Keterlibatan TNI dalam Kegiatan Otoritas Sipil Meningkat
Pemberian mandat harus transparan dengan diumumkan oleh presiden agar bisa dikontrol oleh DPR. Sebab, perbantuan militer berimplikasi banyak hal, baik bagi publik maupun bagi TNI.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — 20 tahun pasca-Reformasi 1998, reformasi Tentara Nasional Indonesia masih jauh dari harapan. Alih-alih memperkuat peran mereka sebagai alat pertahanan negara yang profesional, pelibatan militer dalam kegiatan otoritas sipil justru meningkat. Hal itu perlu dievaluasi karena berpotensi menggerus supremasi sipil dalam negara demokrasi.
Berdasarkan catatan Imparsial, pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam kegiatan otoritas sipil dilakukan melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara TNI dan berbagai lembaga menunjukkan tren peningkatan. Pada periode 2000-2007, ada dua MoU yang dibuat.
Pada 2012-2013, ada penambahan enam MoU lainnya. Kemudian pada 2014-2019, TNI kembali membuat 33 MoU dengan berbagai lembaga.
”Dari tahun 2000-2019, totalnya ada 41 nota kesepahaman antara TNI dan lembaga-lembaga,” kata Direktur Imparsial Al Araf dalam diskusi sekaligus peluncuran buku Peran Internal Militer Problem Tugas Perbantuan TNI di Jakarta, Senin (23/12/2019).
Diskusi itu juga menghadirkan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Agus Widjojo dan anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Farah Puteri Nahlia. Selain itu, hadir pula Komisioner Komnas HAM Choirul Anam serta Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy Shiskha Prabawaningtyas.
Al Araf melanjutkan, keterlibatan TNI dalam kegiatan otoritas sipil tidak hanya tampak dari peningkatan jumlah nota kesepahaman, tetapi juga dimensi aktivitas yang ada dalam kesepakatan. Hal itu disebabkan oleh pragmatisme elite sipil yang membuka ruang bagi TNI untuk berperan dalam menopang kekuasaan politik.
Beberapa kegiatan sipil yang ikut dilaksanakan oleh TNI, antara lain, membantu pemulangan pengungsi dari Indonesia ke Timor Leste, penataan ulang lahan TNI Angkatan Udara untuk penerbangan sipil, penyuluhan, pembangunan infrastruktur, dan pencetakan sawah. Di samping itu, TNI juga ikut memberi dukungan kepada kepolisian untuk penanganan aksi terorisme; peningkatan pelayanan kepalangmerahan seperti penanggulangan bencana alam dan donor darah; serta perlindungan kebebasan pers, pencegahan kekerasan terhadap wartawan, penegakan hukum, dan penyebarluasan informasi mengenai kebebasan pers.
Al Araf mengatakan, nota-nota kesepahaman itu merupakan pengejawantahan tugas perbantuan TNI yang masuk dalam kategori Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Adapun tugas perbantuan saat ini diatur dalam Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri. Aturan lainnya terdapat dalam Pasal 7 Ayat (2) Huruf B dan Pasal 7 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Namun, 41 nota kesepahaman itu dinilai bermasalah karena bertentangan dengan Pasal 7 Ayat (3) UU No 34/2004. Dalam pasal tersebut disebutkan, ketentuan OMSP dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Adapun dalam penjelasan Pasal 5 pada UU No 34/2004, yang dimaksud dengan kebijakan dan keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang dirumuskan melalui mekanisme seperti rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai peraturan perundang-undangan.
”Sebanyak 41 MoU itu tidak dibuat berdasarkan keputusan presiden bersama DPR. Itu bertentangan dengan UU TNI, kekuatan hukumnya pun lemah,” kata dia.
Status hukum kian lemah karena dalam Pasal 4 Tap MPR No VII/2000 dijelaskan bahwa pelaksanaan tugas bantuan TNI perlu diatur dalam UU. Sementara itu, sampai saat ini belum ada UU khusus yang mengatur soal tugas perbantuan TNI. ”Akibatnya, perbantuan militer kadang masuk terlalu jauh dan tidak sesuai dengan fungsi TNI, seperti melakukan fungsi penegakan hukum, menangkap, dan merazia warga sipil,” kata Al Araf.
Menjalankan mandat
Agus Widjojo mengatakan, tugas pokok konstitusional TNI adalah pertahanan, sedangkan tugas pokoknya adalah berperang. Adapun OMSP merupakan civic mission untuk kepentingan nasional yang dilaksanakan karena tidak ada perang dan bersifat sementara. Selain itu, perbantuan hanya bisa dilakukan berdasarkan keputusan politik presiden dan pembantu fungsionalnya, tidak bisa didasarkan pada keputusan institusi TNI karena bukan pemegang mandat rakyat.
”Dalam negara demokrasi, kita tidak bicara benar atau salah, tetapi soal keabsahan. Tugas perbantuan itu absah jika mandatnya diberikan oleh presiden,” kata Agus.
Akan tetapi, pemberian mandat harus transparan dengan diumumkan oleh presiden agar bisa dikontrol oleh DPR. Sebab, perbantuan militer berimplikasi banyak hal baik bagi publik maupun bagi TNI.
Bentuk payung hukum
Menurut Choirul Anam, keterlibatan militer yang terlalu jauh dalam kehidupan masyarakat harus dicegah. Sejak Reformasi 1998, Indonesia telah sepakat untuk mengembalikan TNI pada fungsi pertahanan yang sesuai dengan kaidah demokrasi. ”Tugas perbantuan militer yang semakin melebar dikhawatirkan akan mengakhiri era supremasi sipil,” ujarnya.
Oleh karena itu, UU tentang perbantuan militer semakin dibutuhkan untuk mengatur sejauh mana wewenang perbantuan bisa digunakan. Selain itu, kata Anam, UU juga dibutuhkan untuk mengatur pihak penanggung jawab jika terjadi pelanggaran HAM dalam praktik perbantuan. Selama ini, Komnas HAM kesulitan untuk menentukan penanggung jawab atas pelanggaran HAM yang terjadi dalam pelaksanaan tugas perbantuan.
Farah Puteri Nahlia mengatakan, RUU tentang Tugas Perbantuan Militer merupakan satu dari empat RUU yang diprioritaskan Komisi I. Saat ini, RUU tersebut sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2020-2024. ”Kami akan mendorong agar RUU tentang Tugas Perbantuan Militer bisa segera masuk dalam Prolegnas tahunan dan bisa selesai pada masa jabatan DPR periode 2019-2024,” ujarnya.
Meski draf RUU belum disusun, kata Farah, RUU tersebut nantinya perlu dibuat berdasarkan prinsip bahwa perbantuan militer harus berdasarkan pada permintaan institusi sipil dan merupakan pilihan terakhir ketika kapasitas institusi atau otoritas sipil sudah tak bisa menghadapi masalah yang ada. RUU juga harus memuat ketentuan mengenai keputusan politik negara sebagai legitimasi tugas perbantuan, landasan hukum untuk menjaga peran TNI tak keluar dari tugas utamanya untuk berperang, serta waktu tugas perbantuan yang bersifat sementara.