Requiem bagi Ibu
Seminggu setelah kematian Ibu, dengan susah payah ia akhirnya menuntaskan puisi tentang kekasihnya yang ingkar janji. Kemurungan berulang datang merundungnya.
Kehampaan dan kehilangan serta nelangsa tak tertanggungkan, meyakinkannya bahwa ia adalah laba-laba hijau yang terlilit jaringnya sendiri. Tewas setelah bercinta semalaman dengan betinanya. Pada baris pertama bait kedua, disuratkannya, ”Bukankah laba-laba hijau itu samaran dirimu, melayang anggun di gaun tidurmu.”
Semula ia hanya menulis puisi-puisi tentang cinta biasa. Terkadang juga seruan kesadaran pada lingkungan yang tercemar, serta melankolia yang biasa menghinggapi penyair dengan dunianya yang terlampau personal. Namun, sejak Ibu membujuknya berkenalan dengan seorang dara yang pemalu, perlahan bertumbuh keyakinan padanya bahwa kata-kata dalam puisi harus mencerminkan lapis demi lapis dari keindahan yang tersembunyi di batin setiap pribadi.
Waktu itu usianya tak muda lagi, lebih dari seperempat abad, bahkan mendekati 27 tahun. Sedangkan si dara 25 tahun, guru bahasa Inggris paruh waktu, sarjana lulusan institut keguruan.
Sewaktu bersalaman pertama kali, sungguh terasa hangat dan lembut jari-jari tangannya yang mungil itu. Sebagaimana Ibu, dara itu ternyata seorang penari. Tubuhnya yang ramping menyimpan kelenturan yang tak terbayangkan. Bila cahaya menggenanginya di panggung, tubuh itu seketika berkilau seolah puisi yang berpendar-pendar. Gerak tangan dan tubuhnya seperti laba-laba penyendiri, melayang ringan seakan melampaui sekat-sekat ruang.
Sejak perkenalan itu, mulanya ia datang sekali seminggu, namun kemudian hampir setiap hari bertandang ke rumah itu. Ia yang semula tampak selalu ragu-ragu menyapa, belakangan menjadi kian hangat. Sejak petang hingga malam keduanya berbincang, dan kemudian hampir selalu diakhiri makan bersama bertiga. Sesekali Ibu membiarkan ia bercakap berdua dengan dara, sesekali pula akhirnya mereka jalan-jalan, menonton film, dan rutin singgah ke toko buku.
Di sela kehangatannya dengan dara, seiring itu pula Ibu dan dara semakin dekat. Semula mereka hanya bercakap di ruang tamu, tetapi belakangan mulai melakukan olah tubuh. Berkali pula menggubah komposisi, lalu sepakat menciptakan tarian baru yang direncanakan akan dipentaskan pada akhir tahun ini.
Ia, sang penyair itu, sesekali nimbrung menyumbangkan gagasan atau bentuk-bentuk imajinatif dari tubuh yang diandaikan tengah bermetamorfosa menjadi bagian lakon tarian. Gelak tawa, sentuhan jemari tak sengaja, atau liukan tubuh Ibu dan dara yang begitu hening, serasa keduanya menyatu selaras hela napas, sebelum akhirnya berbaring di rumputan dalam kesenyapan malam. Suara-suara hewan kecil terdengar samar di kejauhan.
Di saat seperti itulah, ia tenggelamkan dirinya pada kertas putih, mulailah baris demi baris tersusun menautkan bunyi dan arti, menyusun sebuah rekaan akan dunia yang dirasa akan tercipta kekal.
Demikianlah ia meyakini bahwa pertemuannya dengan dara adalah sebuah karunia, sebuah pengalaman otentik yang memungkinkannya sebagai penyair terhindar dari hal-hal klise, verbal, dan artifisial. Ia meyakini bahwa kematangan seorang penyair memang teruji dari keberhasilannya menemukan bentuk pengucapan yang personal, berikut kedalaman renungan yang disampaikannya. Proses ke arah itu membutuhkan kerja keras dan keseriusan, termasuk juga dengan melakukan studi banding dengan proses kreatif penyair lainnya. Hal paling utama adalah merelakan badan dan batin mengalami pengalaman konkret dalam keseharian. Sebagaimana pula pertemuannya dengan dara, di mana perasaannya meluap-luap, kerap menghanyutkannya pada sensasi sentuhan dan kecupan, laiknya kekasih yang tengah memadu rindu.
”Bukankah seorang penyair harus menyadari bahwa kata-kata di dalam puisi hendaknya melampaui makna permukaan untuk menghadirkan arti yang lebih kaya, yang boleh jadi ambigu namun memiliki berlapis-lapis kemungkinan tafsir,” ujarnya kepada Ibu dan dara ketika mereka selesai berlatih dan duduk di paviliun.
Kemudian mereka terlibat dalam percakapan yang hangat dan mendalam, bahwa kata dan tubuh hakikatnya adalah sama. Keduanya media untuk menyampaikan pesan atau esensi pengalaman yang bahkan terkesan mustahil sekalipun. Suatu petang Ibu memulai latihan dengan mengatakan bahwa seorang penari harus kuasa mendayagunakan imajinasinya sedemikian rupa sehingga tubuh seolah beralih menjadi kupu-kupu atau wujud lainnya yang penuh makna. Sambil mengatur napas bersama, Ibu berbisik kepada dara bahwa taman ini adalah sebuah panggung. Lalu penyair itu perlahan mendekati mereka, dan spontan melantunkan igauan:
”Tubuh ini bukanlah kepompong, bukan gua tapa yang lengang atau pondok lapuk yang sebentar remuk. Tubuh itu seperti derai hari yang kuyup oleh hidup, tak kunjung memahami segala yang berkali dialami....”
Sambil mengingat gerak tubuh sang dara yang perlahan bersisian dengan tubuh ibunya yang melengkung bagai gugus awan melepas bebas, ia merasa bahwa tugas penyair adalah menyelami dan memahami gerak kata, meluapkan kreativitas guna menemukan bahasa puisinya yang personal. Arti dan bunyi dieksplorasi sedemikian rupa; tertuang menjadi baris-baris yang menyarankan segugusan imajinasi tak terbayangkan, mengandung siratan pesan atau renungan yang mendalam sebagaimana tubuh penari yang terkadang henti atau bergerak membentuk komposisi dalam entak atau hening selaras irama batin.
Ia, penyair itu, menemukan baris-baris puisinya yang datang begitu saja sewaktu Ibu dan dara berdekapan, menjulang hening menghayati ketinggian langit, meresapi gerak samar bintang-bintang yang beralih ruang di jagat raya.
Maka menari/menarilah semurni bayi/yang tersenyum sendiri di pagi hari//lupakan sejenak jasad murung ini/apakah akan jadi sarang rayap/jadi rumah singgah/oleh tanah yang gelisah/menunggu musim kawin//Relakan saja kepompong mengering/terjerat sisa siang dan malam/benih rekah dari celah tubuh si mati/sesabar akar menembus bumi//Kelak semusim semi lagi/kupu-kupu akan menghampiri/setelah letih merenungi/wangi diri yang pergi
♦♦♦
Tarian Ibu dan dara makin menemukan bentuk akhirnya. Sebuah komposisi percintaan sepasang laba-laba petang hari. Tubuh mereka kadang menyatu ataupun berpisah sehingga seakan-akan tengah berayun di dalam jaring. Sementara itu, ia juga berhasil menyelesaikan banyak puisi, sebagian telah dimuat di berbagai media dan mendapat sambutan hangat, termasuk catatan-catatan lepas di situs-situs online dan media sosial lainnya. Bahkan Ibu dan dara sepakat bahwa pertunjukan mereka akan diiringi komposisi nyanyian bernada ode pada pembukaan serta requiem sebagai penutup pertunjukan, yang digubah dari puisi-puisi karyanya.
Suatu petang ia berpamitan kepada Ibu dan dara, tak bisa ikut berlatih bersama guna menyempurnakan komposisi penutup pertunjukan. Ada undangan membaca puisi di Selasar S, sebuah ruang publik seni budaya yang didedikasikan seorang pelukis sohor. Ini sebuah undangan kehormatan bagi penyair seperti dirinya, yang tengah mengupayakan penerbitan buku antologi puisi pertamanya.
Ketika semuanya berjalan baik menurutnya, ia ingin berbagi sambutan dan sanjungan yang membahagiakan kepada Ibu dan dara. Maka ia memutuskan segera pulang ke rumah setelah selesai acara pembacaan karya. Tak berlama-lama untuk bercakap dengan teman-teman seniman dan hadirin lainnya sebagaimana biasanya seusai perhelatan seni. Setiba di rumah suasana lengang dan sepi. Di beranda dan kebun belakang tak ada Ibu atau dara.
Demikian juga kamar Ibu atau perpustakaan, kosong. Perlahan ia beranjak ke paviliun mungil, di pengujung kebun menghadap ke timur. Ibu dulu sempat bercerita bahwa paviliun itu dibangun Ayah sebagai pertanda sukacita akan memiliki anak. Sayang memang sebelum bangunan sepenuhnya selesai, Ayah meninggal karena komplikasi aneka penyakit. Ia beranjak mendekati pintu, terkunci dari dalam. Tapi ketika ia melangkah melewati jendela, meninggalkan paviliun, ia mendengar suara desah Ibu dan lenguh dara. Seketika semua imajinasi tentang tarian ambyar. Jari tangannya seperti tak terkendali. Ia mengetuk jendela berulang kali. Seluruh lenguh dan desahan dari dalam diam seketika….
Semenjak kejadian itu, latihan tak berjalan sebagaimana hari-hari sebelumnya. Dara terlihat kikuk dan Ibu memendam wajah murung, entah merasa bersalah atau jangan-jangan marah. Sedangkan ia tak pernah menyelesaikan puisi requiem-nya sebagai penutup pertunjukan seperti yang direncanakan. Ia malah mengubah beberapa bagian yang menyiratkan kesedihan dan rasa nelangsa yang dalam. Ia berulang mengucapkan tentang laba-laba yang terjerat jaringnya sendiri. Berayun antara harap cemas dan kehendak ingin bebas atau lepas.
Suatu petang, dara tak datang dan tak pernah lagi datang. Ibu terus mengurung diri di kamar sampai akhirnya tiada. Tarian itu tak pernah dipertunjukkan. Sebagaimana tertulis dalam puisinya, ia kini adalah laba-laba penyendiri, laba-laba hijau yang harinya selesai terlilit jaring sarangnya sendiri. Puisi requiem itu tak kunjung selesai ditulisnya.
Kupu-kupu melepas sayapnya/seolah ruh pasrah/berpisah dari tubuh/melayang hening di udara/menyentuh luluh mula cahaya/menyempurnakan yang mahatiada
Warih Wisatsana, lahir di Cimahi tahun 1965. Pernah menekuni dunia jurnalistik, tetapi kemudian beralih menjadi penyair dan kurator. Ia menetap di Denpasar dan menjalani profesi sebagai kurator. Buku antologi puisi terbarunya, Kota Kita (2019). Pernah meraih Taraju Award (1994), Borobudur Award (1996), dan Penghargaan Sih (2004).
AS Kurnia, lahir di Semarang, 1960. Awal 1990 menetap di Bali hingga sekarang. Beberapa kali pameran tunggal di Bali, Jakarta, dan Yogyakarta. Ikut juga beberapa pameran bersama, di antaranya beberapa Biennale di dalam negeri. Selain melukis juga mulai aktif menulis esai seni rupa di media.