Gelombang pengungsi susulan itu mengalir di tengah upaya Damaskus mengambil kendali Idlib dari penguasaan Hayat Tahrir al-Syam (HTS), kelompok yang terafiliasi dengan Al Qaeda.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
ANKARA, MINGGU -- Turki kembali kebanjiran puluhan ribu pengungsi Suriah. Mereka melarikan diri dari Idlib, Suriah barat laut, yang tengah digempur pasukan Pemerintah Suriah dan Rusia untuk mengusir pasukan oposisi di wilayah itu.
Kantor berita Turki, Anadolu, menyiarkan bahwa 25.000 pengungsi Suriah masuk Turki dalam dua hari sejak Sabtu (21/12/2019). Gelombang pengungsi susulan itu mengalir di tengah upaya Damaskus mengambil kendali Idlib dari penguasaan Hayat Tahrir al-Syam (HTS), kelompok yang terafiliasi dengan Al Qaeda. Beberapa hari terakhir,pasukan Damaskus membombardir Idlib dari darat dan udara.
Sebelumnya, pada Kamis pekan lalu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengumumkan bahwa sekitar 50.000 pengungsi Suriah tiba di negaranya. Jumlah itu diperkirakan akan terus bertambah karena serangan terhadap Idlib semakin gencar.
Pertempuran sejak April 2019 di Idlib telah membuat 400.000 warga sipil kehilangan tempat tinggal dan 1.000 orang tewas. Sejak perang saudara meletus di Suriah pada 2011, sudah 3,7 juta orang mengungsi ke Turki. Negara ini menjadi tempat populasi pengungsi terbesar di dunia. Erdogan pernah mengumumkan akan mengizinkan para pengungsi itu mengalir ke Eropa.
Ancaman tersebut disampaikan kala Eropa mengecam invasi Ankara ke Suriah tenggara. Invasi dinyatakan untuk menciptakan zona peyangga. Zona itu akan digunakan sebagai lokasi repatriasi pengungsi Suriah dari Turki.
Ankara juga ingin zona itu bersih dari kelompok bersenjata Kurdi yang dituding sebagai teroris. Sebagian milisi Kurdi yang dibidik Ankara itu bergabung dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF). Selama perang melawan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), SDF berkongsi dengan AS dan sekutunya.
Selain memperkuat pengaruh di Suriah, Turki juga berupaya melebarkan pengaruh di wilayah konflik lainnya di Libya. Ankara mendukung pihak berselisih di Libya. Bersama Qatar, Turki mendukung pemerintah nasional Libya (GNA) di Tripoli, yang diakui komunitas internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ankara dan Doha dinilai menyokong kelompok bersenjata yang terafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin (IM). Arab Saudi, Mesir, dan Uni Emirat Arab (UEA) memasukkan IM sebagai kelompok teror.
Selain memperkuat pengaruh di Suriah, Turki juga berupaya melebarkan pengaruh di wilayah konflik lainnya di Libya.
Sebagian milisi yang terafiliasi dengan IM di Libya diduga membantu GNA. Karena itu, Arab Saudi, Mesir, UEA, Eropa, dan AS mendukung Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Khalifa Haftar, pensiunan tentara Libya yang berkewarganegaraan AS-Libya dan pernah tinggal di AS hampir 21 tahun hingga 2011.
Haftar memimpin LNA dari Benghazi. Sejak April 2019, LNA menyerang Tripoli dan berusaha merebutnya dari GNA. LNA beralasan ingin menyerbu kelompok teroris yang mendukung GNA. LNA diduga mendapat pasokan pesawat nirawak dari UEA. Sementara Mesir diduga memasok persenjataan, yang diduga dibeli dengan dana Arab Saudi, ke LNA.
Sejumlah laporan menyebut LNA juga dibantu pasukan bayaran yang dikendalikan Wagner. Pemilik perusahaan keamanan itu diketahui berkebangsaan Rusia dan diduga dekat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Sebaliknya, GNA mendapat artileri pertahanan udara, pengacak sinyal kendali pesawat nirawak, dan pesawat nirawak dari Ankara. Turki juga memasok informasi intelijen dan melatih para polisi dan tentara GNA. Bahkan, Erdogan siap mengirimkan tentara ke Libya jika diminta GNA.
Sabtu lalu, parlemen Turki meratifikasi perjanjian diplomatik Libya-Turki. AS menyebut perjanjian itu provokatif dan tidak membantu penyelesaian konflik Libya. LNA menyikapi ratifikasi itu dengan menangkap kapal yang diawaki warga Turki.