Selama ribuan tahun Arab Muslim dan Arab Kristen hidup berdampingan secara damai. Harmoni itu terusik dengan munculnya kelompok-kelompok ekstrem, seperti Al Qaeda, NIIS, dan sejenisnya.
Oleh
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir
·5 menit baca
Pohon-pohon natal dengan lampu warna-warni telah menghiasi mal-mal dan hotel-hotel besar di kota Kairo, Mesir, menjelang hari Natal, 25 Desember ini. Mesir, negara berpenduduk mayoritas Muslim dan juga terdapat kaum Kristen Koptik dalam jumlah besar, sangat menghormati perayaan Natal. Bagi kaum Kristen Koptik di Mesir yang menganut aliran Kristen Ortodoks Timur, Natal dirayakan pada 7 Januari.
Jumlah kaum Kristen Koptik diperkirakan 7-10 persen dari sekitar 99 juta warga Mesir saat ini. Nama ”Koptik” merupakan sebutan bagi kaum Kristen di Lembah Nil, yakni Mesir dan Sudan, serta sebagian di Libya. Ada juga kaum minoritas penganut Katolik Roma di Mesir yang merayakan Natal pada 25 Desember.
Harmonisasi hubungan antar-umat beragama di Mesir dan negara-negara Timur Tengah lain sesungguhnya dikenal sangat kuat dan memiliki akar sejarah panjang. Gereja dan masjid sudah biasa terlihat berdekatan di kota-kota di Mesir dan negara Timur Tengah lain.
Di Mesir, banyak tokoh Kristen Koptik yang ahli hukum Islam dan menguasai Al Quran karena Al Quran berbahasa Arab, bahasa ibu yang juga digunakan kaum Kristen Koptik. Kaum Kristen Koptik dan kaum Kristen di negara Timur Tengah lainnya tak berjarak lagi dengan khazanah ke-Islaman karena sama-sama berbasis bahasa Arab.
Kaum Arab Kristen lahir, tumbuh, dan berkembang di lingkungan kultur mayoritas Arab Muslim. Secara kultural hampir tidak jarak antara kaum Arab Kristen dan Arab Muslim. Hampir tidak ada pula persoalan besar dalam kehidupan kaum minoritas Arab Kristen dalam konteks kehidupan bernegara dan berbangsa di Mesir serta negara-negara Arab lain.
Negara sangat melindungi kehidupan kaum minoritas Kristen dan agama lain. Bahkan, Maroko sangat melindungi kaum minoritas Yahudi di negara tersebut. Salah seorang penasihat Raja Maroko Muhammed IV adalah warga Yahudi, yaitu Andre Azoulay.
Di Mesir, selain negara, lembaga Al-Azhar juga menjadi benteng kehidupan toleransi beragama. Ulama-ulama Al-Azhar jadi ujung tombak untuk menanamkan doktrin toleransi kehidupan antar-umat beragama di tengah rakyat Mesir.
Di Mesir, selain negara, lembaga Al-Azhar juga menjadi benteng kehidupan toleransi beragama. Ulama-ulama Al-Azhar jadi ujung tombak untuk menanamkan doktrin toleransi kehidupan antar-umat beragama di tengah rakyat Mesir. Imam Besar Al-Azhar memiliki tradisi berkunjung kepada pemimpin spiritual tertinggi kaum Kristen Koptik setiap menjelang Natal, 7 Januari.
Al-Azhar secara rutin juga menggelar seminar dan menerbitkan buku tentang pentingnya kehidupan toleransi antar-umat beragama untuk membangun negara modern yang aman dan damai. Pemerintah Mesir memang menggandeng lembaga Al-Azhar guna menciptakan toleransi kehidupan beragama itu.
Tantangan
Tantangan terbesar terhadap kehidupan toleransi umat beragama di Mesir dan negara Arab lain datang dari kelompok-kelompok minoritas radikal, seperti Al Qaeda dan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) atau sejenisnya.
Al Qaeda, NIIS, dan sejenisnya masih menganut kuat doktrin menolak sistem negara bangsa yang berpijak pada kesetaraan hak dan kewajiban semua warga tanpa memandang latar belakang agama, etnis, dan ideologi. Kelompok-kelompok itu sering melihat sebelah mata kaum minoritas.
Peristiwa serangan terhadap kaum Kristen dan kaum minoritas lain di dunia Arab kerap didalangi dan dilakukan oleh Al Qaeda dan NIIS. Di Irak, serangan besar-besaran terhadap kaum minoritas Yazidi dan kaum Kristen selama lebih dari 10 tahun terakhir ini dilakukan kelompok radikal, seperti Al Qaeda dan NIIS.
Di Mesir, serangan terhadap kaum Kristen Koptik juga dilakukan NIIS. Kelompok ekstrem ini menyatakan bertanggung jawab atas serangan terhadap kompleks Gereja Abbasia di Kairo pada 11 Desember 2016 yang membawa korban 24 tewas dan 49 lainnya luka-luka. NIIS kembali menyatakan bertanggung jawab atas serangan besar terhadap Gereja Saint Mark di kota pantai Alexandria dan Gereja Magirgis di kota Tanta pada 9 April 2017.
Fenomena NIIS yang sangat mengganggu kehidupan toleransi antar-umat beragama itu merupakan salah satu faktor utama digelarnya pertemuan historis antara Pemimpin Gereja Katolik Roma Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Februari 2019.
Pertemuan historis itu digagas Putra Mahkota Abu Dhabi Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahyan. Momen ini melahirkan dokumen bersejarah tentang persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia dan hidup berdampingan guna menangkal radikalisme dan terorisme. Dokumen tentang persaudaraan manusia itu menjadi dokumen terpenting dalam sejarah hubungan Vatikan dan Al-Azhar serta hubungan Islam dan Kristen.
Fenomena NIIS yang sangat mengganggu kehidupan toleransi antar-umat beragama itu merupakan salah satu faktor utama digelarnya pertemuan Pemimpin Gereja Katolik Roma Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb di Abu Dhabi, Februari 2019.
Di antara isi dokumen persaudaraan manusia tersebut, adalah menyerukan para pemimpin dunia, para pemegang keputusan politik dan ekonomi internasional agar bekerja keras menyebarkan budaya hidup berdampingan secara damai, toleransi, dan perdamaian. Mereka juga diimbau segera turun tangan mengakhiri kekerasan dan pertumpahan darah, serta konflik dan perang, serta dekadensi moral dan radikalisme.
Dokumen itu menyerukan rekonsiliasi dan membangun persaudaraan antara pemeluk-pemeluk agama, bahkan antara pemeluk agama dan lainnya atau semua orang yang masih mempunya niat baik demi terwujudnya perdamaian di seantero dunia.
Hanya dua bulan setelah pertemuan historis di Abu Dhabi itu, Mesir pada April 2019 untuk pertama kalinya menggelar konferensi tingkat tinggi (KTT) Liga Arab-Uni Eropa di kota wisata Sharm el-Sheikh. Salah satu agenda utama KTT itu menyoroti isu terorisme, yakni dalam hal ini fenomena NIIS.
Kerja sama
Liga Arab dan Uni Eropa merasa memiliki tantangan bersama, yaitu ancaman NIIS yang berusaha melakukan ekspansi serangan teroris di negara-negara Eropa dan juga menyerang kaum minoritas di Timur Tengah. Karena itu, salah satu rekomendasi KTT tersebut, yakni membangun kerja sama Liga Arab-Uni Eropa melawan dan membasmi NIIS melalui kerja sama militer dan intelijen, serta ikut mendukung dan terlibat dalam koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat (AS) melawan NIIS.
Mesir kembali menggelar forum konferensi pemuda internasional di kota Sharm el-Sheikh pada pertengahan Desember lalu untuk menghimpun para pemuda manca negara dari berbagai latar belakang bangsa, etnis, agama dalam upaya membangun persaudaraan manusia dan melawan terorisme.
Dalam konteks forum pemuda internasional itu, harian terkemuka Mesir, Al Ahram, edisi hari Minggu 15 Desember 2019 menurunkan editorial dengan judul “Pesan Perdamaian, dari Mesir ke Seluruh Dunia”. Dalam editorial itu disampaikan bahwa Mesir melalui forum pemuda internasional ingin menegaskan kultur dan karakter rakyat Mesir yang berbasis pluralism, toleransi, dan menerima pendapat orang lain.
Kekalahan telak NIIS di Irak dan Suriah ini serta tewasnya Pemimpin NIIS Abu Bakar al-Baghdadi di Idlib, Suriah, akhir Oktober lalu, memberi harapan bersemainya kembali toleransi kehidupan antar-umat beragama di dunia Arab seperti sediakala. Namun, tetap harus diwaspadai serangan balas dendam dari sel-sel tidur NIIS, khususnya terhadap kaum minoritas di dunia Arab ataupun di belahan bumi lainnya.