan Penanggulangan Bencana Daerah setempat. Padahal, Labuan Bajo memiliki ancaman geologi, vulkanologi, dan tsunami yang sangat nyata.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan, Labuan Bajo sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) seharusnya mendapatkan perhatian yang tinggi dari pemerintah daerah terkait kesiapsiagaan bencana. Namun, dia sangat menyayangkan, kondisi tata ruang di kawasan tersebut ternyata masih sangat jauh dari ideal.
Sejumlah hotel dan rumah masih dibangun di lereng yang memiliki sudut kemiringan hingga 60 derajat. Tak hanya itu, ada pula bangunan yang tidak memperhitungkan potensi ancaman tsunami.
”Kesiapsiagaan (di Labuan Bajo) belum memenuhi standar. Labuan Bajo harus memiliki manajemen kesiapsiagaan berstandar internasional. Pejabat daerah harus memikirkan ini. Kalau tak disiapkan dari sekarang, kita tidak akan siap (menghadapi bencana),” ujar Doni dalam pengarahan kepada seluruh jajaran Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat di Labuan Bajo, Sabtu (21/12/2019).
Berdasarkan data Data Informasi Bencana Indonesia BNPB, selama 10 tahun terakhir, dominasi bencana alam yang terjadi di Manggarai Barat adalah puting beliung (54 persen), gempa bumi (18,2 persen), tanah longsor (9,1 persen), kekeringan (9,1 persen), banjir (9,1 persen), dan lain-lain (0,5 persen).
Apabila dikaji dari risiko bencananya, gempa bumi merupakan bencana yang paling banyak jumlah penduduk berpotensi terpapar. Sebanyak 256.000 jiwa di Manggarai Barat berada di wilayah rawan bencana gempa bumi.
Doni menegaskan, lazimnya, peristiwa alam tersebut berulang. Namun, tak ada yang pernah tahu waktu pasti ulangan peristiwa tersebut.
Oleh karena itu, Doni meminta kepada pemda setempat agar mengantisipasi peristiwa alam yang pernah terjadi di sekitar kawasan Labuan Bajo. Dengan demikian, dampak kerugian dari bencana bisa diminimalkan.
”Ini jangan dilihat untuk menakut-nakuti, tetapi memicu kesiapsiagaan kita. Semakin tahu apa yang terjadi, kita semakin siap. Jangan sampai kita tidak belajar dari masa lalu,” tutur Doni.
Masalah lain yang ditemukan Doni adalah penganaktirian BPBD Manggarai Barat. Jumlah anggota kelembagaan bencana daerah tersebut hanya berisi 16 orang dari jumlah ideal 36 orang.
Terhadap situasi itu, Doni akan menyurati Menteri Dalam Negeri serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi agar seluruh BPBD yang wilayahnya masuk dalam KSPN bisa dikuatkan kelembagaannya, mulai dari pemenuhan jumlah anggota hingga peningkatan kualitas sumber daya manusia.
”BPBD di kawasan pariwisata itu, kan, enggak bisa sembarangan. Dia bisa melakukan semua fungsi prabencana. Daerah wisata harus punya konsultan untuk menata kawasan agar aman bagi wisatawan,” ucap Doni.
Ancaman tsunami
Kepala Subdirektorat Peringatan Dini BNPB Abdul Muhari menambahkan, ancaman tsunami di kawasan Labuan Bajo patut diwaspadai. Sebab, sejumlah segmen zona duga sesar di sekitar kawasan itu masih aktif dan menyimpan energi.
Di utara Nusa Tenggara Timur, ada sesar naik belakang (back arc thrust) yang memanjang dari Flores Timur hingga utara perbatasan Pulau Lombok dan Bali. Sisi timur dari segmen naik belakang ini sudah lepas saat gempa berkekuatan magnitudo (M) 7,8 pada tahun 1992 di Pulau Babi.
Sementara itu, sisi barat dari segmen ini berkemungkinan lepas sebagian saat rangkaian gempa di Lombok pada 2018 dengan kekuatan M 5,5, M 6,5, dan M 6.
”Pelepasan energi di ujung timur dan barat segmen ini menyisakan satu segmen di tengah persis di utara Labuan Bajo. Itulah yang harus kita waspadai karena kita tak tahu kapan tekanan akan terjadi,” ujar Abdul, yang merupakan lulusan Teknik Tsunami Tohoku University, Jepang.
Abdul menegaskan, bangunan tahan gempa belum tentu tahan tsunami. Oleh karena itu, cara memitigasi tsunami adalah pembangunan gedung jangan sampai terlalu dekat dengan garis pantai. Apabila ada hotel di kawasan pantai, lantai 1 dan lantai 2 tidak boleh dipakai untuk kamar tidur. Upaya mitigasi lain adalah membangun hutan mangrove di kawasan pantai.
Abdul juga mengingatkan pentingnya manajemen kedaruratan saat bencana terjadi. Dengan begitu, gerak evakuasi korban kelak bisa tertangani dengan baik.
Dalam kesempatan itu, Wakil Bupati Manggarai Barat Maria Geong mengakui, hingga saat ini proses penyusunan rencana detail tata ruang (RDTR) belum menyertakan kajian risiko bencana. Oleh karena itu, pihaknya akan mulai mengkaji revisi RDTR agar ke depan setiap bangunan bisa aman dari potensi ancaman bencana.
”Kami akan sesuaikan dengan hasil-hasil riset. Jadi membangun dengan basis riset. Artinya, kami mau merencanakan sesuatu itu secara holistik, mulai dari aspek bencana, ekosistem, hingga kearifan lokal,” ucap Maria Geong.
Menurut dia, sebagai kawasan wisata, semua pemilik hotel dan warga harus memiliki wawasan yang baik terkait kesiapsiagaan bencana. ”Yang ada sekarang justru (ada bangunan) dekat ke laut. Padahal, kalau ada tsunami, kan, kita tidak tahu. Tetapi yang jelas adalah kita miliki potensi (tsunami) itu,” lanjutnya.
Ancaman longsor
Maria Geong pun menyebutkan, ancaman longsor sangat nyata di Labuan Bajo. Secara topografi, daerah tersebut berbukit-bukit dengan sudut kemiringan rata-rata di atas 30 derajat. ”Jadi memang sangat berisiko terhadap longsor,” katanya.
Pantauan harian Kompas di Jalan Kampung Ujung Waicicu, Kelurahan Labuan Bajo, sebuah hotel mulai dibangun. Fondasi sudah terbangun di lereng yang memiliki sudut kemiringan hingga 60 persen.
Pada Maret lalu, longsor terjadi di Desa Tondong Belang, Kecamatan Mbeliling, atau sekitar 20 kilometer dari Bandar Udara Komodo. Longsor yang terjadi setelah hujan panjang tersebut menelan delapan korban jiwa. Lahan pertanian pun rusak.
Camat Mbeliling R Resmanto mengakui bahwa longsor terjadi karena kurangnya vegetasi di perbukitan. Penebangan pohon yang serampangan mengakibatkan tanah tandus dan berakibat longsor saat curah hujan tinggi.
”Pohon jabon hampir 90 persen hilang. Daerah ini termasuk zona merah (sangat rawan longsor) setelah dicek Badan Geologi (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) Bandung,” ujar Resmanto.
Terhadap kondisi itu, BNPB langsung mengirimkan bantuan 500 bibit aren. Doni meminta agar bibit-bibit tersebut prioritas ditanami di wilayah lereng yang tandus. Selain mampu mencegah tanah longsor, bibit tersebut juga mampu menggenjot ekonomi warga. Dia berharap, kepala desa mampu menyisihkan dana desa untuk pembelian bibit-bibit lain di wilayah tersebut.