Cerita Tirta Jakarta
Hari ini, 23 Desember 2019, layanan air perpipaan di Ibu Kota dengan sumber dari luar kota, genap 97 tahun. Penjajah memelopori penyaluran air dari daerah penyangga sepanjang puluhan kilometer.
Hari ini, 23 Desember 2019, layanan air perpipaan di Ibu Kota dengan sumber dari luar Ibu Kota, genap berusia 97 tahun. Penjajah memelopori penyaluran air dari daerah penyangga sepanjang puluhan kilometer, salah satunya akibat tekanan pencemaran sungai di dalam Batavia. Sayangnya, problematika air minum masih berlanjut hingga kini wilayah Kota Batavia jadi bagian DKI. Betapa klasiknya kesulitan menghapuskan dahaga seluruh warga dalam cerita tirta Jakarta.
Jalan Raya Bogor di Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur, riuh dengan deru kendaraan pada Senin (16/12/2019) siang. Namun, sebuah bangunan warisan kolonial nan gagah seakan terlindung dari keriuhan itu berkat kerindangan pohon di sekitarnya. Lokasinya sekitar 600 meter ke selatan dari Pasar Induk Kramat Jati, di sisi timur Jalan Raya Bogor.
“Gudang Air” adalah nama tenar gedung itu, karena pada zaman penjajahan Belanda, ia berfungsi menampung air yang dialirkan dari Ciburial, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, di kaki Gunung Salak, untuk memenuhi kebutuhan warga Batavia.
Angka 1922 tercetak di muka gedung, menandakan tahun dimulainya operasi gudang air. Di tahun itu juga, layanan air perpipaan bagi warga Batavia dengan sumber jauh dari Batavia dimulai, tepatnya sejak 23 Desember.
“Tanggal itu dijadikan tonggak sejarah, dan juga sebagai momentum hari ulang tahun PAM Jaya (Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta),” tutur Direktur Utama PAM Jaya Priyatno Bambang Hernowo, Senin lalu di kantornya di Jalan Penjernihan II, Jakarta Pusat.
PAM Jaya mendapat mandat untuk melayani kebutuhan air minum seluruh penduduk DKI Jakarta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2018, penduduk Jakarta berjumlah 10,46 juta jiwa. Namun, hak pengelolaan air sejak 1998 dipegang dua mitra swasta, yaitu PT Aetra Air Jakarta (Aetra) dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja).
Seluruh air baku yang diolah Aetra dan 64,7 persen yang diolah Palyja berasal dari Waduk Jatiluhur di Purwakarta, Jawa Barat. Menurut Hernowo, air dari Jatiluhur yang masuk Jakarta sebanyak 18.000 liter per detik. Sebuah paradoks mengingat Jakarta katanya dilalui 13 sungai sehingga air sebenarnya melimpah. Namun, paradoks itu bukan di masa kini saja. Paradoks itu sudah berlangsung hampir seabad, sejak sebelum kemerdekaan.
Minum air sungai
Sungai-sungai di Jakarta pernah bermanfaat sebagai sumber pasokan air minum, tetapi itu sudah dulu sekali. Tanu Trh menyebutkan dalam buku Batavia: Kisah Jakarta Tempo Doeloe (kumpulan karangan dari Majalah Intisari 1963-1988), hingga abad ke-19, orang-orang Belanda menggunakan air Kali Ciliwung sebagai air minum.
Dalam Buku Beberapa Catatan Sejarah Air Minum Indonesia 1800-2005: Bunga Rampai Perkembangan Air Minum di Indonesia terbitan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dr de Haan yang seorang analis Belanda disebut memberi nilai sangat baik (voortreffelijk) pada air Ciliwung tahun 1648.
Air kali ditampung terlebih dulu di dalam waterplaats atau aquada (semacam waduk) yang dilengkapi dengan pancuran-pancuran berbahan kayu, mengucurkan air dari ketinggian lebih kurang tiga meter. Dari sana, air diangkut ke perahu oleh para penjaja air (waterboeren) dan dijual ke kota.
Waduk awalnya dibangun dekat benteng Jacatra di bagian utara kota, lalu dipindah ke tepi Molenvliet sekitar daerah Glodok sekarang. Daerah sekitar waduk dinamakan Pancuran, yang oleh lidah Betawi terucap Pancoran.
Selain itu, pada 1880-an, di Batavia ada tuan tanah yang memiliki sumur berair jernih. Ia mengomersialkan air sumurnya dengan harga 1,5 gulden per drum (200 liter). Adapun air sungai waktu itu diperjualbelikan dengan harga 2-3 sen per kaleng ukuran 20 liter.
Berdasarkan informasi dalam Atlas Sejarah Jakarta (2014) karya Adolf Heuken SJ, sejak akhir abad ke-17, air Ciliwung tercemar oleh sampah dari warga serta limbah rumah sakit. Inilah yang melatarbelakangi orang mulai mengambil air dari Pancoran Glodok, yang notabene di luar Kota.
Penurunan mutu air mulai mengundang masalah. Penyakit disentri, tifus, hingga kolera merebak hebat pada masyarakat bangsa Belanda. Air Kali Ciliwung disebut sebagai penyebabnya. Tanu menulis, pemahaman masyarakat tentang higiene dan kesehatan saat itu tampaknya masih terbatas, karena air Kali Ciliwung diminum mentah-mentah tanpa proses penjernihan seperti yang berjalan saat ini.
Sempat dijuluki sebagai Koningin vat het Oosten atau Ratu dari Timur karena merupakan kota indah bergaya Eropa di Timur, Batavia lantas mendapatkan predikat baru: Het Graf der Hollander. Kuburan Orang Belanda. Itu lantaran banyak orang Belanda yang meninggal akibat penyakit. Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2011) mencatat, epidemi kolera pada 1864 memicu kematian 240 orang Eropa.
Buku terbitan Kementerian PUPR menyebutkan, ambtenaar (pegawai negeri Hindia Belanda) kelas atas banyak yang memilih mengonsumsi air yang tersohor dengan nama “ayer Belanda”, didatangkan dari luar Batavia dengan harga sangat mahal, yaitu satu ringgit atau 2,5 gulden per guci kecil. Kalangan ambtenaar dengan posisi lebih rendah memilih membeli air yang didatangkan dari Bogor, lebih murah dari ayer Belanda tetapi jelas lebih mahal dibanding air Ciliwung.
Sumur artesis
Pada akhir abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda membuat sumur artesis terutama di wilayah-wilayah tempat tinggal orang Eropa. Catatan Harian Kompas tanggal 5 Mei 2009, sumur pertama selesai digali tahun 1843 di dalam Benteng Pangeran Frederik (Prins Frederik Citadel), yang sekarang jadi lokasi Masjid Istiqlal. Selang beberapa dekade, enam sumur selesai digali pada 1870-an, salah satunya di sisi utara Koningsplein, lebih kurang di seberang Istana Presiden RI sekarang.
Hingga tahun 1920-an, sudah ada sekitar 50 sumur artesis di Batavia dengan kedalaman beragam, mulai dari 100 meter hingga hampir 400 meter. Ada pula 14 stasiun mesin pompa untuk mendongkrak tekanan air di dalam pipa-pipa pendistribusian. Dalam buku tentang Batavia terbitan 1891, pemerintah dilaporkan sudah membangun jaringan pipa distribusi air hingga 90 kilometer panjangnya.
Lewat pipa-pipa, air sumur mengalir sampai ke daerah-daerah yang jauh dari pusat kota, termasuk ke Meester Cornelis (Jatinegara, Jakarta Timur). Seluruh warga kota baik Eropa maupun pribumi boleh mengaksesnya secara gratis. Kesehatan di Batavia lantas meningkat.
Namun, banyak yang tidak menyukai air sumur ini. Warnanya masih keruh sehingga saat dipakai menyeduh teh, warnah air teh jadi hitam karena rupanya ada kandungan besi (Fe) yang tinggi. Air Ciliwung akhirnya tetap paling digemari.
Perpipaan dimulai
Air sungai makin tercemar sedangkan air sumur artesis berasa tidak enak. Ini mendorong pemerintah Hindia Belanda mencari sumber lain untuk memenuhi dahaga warga Batavia akan air bersih. Pada 1918, pemerintah lantas menemukan mata air-mata air Ciburial di daerah Ciomas, Bogor, dengan kapasitas 484 liter per detik. Sumber utama mata air di sana yakni daerah resapan Sungai Ciapus dan punggung Gunung Salak dengan kelestarian lingkungan yang masih terjaga.
Hindia Belanda memutuskan pada Oktober 1918 untuk membangun jaringan pipa yang mengalirkan air dari Ciburial ke Batavia. Lembaga yang mengurusi air perpipaan, Gementeestaat-Waterleidingen van Batavia, juga didirikan. Saluran air dibangun sepanjang 58 kilometer, menghubungkan Ciburial dan Batavia. Air pun mengalir perdana tanggal 23 Desember 1922.
Majalah Kotapraja Jakarta Raya terbitan 1953, menyebutkan, air dari mata air Ciburial masuk ke gudang mata air. Di sana, air diobat dengan kaporit 5 kilogram per 24 jam. Setelah itu, dengan pipa-pipa besi, air dialirkan ke gedung penyimpanan air. Di Kramatjati dekat Cijantung, reservoir yang disebut Gudang Air dibangun untuk menampung air yang mengalir deras dari Ciomas sebelum disalurkan kembali ke jantung Batavia.
Hernowo menuturkan, air Ciburial tidak lagi disalurkan ke DKI sejak sekitar tahun 2000. Sumber air di sana kemudian dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat sekitarnya saja. Namun, pipa-pipa besi berdiameter 500 milimeter warisan Belanda masih bisa difungsikan hingga sekarang, untuk mengalirkan air dari instalasi penjernihan air (IPA).
“Gedung 1922 itu masih kami pakai juga sebagai reservoir. Kalau dulu menampung air dari Ciburial, sekarang dari IPA Buaran,” ujar Hernowo. Dahulu, air leluasa mengalir karena penyaluran dari Ciburial yang lebih tinggi cukup mengikuti hukum gravitasi. Sekarang, biaya operasional lebih besar karena pengaliran air dari tempat lebih rendah di Buaran, Jakarta Timur, mesti dengan pompa pendorong.
Gudang Air di Pasar Rebo yang setinggi 12 meter dan seluas 10.000 meter persegi memiliki kapasitas tampung air 15.000 meter kubik. Dari sana, air didistribusikan ke Pasar Rebo, Condet, Cipayung, Ciracas, Cijantung, Cilangkap, Markas Besar TNI, hingga Cibubur.
Selain manfaat fungsi, pelestarian bangunan Gudang Air juga memberi manfaat pengabadian jejak sejarah. Masyarakat masih bisa menyaksikan jejak penerapan arsitektur khas kolonial di tempat yang jauh dari kawasan Kota Tua, pusatnya gedung-gedung bersejarah.
Rancangan bangunan sebenarnya sederhana, tetapi mampu memunculkan aura elegan. Aksen dominannya garis dan kotak, dengan kelir utama adalah putih.
Dosen Departemen Arsitektur Universitas Indonesia, M Nanda Widyarta, mengatakan, gaya arsitektur seharusnya bukan prioritas dibanding fungsi teknis gedung saat dulu dibangun. Namun, arsitek Gudang Air rupanya masih memikirkan aspek estetika. “Ada pengaruh langgam Nieuwkunst. Garis-garis tegas merupakan salah satu cirinya, kemudian proporsinya pas, dan kanan-kirinya simetris,” ucapnya.
Nieuwkunst merupakan gaya arsitektur yang berkembang di Belanda abad ke-19 menuju abad ke-20, bersamaan dengan langgam Art Noveau di Perancis dan Jugendstil di Jerman. Ketiga gaya itu merupakan eskperimen untuk mempertahankan kekhasan karya seni tanpa perlu menentang kondisi yang terbentuk di Eropa Barat setelah periode industrialisasi dimulai.
Namun, lebih dari itu, tetap kokohnya Gudang Air hingga sekarang semestinya juga menjadi monumen pengingat bahwa masalah air sudah terjadi sejak zaman penjajahan. Saat ini, PAM Jaya lewat kemitraan dengan Aetra dan Palyja baru mampu memenuhi kebutuhan air bersih sekitar 60 persen warga DKI. Penyediaan air belum kunjung beres setelah masalah muncul sekitar 1,5 abad silam.
Pemerintah Provinsi DKI menyatakan pada Februari lalu bakal mengambil alih pengelolaan air dari mitra swasta. Kelanjutan cerita tirta Jakarta bergantung pada niat pemprov melunasi janjinya.