Pemilihan presiden dan pemberantasan korupsi menjadi isu paling melekat dalam memori publik pada 2019. Menjaga kualitas demokrasi dan memperkuat komitmen antikorupsi akan menjadi dua agenda panggung politik Indonesia
Oleh
IDA AYU GRHAMTIKA SAITYA/Litbang Kompas
·4 menit baca
Hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu menunjukkan, separuh lebih responden menilai pemilihan presiden sebagai peristiwa politik yang paling menonjol pada 2019. Pilihan itu tentu wajar karena sepanjang satu tahun terakhir ini agenda pemilu mendominasi panggung politik nasional. Sejak awal tahun publik sudah disuguhi agenda kampanye presiden dan wakil presiden, juga debat calon presiden/wakil presiden.
Puncaknya, pada 17 April 2019, untuk pertama kali, Indonesia menggelar pemilu serentak, baik pemilihan presiden, anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota.
Keserentakan pemilu ini relatif meningkatkan antusiasme publik. Ini dibuktikan dengan tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 yang mencapai 81 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
Selain dinamika pemilu, peristiwa politik yang muncul dalam ingatan publik adalah pembentukan Kabinet Indonesia Maju. Panggung politik yang disuguhkan oleh Istana, di antaranya pemanggilan dan pelantikan menteri, termasuk staf ahli presiden dari kalangan milenial, cukup menarik perhatian publik. Selain itu, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan rencana pemindahan ibu kota juga melekat dalam memori responden sepanjang 2019.
Menariknya, saat ditanyakan soal peristiwa hukum apa yang menonjol pada 2019, hal yang paling diingat publik ialah peristiwa terakhir terkait dengan penyelundupan kendaraan mewah di pesawat Garuda. Kasus yang melibatkan petinggi Garuda ini menjadi momok dalam tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
Penyelewengan keuangan oleh pejabat memang sangat mewarnai jawaban sebagian responden ketika menjawab persoalan hukum yang menonjol di negeri ini. Tidak heran jika kemudian isu revisi terhadap UU KPK kembali muncul di benak publik terkait dengan persoalan hukum pada 2019. Begitu pula sikap DPR dan pemerintah yang tetap melanjutkan revisi UU KPK meskipun ditolak publik. Aksi demonstrasi di sekitar Gedung DPR dan di sejumlah daerah menjadi potret kuatnya penolakan publik atas revisi itu.
Stabilitas politik
Secara umum, hasil jajak pendapat merekam opini publik yang menilai stabilitas politik Tanah Air relatif positif dan kondusif. Hal itu disampaikan oleh separuh lebih responden (64,9 persen) meski tensi politik nasional sempat naik saat terjadi penolakan selama dua hari hasil pemilihan presiden/wakil presiden.
Situasi relatif stabil setelah Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024, 20 Oktober. Dalam pidato pelantikan, Presiden memaparkan lima target kerja pemerintahan. Empat target terkait langsung dengan sektor ekonomi. Satu target lain ialah pembangunan sumber daya manusia.
Perpolitikan nasional semakin kondusif ketika Partai Gerindra bergabung sebagai partai pendukung pemerintah dan politisinya menduduki kursi dua menteri pada Kabinet Indonesia Maju. Praktis koalisi Jokowi-Amin memiliki 74,26 persen kursi DPR setelah Gerindra bergabung.
Penegakan hukum
Selain bidang politik, bidang penegakan hukum juga dinilai positif oleh 56,4 persen responden. Salah satunya terkait dengan isu korupsi dan KPK. Akhir tahun 2019 menjadi penanda berakhirnya KPK periode 2015-2019 pimpinan Agus Rahardjo. Sepanjang empat tahun, KPK telah menyelamatkan potensi kerugian negara sejumlah Rp 63,8 triliun dan menangani 608 tersangka.
Pekan lalu, 20 Desember, lima komisioner KPK terpilih dan lima anggota Dewan Pengawas KPK telah dilantik Presiden Jokowi. Mereka akan bekerja selama periode 2019-2023.
Tentu KPK yang baru akan dinanti kinerjanya oleh publik, apalagi dengan adanya UU KPK hasil revisi yang sempat mendapatkan penolakan dari publik. Kasus-kasus dugaan korupsi yang ditinggalkan KPK sebelumnya akan menjadi salah satu indikator bagi publik untuk mengukur kinerja KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri.
Sorotan publik terkait dengan isu korupsi kian menegaskan bahwa kasus korupsi tetap akan menjadi ujian bagi bangsa ini ke depan. Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan Transparency International mencatat, pada 2018, Indonesia berada di peringkat ke-89 dengan nilai 38. Dengan skala penilaian 0-100, semakin tinggi nilainya, maka negara itu makin bersih dari korupsi. Dalam hal pemberantasan korupsi, kondisi Indonesia saat ini lebih buruk dibandingkan dengan beberapa negara di Benua Afrika, seperti Lesotho, Ghana, dan Burkina Faso. Ini menjadi tantangan bagi KPK ke depan.
Situasi perekonomian
Selain soal politik dan hukum, jajak pendapat juga menangkap isu ekonomi di mata publik. Separuh lebih responden menilai situasi perekonomian Indonesia masih relatif baik meski tantangan ke depan tidak mudah. Apalagi dikaitkan dengan situasi perekonomian global yang didera perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Hal ini berdampak pada masih melambatnya gerak perekonomian secara nasional.
Pada APBN 2019, pemerintah menargetkan pertumbuhan produk domestik bruto 5,3 persen. Target ini tidak mudah dicapai; sebagaimana proyeksi Bank Dunia dan IMF, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berkisar 5,0-5,1 persen.
Meski demikian, di tengah kondisi yang tidak mudah ini, pengalaman dan penilaian responden terhadap kondisi perekonomian keluarga mereka relatif masih kondusif. Sebanyak 46,2 persen responden mengaku perekonomian keluarganya tetap baik dan aman. Pesatnya konsumsi publik, terutama dengan perkembangan ekonomi internet, menjadi satu potret keyakinan responden akan kondisi kehidupan sosial ekonomi mereka yang relatif baik.
Hal itu tidak lepas dari stabilitas politik yang menyertai. Sepanjang 2019 harus diakui stabilitas politik relatif terjaga meski gejolak publik akibat kontestasi pemilu cukup mewarnai wajah politik sepanjang satu tahun terakhir ini. Sejumlah agenda, seperti pilkada, akan menjadi ujian politik bangsa ini sepanjang satu tahun ke depan.