Perempuan Desa Tak Lagi Hanya Berperan di Ruang Domestik
Pemerintah pusat mendorong pemberdayaan perempuan, termasuk di tingkat desa, karena kini perempuan tak lagi dibatasi dalam ruang domestik.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Pemerintah pusat mendorong pemberdayaan perempuan, termasuk di tingkat desa, karena kini perempuan tak lagi dibatasi dalam ruang domestik.
Hal itu mengemuka pada puncak Peringatan Hari Ibu (PHI) ke-91 di kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, Minggu (22/12/2019) sore. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Gusti Ayu Bintang Darmawanti memberikan penghargaan kepada tiga kepala desa yang berperan dalam pembangunan yang responsif jender pada acara itu.
Hadir juga, antara lain, istri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Wury Estu Handayani; Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy; Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto; serta Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki.
Bintang mengatakan, masalah ketidakadilan bagi perempuan masih kerap ditemui dan pihaknya terus berupaya mengatasi. ”Dari tahun ke tahun, masalah bisa berbeda-beda, tetapi yang tak berubah, perempuan ialah pejuang, baik bagi keluarga maupun di berbagai bidang,” ujarnya.
Dari tahun ke tahun, masalah bisa berbeda-beda, tetapi yang tak berubah, perempuan ialah pejuang, baik bagi keluarga maupun di berbagai bidang.
Peran perempuan, lewat program pemberdayaan, dilakukan termasuk di tingkat desa. Seperti di Desa Lambangsari, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sekitar 40 persen APBDes di desa itu dialokasikan untuk kegiatan yang mengarah pada kegiatan pemberdayaan perempuan.
Kepala Desa Lambangsari, Pipit Haryanti, menuturkan, dirinya memiliki program pemanfaatan kain perca atau sisa konfeksi menjadi bros, bando, dan cincin. Kemudian, pelatihan seni lukis tas, dompet, dan besek yang memberikan nilai tambah pada produk tersebut.
Program pelatihan itu diikuti sekitar 35 ibu-ibu dengan sistem jemput bola ke setiap RW. ”Berbagai hasil kerajinan yang mereka buat kami tampung di PKK dan di toko daring. Pada 2020, kami berencana membuat aplikasi Desa Lambangsari sebagai salah satu sarana penjualan,” ujarnya.
Menurut Pipit, alokasi APBDes yang mengarah pada pemberdayaan perempuan antara lain dilatari keinginannya untuk menjadikan perempuan di desanya maju, sekaligus memanfaatkan potensi desa. Selain mengurusi urusan rumah tangga, baginya, perempuan juga harus bisa menghasilkan.
Pipit ialah satu dari tiga kepala desa penerima penghargaan dari Kementerian PPPA. Dua lainnya yakni Muhammad Safi Blesia, Kepala Kampung Kwade, Kecamatan Moraid, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, dan Muhammad Yamani, Kepala Desa Swarga Bara, Kecamatan Sangatta Utara, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Bintang menuturkan, ketiga penerima penghargaan akan diajak ke New York, Amerika Serikat, untuk mengikuti sidang Committee on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW) di New York, Amerika Serikat, pada 2020. ”Kami harap, 72.000 lebih kepala desa di pelosok Tanah Air termotivasi,” katanya.
Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu menuturkan, perempuan memiliki sumber daya sehingga harus diberi kesempatan seluas-luasnya di semua bidang. Tidak boleh ada lagi pembatasan ruang gerak karena perempuan tidak hanya menjalankan peran di ruang domestik.
Itu perlu dipahami kaum milenial. ”Saya pikir, ruang-ruang untuk mendiskusikan ini, membangun kesejarahan, perlu terus dibuka. Kaum milenial tak boleh melupakan sejarah,” tuturnya.
Adapun terkait penaikan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan, dari 16 tahun menjadi 19 tahun, pada Perubahan atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Azriana menilai, pemerintah perlu memastikan implementasinya.
”Untuk memastikan ini, semua pihak harus dilibatkan. Tak bisa hanya diserahkan ke Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak semata. Namun, juga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan pemerintah daerah. Semua elemen mesti terlibat,” katanya.
Sementara itu, Muhadjir menuturkan, perempuan berkait dengan stunting, yang saat ini menjadi salah satu fokus pemerintah, untuk ditangani. Sebab, stunting antara rata-rata terjadi sebelum kelahiran. Artinya, terjadi pada sembilan bulan kandungan dan dua tahun masa menyusui.
”Menurut data Bank Dunia, 54 persen dari angkatan kerja kita, 136 juta jiwa, pernah stunting atau mantan stunting. Itulah yang membuat kita sulit meningkatkan kualitas,” ujar Muhadjir. Pada 2019, prevalensi tengkes di Indonesia mencapai 27,67 persen.