Sejak digagas oleh para seniman seperti Ilen Surianegara, Ajip Rosidi, Ramadhan KH dan direstui Gubernur Ali Sadikin, TIM tidak pernah dibangun di atas sendi-sendi industri sebagaimana terjadi pada Esplanade Singapura.
Oleh
Putu Fajar Arcana
·3 menit baca
Konon, sebuah kota yang sehat dan demokratis tidak hanya dilihat dari seberapa megah gedung parlemennya, tetapi lebih-lebih adalah seberapa jembar ia mewadahi ekspresi para seniman. Dasar pendirian komplek Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta menurut catatan, agar kota tak melulu sibuk mengurusi politik, dagang, dan industri. Maka, ia perlu aktivitas batiniah, yang membuat para penghuninya sehat jiwa dan raga.
Kira-kira pemikiran semacam itulah yang diyakini oleh Gubernur Ali Sadikin ketika meresmikan TIM di atas area seluas 8 hektar, pada 10 November 1968 silam. Sungguh sebuah cita-cita kecil dan sederhana, jika dibandingkan pendirian pusat kesenian bernama Esplanade-Theatres on the Bay di Singapura. Esplanade dibuka 12 Oktober 2002 dengan kesadaran industrial yang kental. Negara itu ingin menjadi pusat industri kebudayaan di Asia, sebuah kesadaran yang “bertolak-belakang” dengan pendirian TIM.
Maka itulah ketika pentas perdana lakon I La Galigo, yang disutradarai Robert Wilson dilakukan di Singapura (dan bukan di Indonesia) tahun 2004, banyak yang maklum. Pentas-pentas Robert Wilson, memang dilakukan di negara-negara di mana industri kebudayaan telah menjadi kebutuhan.
Namun begitu, pentas dengan materi yang diambil dari naskah Bugis Kuno bernama Sureq I La Galigo ini, justu dibanjiri oleh penonton dari Indonesia.
Kenyataan itu menunjukkan betapa peran TIM sesungguhnya tak sekadar menjadi ruang berekspresi bagi para seniman, tetapi perannya telah meluas, yakni “mengedukasi” kultur menonton. Kultur menonton yang terbangun baik inilah yang kemudian membuat banyak orang Indonesia sangat antusias pergi ke Singapura untuk menyaksikan I La Galigo. Tentu saja logika berpikirnya, kultur menonton tak akan tumbuh seketika, jika tidak didahului oleh “produksi” karya seni pertunjukan yang mumpuni.
Ketika begitu banyak orang silau dengan Esplanade, kita boleh dong bertanya-tanya, apakah ia telah mewadahi proses kreatif para seniman secara keseluruhan? Tidakkah selama ini ia “hanya” berperan sebagai gedung pertunjukan bagi kesenian yang telah diproduksi oleh para seniman di negara mereka masing-masing? Dengan kata lain, Esplanade hanya etalase yang merangsang para penonton memasuki sebuah toko. Bahkan ketika masuk pun, Anda hanya akan mendapat pameran keindahan tanpa pernah tahu di mana dan kapan keindahan itu dikreasi oleh para seniman.
Saya khawatir, pemegang otoritas kekuasan terhadap TIM cuma silau oleh kemegahan pusat-pusat seni pertunjukan semacam Esplanade. Jika begitu, berarti selamanya kita tak pernah pula memahami seperti apa proses kerja seorang seniman untuk melahirkan sebuah karya yang memuliakan harkat kemanusiaan.
TIM ibarat laboratorium, di mana para seniman diberi ruang untuk melakukan eksperimen estetik, sebelum pada akhirnya dipertunjukkan kepada publik. Oleh sebab itulah, institusi seperti LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) didirikan di komplek TIM. LPKJ (kini menjadi Institut Kesenian Jakarta) bahkan diresmikan langsung oleh Presiden Soeharto pada 25 Juni 1976. Di dalam komplek TIM juga dibangun sarana-sarana yang memberi keleluasaan kepada seniman untuk melakukan latihan dan menginap di wisma seni dengan biaya terjangkau.
Sejak digagas oleh para seniman seperti Ilen Surianegara, Ajip Rosidi, Ramadhan KH dan direstui Gubernur Ali Sadikin, TIM tidak pernah dibangun di atas sendi-sendi industri sebagaimana terjadi pada Esplanade. TIM ditegakkan atas kesadaran penyeimbangan kehidupan lahir dan batin warga kota, sehingga menjelma menjadi warga yang memiliki mata hati dalam membangun peradaban yang berkebudayaan.
Kalau kemudian revitalisasi komplek TIM belakangan “ditolak” sebagian seniman, itu mungkin “sekadar” mengingatkan bahwa gugusan bangunan di Jalan Cikini Raya 73 itu, agar tidak bergerak meladeni nafsu industrial sebuah kota. Bukankah itu berarti melenceng dari watak dasar TIM yang telah dengan sangat bermartabat dulu digariskan oleh para pendirinya?