Pada 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pernyataan masyarakat global perlunya penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·3 menit baca
Sebelum Desember berlalu, saya perlu menulis catatan ini. Desember, persisnya 10 Desember, diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia Internasional. Pada 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pernyataan masyarakat global perlunya penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Dalam ”Satu Meja The Forum” di Kompas TV, Rabu, 11 Desember 2019, tiga keluarga korban pelanggaran HAM berada dalam satu panggung. Mereka ialah Wahyu Susilo, adik dari penyair Widji Thukul, yang hilang tak diketahui keberadaannya sejak 1998. Thukul dan sejumlah aktivis masih hilang hingga kini. Hilang tak tentu rimbanya, meninggal tak tentu kuburnya.
Ada juga Suciwati, istri aktivis hak asasi manusia, Munir, yang meninggal diracun di pesawat dalam perjalanan Jakarta-Amsterdam, 7 September 2004. Yang ketiga Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang tewas ditembak aparat keamanan saat peristiwa Semanggi 11-13 September 1998.
Sejarah Indonesia tetaplah diwarnai catatan gelap soal hak asasi manusia. Bagi Wahyu Susilo, kehilangan Thukul merupakan pukulan bagi keluarga. ”Sampai sekarang keluarga tidak pernah tahu nasib Thukul. Padahal, itu kan menyangkut nasib keluarga.”
Reformasi sudah berjalan 20 tahun, tetapi korban reformasi tak pernah beranjak lebih baik. Sebanyak 13 aktivis demokrasi yang memperjuangkan demokrasi dan pemerintahan yang bersih dari korupsi tak tentu
rimbanya. Rezim telah berganti. Namun, korban tetaplah sebagai korban dari permainan elite politik.
Negara abai terhadap keluarga korban aktivis yang dihilangkan. Keluarga hanya memegang sertifikat orang hilang yang dikeluarkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan ditandatangani Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim. Sertifikat dari Komnas HAM itu yang digunakan untuk mengurus hak sipil dan hak perdata dari keluarga korban penculikan.
"Hingga Kamis 19 Desember 2019, Aksi Kamisan sudah berlangsung 615 kali. Aksi Kamisan gagasannya diinspirasi dengan aksi The Mothers of Plaza de Mayo di Buenos Aires, Argentina, saat menuntut keadilan pada rezim militer"
Kekecewaan serupa disampaikan Sumarsih. Sumarsih, yang selalu mengenakan baju hitam, sebagai simbol cintanya kepada Wawan, terus saja menggelar Aksi Kamisan di depan Istana Negara di Jakarta. Hingga Kamis 19 Desember 2019, Aksi Kamisan sudah berlangsung 615 kali. Aksi Kamisan gagasannya diinspirasi dengan aksi The Mothers of Plaza de Mayo di Buenos Aires, Argentina, saat menuntut keadilan pada rezim militer. Siapa penembak Wawan tak pernah jelas. Gelap sampai sekarang. Rezim berganti. Keluarga korban tetaplah menjadi korban.
Protes serupa disampaikan Suciwati. Dalang dari pembunuhan Munir tetaplah gelap meski kasus itu telah berlalu 15 tahun lalu.
Cerita dan derita keluarga korban patut didengar Presiden Jokowi. Kebetulan perangkat kekuasaan Presiden Jokowi sudah lengkap. Kabinet telah lengkap dibentuk. Dewan Pertimbangan Presiden yang diketuai Jenderal (Purn) Wiranto telah dilantik. Staf khusus senior ataupun yang milenial telah bekerja. Kantor Staf Presiden yang dipimpin Jenderal (Purn) Moeldoko juga sudah aktif bekerja.
Saatnya janji kampanye dilunasi. Dalam Nawacita jilid I disebutkan tekad pasangan Jokowi-Jusuf Kalla dalam kontestasi Pemilu 2009-2014. Bunyinya, ”Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus pelanggaran HAM pada masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, penghilangan paksa, Talang Sari, lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.”
Menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu bukan sekadar melunasi janji kampanye, melainkan lebih mulia, yakni menyelesaikan problem kemanusiaan. Presiden Jokowi punya kapasitas dan modal sosial untuk itu.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bisa saja memberikan jawaban. Namun, proses politik itu tentunya tidak mudah. Butuh waktu. Sementara Presiden Jokowi sedang berkonsentrasi membahas undang-undang sapu jagat—omnibus law.
”Menemukan di mana korban dan menjelaskan kepada keluarga dan memberikan kompensasi kepada keluarga”
Langkah konkret sebenarnya bisa dilakukan. Presiden Jokowi bisa membentuk tim pencari aktivis yang masih hilang. ”Menemukan di mana korban dan menjelaskan kepada keluarga dan memberikan kompensasi kepada keluarga,” kata Wahyu.
Pengakuan negara bahwa telah terjadi penghilangan paksa penting untuk mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi keluarga korban. Menunggu KKR butuh waktu lama.
Ingatan individual bisa saja lenyap dengan kematian, tetapi ingatan sosial (social memory) akan tetap melekat. Orang-orang yang diduga terlibat akan terus dikaitkan meski kini tetap dalam lingkaran kekuasaan. Sementara korban tetaplah menjadi korban yang jadi penonton perilaku kekuasaan. Dari sisi politik, janji kampanye ibarat utang yang akan terus ditagih sebelum dilunasi. Tanpa penyelesaian, perjalanan bangsa ke depan akan selalu digelayuti bayangan masa lalu. Maka, selesaikanlah!