Meningkatkan Citra Dokter Indonesia
Sebagai seorang pensiunan guru, saya prihatin dengan pandangan masyarakat terhadap dokter di Indonesia.
Sebagai seorang pensiunan guru, saya prihatin dengan pandangan masyarakat terhadap dokter di Indonesia. Istri saya juga seorang guru, masih mengajar biologi. Kami sekeluarga sering berkonsultasi dengan dokter keluarga kami yang berpraktik dekat rumah. Sekarang kami menggunakan fasilitas BPJS.
Dokter yang bertugas masih muda-muda. Jika kita ikuti media sosial, baik tokoh maupun anggota masyarakat biasa banyak yang mengeluh tentang semakin menurunnya rasa sosial dokter Indonesia.
Jika dulu kita mengenal dr Wahidin, dr Cipto, yang menjadi pelopor rasa kebangsaan kita melalui organisasi Budi Utomo, rasanya semakin lama masyarakat di Indonesia beranggapan profesi dokter semakin mengutamakan unsur komersial dibandingkan dengan unsur sosial.
Dulu, dengan mudah kita menemukan dokter yang memasyarakat, mau berkunjung ke rumah pasien, bersahabat dengan pasien dan keluarga, serta tidak mempertimbangkan aspek penghasilan. Sekarang, jika berobat di rumah sakit, jika kita membayar dengan dana sendiri, sebelum dilayani harus membayar terlebih dahulu. Baik untuk menjalani pemeriksaan rontgen, laboratorium, maupun pemeriksaan dokter.
Kini, terbentuk opini layanan kedokteran tak berbeda dengan layanan jasa lainnya. Saya tak menyalahkan kehidupan dokter yang semakin baik, tetapi yang diharapkan masyarakat adalah sikap dan kebiasaan dokter yang suka menolong dan berpihak kepada masyarakat miskin.
Pemberitaan di media sosial memperkuat keyakinan saya bahwa rasa sosial dokter sekarang sudah mulai menurun. Banyak pernyataan yang menyalahkan dokter, baik layanan di rumah sakit yang tidak ramah, bahkan juga dalam defisit BPJS dokter memegang peran.
Dokter dianggap dalam melaksanakan pelayanan kedokteran kurang sadar biaya sehingga terjadi pemborosan. Meski demikian, saya menghargai Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang saya anggap merupakan organisasi profesi yang sampai sekarang solid dan berusaha keras meningkatkan perannya dalam membantu pemerintah dalam melaksanakan program kesehatan.
IDI kompak dan dalam membuat pernyataan menurut saya cukup masuk akal dan bijaksana. Masyarakat berharap dokter Indonesia semakin akrab dengan masyarakat, terutama masyarakat yang kurang beruntung, mampu berkompetisi dengan dokter di negara tetangga, sehingga masyarakat tidak perlu berobat ke luar negeri. Mampukah para dokter Indonesia meningkatkan citra sehingga masyarakat benar-benar merasa dokter Indonesia adalah sahabat mereka dalam memelihara kesehatan? Mohon penjelasan Dokter.
U di J
Saya bergembira Anda mengangkat topik ini untuk perbincangan kita di ruang ini. Masyarakat masih banyak yang kurang memahami bagaimana perjuangan untuk menjadi dokter serta bagaimana mereka meniti karier untuk sampai pada kehidupan yang lebih layak. Dokter adalah salah satu unsur dalam sistem pelayanan kesehatan kita. Jadi, banyak unsur pada pelayanan yang diterima masyarakat yang harus diperbaiki, bukan hanya unsur dokter saja.
Meski demikian, saya rasa IDI sebagai organisasi profesi kedokteran berterima kasih kepada semua pihak yang bersedia memperbaiki layanan kedokteran baik dengan cara menyampaikan keluhan maupun pernyataan. Di organisasi ini tersedia suatu badan yang menjaga dan memelihara etika kedokteran. Anggota badan ini terdiri atas para dokter senior yang dihormati. Saya pernah menjadi pengurus besar IDI, sebagai sekretaris jenderal organisasi, sehingga saya mengetahui majelis ini bekerja dengan cermat.
Tidak sedikit dokter yang mendapat pembinaan dan teguran karena dianggap dalam menjalankan tugas kurang sesuai dengan sumpah dokter dan etika kedokteran. Jumlah dokter di Indonesia dewasa ini sekitar 160.000 orang, 30.000 dokter spesialis dan 130.000 dokter umum. Jumlah ini meningkat tajam sejak dibuka fakultas kedokteran baru di daerah.
Untuk diterima menjadi mahasiswa fakultas kedokteran tidak mudah, seleksinya ketat, apalagi di universitas negeri yang sudah ternama. Biaya untuk pendidikan dokter juga mahal. Untuk universitas negeri, pemerintah ikut membiayai sehingga SPP mahasiswa relatif murah dibandingkan dengan universitas swasta.
Setelah seseorang tamat jadi sarjana kedokteran, dia harus menjalani pendidikan profesi sekitar dua tahun dan menjalani ujian nasional. Setelah terdaftar sebagai dokter, Kementerian Kesehatan mengutamakan penempatan dokter di daerah yang jumlah dokternya kurang sehingga banyak yang ditempatkan di daerah terpencil.
Setelah itu, mereka mungkin akan memasuki pendidikan untuk menjadi dokter spesialis. Untuk itu, harus menjalani seleksi. Jika lulus, lama pendidikan spesialis sekitar empat tahun. Biaya untuk pendidikan harus ditanggung sendiri, meski terbuka dukungan dana dari pemerintah pusat, daerah, atau lembaga lain.
Jam kerja dalam pendidikan dokter spesialis amat panjang. Mereka bekerja di siang hari, tetapi dalam waktu tertentu jaga malam hari. Sehabis jaga, tak mendapat kesempatan libur langsung bekerja lagi pada pagi harinya. Untuk peserta pendidikan perempuan yang sudah menjadi ibu, waktu untuk anak dan suami amat terbatas.
Setelah mereka lulus, Kementerian Kesehatan juga mengutamakan penempatan dokter spesialis di rumah sakit kabupaten yang jumlah dokter spesialisnya kurang sehingga banyak yang ditempatkan di daerah. Setelah itu, mereka dapat memasuki pendidikan konsultan yang memakan waktu sekitar tiga tahun. Suatu perjalanan yang panjang, penuh pengorbanan, dan biaya yang mahal.
Kompensasi atau gaji yang diterima dokter hampir sama dengan pegawai lain, tetapi mereka diberi izin untuk melaksanakan praktik pribadi di luar jam dinas. Jika dibandingkan dengan profesi lain, jenjang karier dokter amat lambat. Pada umur 40 tahun mungkin baru mencapai dokter konsultan, padahal teman SMA-nya sudah menjadi direktur bank atau jabatan lain yang sudah tinggi.
Pendidikan kedokteran amat menekankan kepada etika dan rasa kemanusiaan. Topik ini ditanamkan sejak awal. Saya kebetulan memberi kuliah pada modul Humanity, Professionalism, and Cultural Competence. Motivasi memilih bidang kedokteran pada umumnya masih karena dokter adalah pekerjaan yang mulia, dapat menolong orang banyak. Nah, mengapa ketika telah menjadi dokter, mereka banyak yang belum dapat menerapkan idealismenya?
Masyarakat mungkin tak banyak mengetahui bahwa banyak dokter umum kita yang kehidupannya memprihatinkan. Beberapa peserta pendidikan dokter spesialis terpaksa drop out karena tak mampu membayar biaya pendidikan. Dokter diharapkan masyarakat berjiwa sosial, tetapi dokter tidak mendapat hak istimewa dalam biaya pendidikan anak, membayar pajak, menyewa rumah, atau mencicil mobil. Jika mereka belum dapat memenuhi kehidupan secara mandiri, mungkin agak sulit mengamalkan kehidupan sosial menolong orang lain.
Akan tetapi, dokter masih harus memegang teguh sumpah dokter dan etika kedokteran. Patut diingat sekarang ini sekitar 60 persen mahasiswa kedokteran adalah perempuan. Untuk menilai citra dokter, salah satunya mungkin melalui media sosial. Biasanya banyak anggota masyarakat yang mengungkapkan terima kasihnya dengan senyum. Seorang anak yang dinyatakan sembuh setelah kemoterapi hanya dapat mencium (salim) kepada dokternya. Namun, bagi sang dokter, itulah ucapan terima kasih yang paling berkesan.
Dokter bekerja di rumah sakit sudah tentu harus menaati peraturan di rumah sakit tersebut. Jika dokter akan membebaskan biaya perawatan pasien, yang menjadi wewenang dokter adalah membebaskan honorariumnya, tetapi dokter tak punya wewenang terkait biaya kamar, obat, prosedur, dan lain-lain.
Ada juga kegiatan dokter yang tak diunggah ke media sosial. Di suatu rumah sakit pemerintah para dokter menyumbang untuk yayasan yang membantu pengobatan orang tak mampu, terutama yang tak dibiayai oleh BPJS. Uang yang terkumpul mencapai ratusan juta rupiah. Mereka berbuat dalam senyap.