Susy Susanti mengangkat harkat dan martabat bangsa dengan mempersembahkan emas pertama Olimpiade, 1992. Rakyat Indonesia bersorak sorai menyambut kemenangan Susy. Kita semua ikut terharu dan bangga. Tetapi, di balik itu, hanya sedikit yang tahu bahwa ada perjuangan lain yang tak kunjung menuai hasil. Pada zaman Orde Baru, Susy dan kawan-kawan dipesan bahkan dituntut membawa pulang medali emas, padahal di sisi lain kewarganegaraannya tidak diakui.
Susy dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia, tetapi hanya karena keturunan Tionghoa, ia harus punya Surat Bukti Kewarganegaraan RI (SBKRI). Sungguh ironis. Di arena bulu tangkis ia dipandang sebagai representasi anak negeri, di negeri sendiri kehadirannya tak diakui.
Bahkan, di zaman penuh KKN itu ia ”diperas” saat mengurus SBKRI. Saat kerusuhan 1998 pun, rumah orangtuanya di Tasikmalaya menjadi incaran para perusuh. Namun, ketika ditanya apakah ia ingin pindah ke negara lain, Susy memilih Indonesia!
Muncul rasa hormat saya kepada Susy, sekaligus rasa pedih, perih, dan malu menghadapi kenyataan di negeri ini. Kita mengelu-elukan dia, tetapi tidak melindungi hak-haknya sebagai anak bangsa. Dalam kerusuhan 1998, kelompok etnis Tionghoa menjadi sasaran amuk massa. Inikah wajah kita? Inikah corak kepribadian bangsa kita? Atau ini hanya wajah kemunafikan pejabat negeri ini?
Prasangka, diskriminasi, intoleransi membuahkan perlakuan yang buruk, bahkan kekerasan yang tak jelas ujung pangkalnya. Seperti wabah menular yang semakin parah. Tampaknya kita perlu saksama mempelajari karakteristik bangsa ini, termasuk introspeksi diri.
Apakah kita seburuk gambaran di atas, atau sebenarnya kita adalah manusia bebas yang bisa berpikir jernih, berhati lapang, dan menghargai orang lain yang berbeda sebagai sesama ciptaan Tuhan yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Adil? Mudah-mudahan kita bisa seperti Susy. Love all.
Zainoel B Biran, Pengamat Sosial, Tinggal di Perumahan Dosen UI Ciputat, Tangerang Selatan
Soal Pertanahan
Saya pensiunan ASN. Ketika masih bertugas, saya membeli kavling secara resmi melalui kantor. Lokasi di Hambalang, Citeureup, Bogor, dengan nomor berikut: Buku Tanah 1229, Kaveling 297, Gambar Situasi 9970/1980, Sampul SHM 6226449/tgl 24-12-1980, Diterbitkan oleh Kepala Kantor Agraria Kabupaten Bogor.
Dengan biaya Rp 400.000, saya mengurus pematokan kavling ke Kantor BPN/ATR Cibinong. Bersama petugas, kami menuju lokasi. Kami terkejut karena lokasi ada di dalam pagar perumahan/real estat. Bagaimana ini terjadi?
Petugas BPN/ATR tidak dapat menentukan titik lokasi, padahal pada SHM tertera koordinat/posisi kavling itu. Kami pulang tanpa hasil. Karena taat aturan, hingga kini (40 tahun) saya teratur membayar PBB. Dengan ini saya mohon penyelesaian dari yang berwenang.
SOERITNO Jl Bunyu,Jakarta 13240