Langgam Gereja yang Senantiasa Berubah
Wajah gereja berevolusi dalam kisah pewartaan agama di Sulawesi Utara. Selama 85 tahun terakhir, gereja-gereja kayu mulai meninggalkan langgam aslinya di tanah Minahasa.
Wajah gereja berevolusi dalam kisah pewartaan agama di Sulawesi Utara. Selama 85 tahun terakhir, gereja-gereja kayu mulai meninggalkan langgam aslinya di tanah Minahasa.
Benyamin Sigar berbinar mengamati kilap marmer krem yang sedang dipoles. Tepat di tengah ruangan seluas 15 meter x 15 meter persegi itu marmer merah marun membelah hamparan marmer krem membentuk jalur khusus berjalan.
Selama empat bulan terakhir, jemaat Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) Sentrum Manado bersiap menyambut Natal dengan suasana baru. Sepanjang lantai menuju panggung mimbar telah berganti dari tegel putih menjadi marmer.
”Tinggal tunggu dipoles sekali lagi sebelum Natal,” kata Benyamin, Rabu (11/12/2019). Tak tanggung-tanggung, Rp 500 juta digalang dari umat dan donatur untuk mengubah wajah gereja. ”Rumah Tuhan memang harus dibikin bagus,” kata Pendeta Flori Monigir Laoh, Ketua Jemaat GMIM Sentrum Manado.
Perubahan bukan lagi asing bagi GMIM Sentrum Manado. Gereja pertama di Manado yang dibangun pada 1677 sebagai Groote Kerk alias Gereja Besar ini mulanya berbentuk persegi panjang dengan material kayu. Sebuah menara lonceng menjulang di atas atap seng berbentuk segitiga.
Namun, Perang Dunia II meratakan gereja kayu itu dengan tanah. Baru pada 1952, gereja didirikan kembali. Saat itulah GMIM Sentrum Manado meninggalkan langgam arsitektur awalnya, Romanesque yang sangat sederhana, menjadi kolonial.
Dosen Arsitektur Universitas Sam Ratulangi, Aristotulus Tungka, mengatakan, mulanya gereja-gereja Kristen Calvinis di Manado dan Minahasa selalu berarsitektur sederhana. Bangunan berbentuk persegi panjang dengan sebuah menara lonceng di atapnya. Di Eropa, gereja Calvinis dibangun dengan langgam serupa, tetapi dengan material batu.
”Karena itu, gereja GMIM biasanya minim ornamen, berbeda dengan gereja Katolik yang banyak ukiran dan patung, ciri khas gotik,” kata Aris. Ia menambahkan, hal itu tidak terlepas dari dampak pemisahan penganut Protestan dari gereja Katolik.
Kendati telah berubah gaya menjadi kolonial, GMIM Sentrum Manado tetap ikonik. Meski minim ornamen, simbol-simbol kekristenan justru tersirat kuat dari bentuk-bentuk bangunannya. Dari atas, gedung gereja tampak seperti tanda plus berwarna merah, sesuai warna atap seng gereja. Ini menyimbolkan salib sebagai lambang kebesaran Yesus Kristus.
Gereja ini memiliki tiga pintu masuk dengan atap berbentuk tiga tumpuk limas segitiga. Di masing-masing fasad atap itu terdapat kaca patri bergambar Yesus menggembalakan domba, Yesus mengetuk pintu, dan Yesus bersama anak-anak. Bentuk segitiga dan lengkungan itu melambangkan Yesus sebagai alfa dan omega atau awal dan akhir.
Dinding pada dasar bangunan GMIM Sentrum Manado yang terbuat dari batu alam menunjukkan sebutan Yesus sebagai gunung batu. Tembok putih pun melambangkan kesucian. Beberapa simbol lain lebih gamblang terlihat, seperti kaca patri bergambar tiga lilin yang menggambarkan konsep Trinitas. Gambar buah anggur pun melambangkan darah Kristus. Semua kaca itu terpasang pada jendela kayu khas rumah kolonial.
Berubah
Kini, gereja-gereja GMIM telah meninggalkan langgam awalnya yang sederhana. Ini paling terlihat di Gereja GMIM Nazareth Tuminting. Selama hampir 80 tahun, jemaat Nazareth beribadah di gedung gereja sederhana dengan bentuk persegi panjang tanpa ornamen apa pun selain sebuah salib dan tiga lengkungan menyerupai gerbang di fasad muka gereja. Sebuah menara lonceng berdiri di atasnya.
Namun, mulai 2013, jemaat berpindah ke sebuah gereja megah bergaya Renaisans di sebelahnya. Ada kubah setengah bola didampingi dua menara lonceng. Kaca patri besar bergambar Yesus Kristus terpasang pada dinding di bawah sebuah atap segitiga. Dinding, lantai, hingga pilarnya berlapis marmer. Gereja yang baru ini diresmikan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri.
Nita (50), salah satu jemaat, mengatakan, umat turut menyumbang pembangunan gereja baru. ”Biarpun umat rumah umat biasa-biasa saja, kami mau gereja yang bagus buat Tuhan. Gedung gereja lama tetap berdiri, tapi diubah menjadi gedung serba guna,” katanya.
Sementara itu, GMIM Eben Haezer Bumi Beringin lebih unik karena atapnya yang berbentuk limas segitiga pipih dengan ujung lancip. Dua buah tangga khas rumah Minahasa akan membawa umat ke balkon gereja. Namun, secara umum bangunan gereja tetap berbentuk persegi panjang. Tugu lonceng berdiri terpisah dari gereja.
Aris mengatakan, keunikan GMIM Eben Haezer Bumi Beringin terletak pada atapnya yang mengandung unsur rumah Minahasa, begitu juga tangganya. Langgamnya pun sudah berbeda dari GMIM Sentrum Manado dan GMIM Nazareth Tuminting. Namun, selalu ada makna yang sama pada bentuk-bentuk bangunan yang berbeda, seperti atap segitiga sebagai lambang alfa dan omega.
Di samping itu, atap ketiga gereja terletak sangat tinggi dari lantai. ”Plafon yang tinggi itu untuk menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan yang Mahatinggi,” kata Aris. Menara lonceng pun selalu ada dan selalu dibunyikan menjelang waktu kebaktian. Di samping itu, gereja GMIM umumnya tak memiliki banyak ornamen.
Interpretasi pribadi
Meski mampu mengidentifikasi semiotika di dalamnya, Aris mengatakan, perkembangan arsitektur GMIM masa kini tak berkelanjutan. Para pendeta dinilainya tidak lagi mementingkan makna-makna Kristianitas dalam bentuk gereja.
Ketua Jemaat GMIM Eben Haezer Bumi Beringin Pendeta Jimmy Suwatan, misalnya, mengatakan, tidak ada makna tertentu dari bentuk-bentuk gereja selain alasan estetika. ”Lagi pula, keseluruhan gereja adalah bait Allah,” katanya.
Para arsitek juga tak lagi memperhatikan semiotika dalam budaya GMIM. Menurut Aris, mereka lebih banyak terilhami oleh bangunan-bangunan yang mengesankan, kemudian memasukkannya ke bentuk gereja. ”Makanya, makin banyak gereja yang malah terkesan seperti istana boneka,” katanya.
GMIM Bethesda Ranotana adalah salah satunya. Fasad gereja tampak bertingkat tiga dengan segitiga besar di puncaknya, didampingi dua menara lonceng. Terdapat menara-menara kecil yang tampak seperti pucuk Istana Kremlin Moskwa. Kesan yang ditimbulkan bukan seperti gereja gotik di Eropa, melainkan gerbang kluster perumahan elite.
Lain lagi GMIM Musafir Kleak yang sebenarnya berlanggam kolonial dengan tangga Minahasa. Namun, fasadnya pun dibangun menjadi segitiga yang didampingi dua menara lonceng. Bagian puncak segitiga bahkan mirip ikon gim video Assassin’s Creed. ”Semiotika tidak lagi diperhatikan dalam pembangunan gereja GMIM,” kata Aris.
Hal ini juga disampaikan Johansen Cruyff Mandey dalam Jurnal Matrasain. Gereja sangat penting bagi warga Manado sehingga pertumbuhan jumlahnya pesat. Pada 2018 terdapat 953 gereja GMIM di Sulut saja. Banyaknya jumlah gereja menyebabkan perkembangan arsitektur gereja tak terkontrol.
”Gereja didesain dan dibangun berdasar pada pemahaman individu, seperti bentuk yang pernah dilihat di suatu tempat atau foto,” kata Johansen.
Bagaimanapun bentuknya, umat yang mencari Tuhan tetap akan menemukan-Nya di gereja. Saat ini, ada 795.809 umat GMIM dari 226.753 keluarga di 968 gereja di Sulut dan beberapa daerah lainnya. Mereka dilayani 2.198 pendeta yang senantiasa taat dalam pewartaan kabar gembira Injil.