Suksesi Bernama Aklamasi
Pergantian kepemimpinan partai politik pasca-Pemilihan Umum 2019 cenderung mengalami penurunan tensi kontestasi. Ada gejala tingkat persaingan perebutan pimpinan puncak partai mulai mengendur.
Pergantian kepemimpinan partai politik pasca-Pemilihan Umum 2019 cenderung mengalami penurunan tensi kontestasi. Ada gejala tingkat persaingan perebutan pimpinan puncak partai mulai mengendur. Upaya mempertahankan ketua umum petahana menjadi salah satu modus utamanya.
Setidaknya sudah ada tiga partai politik yang melakukan agenda lima tahunan, yang salah satunya terkait sirkulasi kepemimpinan partai setelah perhelatan Pemilihan Umum 2019. Tiga partai itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Golongan Karya (Golkar). Ketiganya sudah melakukan agenda lima tahunan tanpa disertai pergantian kepemimpinan.
Melihat sejarah mereka, PDI-P menjadi partai yang paling lama belum mengalami perubahan ketua umum, disusul kemudian PKB, dan Golkar yang pada tahun ini baru pertama mengalami pemilihan pucuk pimpinan partai tanpa ada pergantian ketua umum.
Bagi PDI-P, ajang Kongres yang digelar pada 8-11 Agustus 2019 tak ubahnya sebagai pengukuhan kembali Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum untuk periode keenamnya. Sampai terpilih di kongres terakhir, Megawati tercatat sudah memimpin PDI-P selama 26 tahun.
Megawati menjadi satu-satunya ketua umum yang menjabat paling lama dibandingkan dengan ketua umum partai politik lainnya. Menariknya, terpilihnya Megawati sebagai ketua umum hampir di semua kongres dilakukan secara aklamasi, alias tidak ada lawan yang maju menandingi Mega dalam pemilihan ketua umum.
Hasil kongres PDI-P, Agustus lalu, juga menorehkan sejarah baru, ketua umum terpilih Megawati kembali memercayai Hasto Kristiyanto sebagai sekretaris jenderal partai. Melihat sejarah perjalanan partai ini, jabatan sekjen tidak pernah dijabat sampai dua periode oleh orang yang sama. Sejak era PDI-P lahir setelah konflik internal, jabatan sekjen selalu orang yang berbeda, baik dari Alex Litay, Sutjipto, Pramono Anung, dan Tjahjo Kumolo.
Hasto merupakan orang pertama yang dipercaya lagi untuk menjadi sekjen pada lima tahun ke depan. Praktis, ketua umum dan sekretaris jenderal PDI-P lima tahun ke depan adalah kepengurusan sebelumnya. Megawati tetap menjadi ikon partai, meskipun rekor perolehan suara di pemilu cenderung menurun dibandingkan dengan rekor yang diraihnya pada Pemilu 1999.
Muhaimin dan PKB
Kecenderungan aklamasi yang menjadi ”tradisi” di Kongres PDI-P juga melanda PKB. Setidaknya tiga muktamar terakhir partai ini menghasilkan nama Muhaimin sebagai ketua umum terpilih.
Namun, berbeda dengan dua muktamar terakhir, di Muktamar PKB 2005, saat pertama kali Muhaimin terpilih sebagai ketua umum, pada awalnya muncul sejumlah nama yang masuk bursa calon ketua umum. Selain Muhaimin, saat itu muncul nama Wakil Ketua Dewan Pengurus Pusat PKB Mohammad Mahfud MD dan Ketua Fraksi PKB DPR Ali Masykur Musa. Di luar ketiganya, sebelumnya juga ada nama Saifullah Yusuf dan Khofifah.
Munculnya peraturan mengenai syarat ketua umum minimal lima tahun sebagai pengurus DPP PKB menjadi sandungan bagi bakal kandidat selain Muhaimin. Nama-nama lain akhirnya mengundurkan diri dari pencalonan. Muhaimin menjadi satu-satunya calon ketua umum yang pada akhirnya terpilih secara aklamasi. Pada 2008, saat terjadi dualisme kepengurusan PKB, Muhaimin kembali terpilih secara aklamasi melalui Muktamar Luar Biasa dan mengukuhkan kepengurusannya sampai periode 2010-2014.
Pada Muktamar PKB Tahun 2014, Muhaimin Iskandar kembali terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PKB untuk periode 2014-2019. Ia diajukan oleh semua peserta muktamar karena dinilai sukses memimpin PKB sehingga perolehan suara partai itu meningkat di pemilu legislatif. Muhaimin juga dinilai berhasil berkoalisi untuk memenangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam Pemilu Presiden 2014.
Pada pemilu 2014 ini, perolehan suara PKB melonjak lebih dari 5 persen. Dengan meraih total 9 persen suara nasional, PKB relatif mendekati perolehan suara partai ini pada Pemilu 1999 sebesar 12,6 persen. Demikian halnya dengan perolehan kursinya, naik dua kali lipat hampir menyamai rekor terbaiknya pada Pemilu 1999.
Kondisi itu tak jauh berbeda dengan hasil Pemilu 2019. PKB kembali menapaki rekor positif pada pemilu serentak nasional ini. Total suara PKB sedikit meningkat menjadi 9,6 persen dengan total kursi mencapai 58 di DPR.
Jumlah kursi itu meningkat 2 persen dibandingkan dengan Pemilu 2014. Prestasi ini kembali mengantar Muhaimin menjadi ketua umum terpilih di Muktamar PKB yang digelar pada 20-21 Agustus 2019. Sekali lagi, ia terpilih melalui proses aklamasi setelah semua pengurus wilayah menerima laporan pertanggungjawabannya dan memintanya kembali ditetapkan sebagai ketua umum (Kompas, 21 Agustus 2019).
Tradisi Golkar
Berbeda dengan PDI-P dan PKB, terpilihnya ketua umum partai melalui proses aklamasi justru hal yang tidak biasa di tubuh Golkar, khususnya di era pascareformasi. Umumnya, ketua umum yang terpilih di Musyawarah Nasional Partai Golkar adalah hasil dari pergulatan dan kontestasi politik.
Praktik aklamasi terjadi justru pada saat partai mengalami konflik internal yang melahirkan perpecahan, khususnya ketika terjadi konflik pada 2014 antara kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono. Akibat konflik ini, keduanya menggelar Munas versi mereka masing-masing. Hasilnya, kedua Munas cenderung memilih Aburizal Bakrie dan Agung Laksono sebagai Ketua Umum Partai Golkar secara aklamasi.
Munas rekonsiliasi yang digelar untuk menyatukan dua kubu pada 2016 juga memilih ketua umum secara aklamasi, meskipun dimulai melalui tahapan pencalonan. Di tahap tersebut, dua nama muncul sebagai calon ketua umum, yakni Setya Novanto dan Ade Komarudin. Di putaran kedua, Ade mundur dan praktis tinggal Setnov yang melaju dan kemudian terpilih secara aklamasi.
Pasca-Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka dan harus menghadapi kasus hukum yang menjeratnya, Munaslub Golkar digelar. Nama Airlangga kemudian melaju dan sekali lagi, terpilih secara aklamasi. Kemudian, untuk kedua kalinya, di Munas Partai Golkar yang digelar 3-5 Desember 2019, Airlangga Hartarto kembali terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 2019-2024.
Aklamasi terjadi setelah Ketua MPR Bambang Soesatyo, yang sebelumnya diprediksi menjadi pesaing kuat Airlangga, mundur dari pencalonan. Wakil Ketua DPP Partai Golkar M Yahya Zaini menyebutkan, terpilihnya Airlangga tidak lepas dari upaya Golkar membangun soliditas internal partai sekaligus menjadi kekuatan, terutama bagi pemerintah. ”Soliditas Golkar sangat penting agar menjadi kekuatan yang efektif sebagai tulang punggung pemerintah,” ungkapnya.
Pemilihan pucuk pimpinan partai yang cenderung mengarah ke aklamasi, seperti yang dialami PDI-P, PKB, dan Golkar, sebenarnya merupakan hal lumrah karena bagian dari proses demokrasi. Ahli Peneliti Utama Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsuddin Haris menyebutkan, setidaknya ada empat syarat agar aklamasi absah.
Pertama, dilakukan dalam forum muktamar ataupun kongres yang sesuai dengan AD/ART, dengan prinsip distribusi hak suara mencerminkan kedaulatan anggota partai. Kedua, prosedur kongres atau muktamar tidak didesain untuk mempertahankan kepemimpinan seseorang atau sekelompok orang di dalam partai.
Ketiga, tidak ada pembatasan atau diskriminasi terhadap peserta dan utusan, dan juga para kandidat ketua umum yang dinyatakan sah oleh AD/ART partai. Keempat, semua prosedur muktamar atau kongres dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan terlembaganya demokrasi internal partai (Kompas, 20 April 2005).
Syarat-syarat tersebut akan menjadi ukuran bagi publik, apakah aklamasi yang terjadi selama ini bertumpu sebagai murni pilihan partai dan kader, atau ”paksaan” dari sejumlah kelompok kepentingan di internal partai. (Litbang Kompas)