Perusahaan yang bertahan lebih dari 50 tahun pun tak bisa memaksimalkan kekayaan pemegang saham, laba, dan pertumbuhan sebagai kekuatan perusahaan. Fondasi nilai inti, adapatif, dan daya tahan yang perlu jadi ”DNA”.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
Kepada para milenial, orangtua sekarang sering menceritakan kekurangan uang kas. Kemerosotan pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai penyebabnya. Namun, kemunculan e-dagang membantu meyakinkan mereka tetap bisa terus bertransaksi.
Bagaimana caranya? Perusahaan e-dagang menciptakan generasi yang cenderung bertransaksi daring dan terus merasa perlu menemukan diskon. Inilah yang disebut dengan ekonomi promo atau promoconomy seperti yang ditulis oleh The New York Times dalam artikel ”Welcome To The Promoconomy” pada pertengahan Agustus 2019.
Lanskap promosi sangat berbeda satu dekade terakhir. Jika pada akhir 2000-an, saat resesi terjadi, pembeli menandai resesi ketika harga transaksi harian turun curam sampai toko menawarkan diskon besar-besaran.
Satu dekade kemudian, konsumen bisa mengunduh Honey untuk memudahkan memasukkan kode promo atau masuk ke laman Groupon guna mencari kupon diskon. Instagram mengemas ulang promosi dengan cara memberikan hadiah kepada pengikut (give away promotion).
Penyedia dompet elektronik berlomba-lomba menawarkan imbal tunai dengan nilai besar dengan dalih edukasi, seperti situasi di Indonesia. Di Asia Pasifik, konsumen mengenal ShopBack, perusahaan teknologi yang memiliki layanan utama berupa program imbal tunai. Pembeli daring dimungkinkan mengambil lagi sebagian uang saat mereka belanja. ShopBack juga menyediakan kupon diskon.
Promosi yang berhasil di masa depan adalah yang paling relevan bagi pembelanja di mana pun dan kapan pun. Di surat elektronik, media sosial, dan laman, promosi mengintai.
Masyarakat yang kerap berbelanja daring atau memakai mesin pencari untuk menelusuri penawaran akan memperoleh rekomendasi promo langsung. Biasanya, riwayat transaksi dan jejak penelusuran konsumen dipakai oleh perusahaan e-dagang memberikan promo.
Tentu ada ”ongkos” yang harus dibayar untuk semuanya itu. Profesor di Annenberg School for Communication di University of Pennsylvania, Joseph Turow, memandang daya tarik promosi masif yang sekarang terjadi mengondisikan konsumen untuk setor informasi pribadi.
Konsumen tetaplah konsumen. Perilakunya secara statistik tidak dapat diprediksi, kadang mengambil promo, kadang tidak.
Celakanya, para wirausaha bidang teknologi yang lahir awal abad 21 menjadikan pertumbuhan sebagai mantra. Tingkat pertumbuhan dianggap penentu kesuksesan. Menyubsidi konsumen melalui promo jadi salah bagian tak terpisahkan di setiap usaha mengejar pertumbuhan transaksi.
Managing Director of General Catalyst Hemant Taneja dan Former Chairman and CEO American Express Ken Chenault, dalam tulisan opininya di Harvard Business Review, 8 Juli 2019, mengakui beberapa perusahaan dari ledakan teknologi pertengahan 2000-an terobsesi terhadap disruptif dan kecepatan digital. Obsesi itu membuat mereka menganggap perusahaan yang sudah puluhan tahun kuno dan tidak perlu dikagumi.
Pendiri tidak terlatih berpikir dasar-dasar bisnis berkelanjutan. Sedikit perusahaan rintisan teknologi tahap awal berpikir kritis tentang prinsip-prinsip strategis yang diperlukan agar bisnis tetap bertahan. Sebagian investor pun gagal mengajarkan hal mendasar tersebut.Beberapa bulan terakhir, sejumlah usaha rintisan bidang teknologi di Indonesia mengkaji ulang performa produk dan menetapkan keputusan. Pada awal Oktober 2019, misalnya, Bukalapak mengkaji ulang performa bisnis seluruh produk. Proses itu, antara lain, berdampak pada pengurangan karyawan.
Belakangan, Gojek Indonesia mendengungkan rencana menutup beberapa fitur layanan dalam GoLife yang performa pertumbuhannya dianggap tidak sesuai harapan.
Upaya memberikan promo terus-menerus memang berpotensi menambah pangsa pasar. Namun, dampak akhirnya bisa mematikan pemain lain. Asosiasi E-Commerce Indonesia menyebut ada perusahaan e-dagang yang akhirnya cabut dari Indonesia karena ketatnya persaingan itu.
CB Insights menemukan, 5 dari 10 alasan teratas perusahaan rintisan bidang teknologi di dunia gagal berkaitan dengan pelanggan. Mereka memiliki teknologi hebat, data canggih tentang perilaku belanja, pemimpin mempunyai reputasi keren, dan penasihat istimewa. Namun, mereka tak punya model bisnis yang bisa memecahkan masalah pasar yang sesungguhnya. Tantangan saat ini dan ke depan akan makin kompleks.
Amat relevan kembali melongok pernyataan Jim Collins dan Jerry Porras, dalam buku risetnya Built to Last . ”Perusahaan visioner” yang telah bertahan lebih dari 50 tahun tak satu pun menyatakan memaksimalkan kekayaan pemegang saham, laba, dan pertumbuhan sebagai pendorong kekuatan perusahaan. Memiliki kejelasan fondasi nilai inti, adaptif, dan daya tahan barangkali yang perlu selalu ditekankan sebagai ”DNA” perusahaan.