“Sabda” dari Istana
Tahun 2020 bisa jadi batu loncatan sepak bola Indonesia berprestasi tinggi di masa mendatang. Syaratnya, berbagai pihak bekerja keras merealisasikan “sabda” Presiden Joko Widodo di Istana Negara.
Sepak bola bisa dikatakan cabang olahraga paling istimewa di republik ini, tidak terkecuali di mata pemimpinnya, Presiden Joko Widodo. Keistimewaan itu ditunjukkan dengan diundangnya jajaran pengurus PSSI ke Istana Negara, Senin (16/12/2019) lalu. Hadirnya PSSI di Istana merupakan kejadian langka, hal yang kali terakhir terjadi sebelumnya di era Orde Baru, yaitu tepatnya 1970 silam.
Menariknya, bukan sekali itu saja sepak bola Indonesia menyita perhatian langsung Presiden Jokowi. Februari 2019 lalu, insan sepak bola lainnya, yaitu tim nasional U-22 asuhan Indra Sjafri, juga diundang hadir ke Istana Negara. Jokowi mengapresiasi prestasi tim “Garuda Muda” yang menjuarai Piala AFF U-22 2019 di Kamboja.
Sayangnya, pencapaian di negeri tetangga itu merupakan satu-satunya prestasi menonjol sepak bola Indonesia sepanjang tahun ini. Osvaldo Haay dan rekan-rekannya gagal mengulangi pencapaian serupa di SEA Games Filipina, awal Desember lalu. Harapan meraih medali emas, prestasi yang telah 28 tahun dinanti-nantikan publik Indonesia, dikubur Vietnam yang melumat Garuda Muda 3-0 di final.
Apa pun alibinya, timnas sepak bola Indonesia realitasnya gagal memenuhi targetnya di pekan multicabang olahraga Asia Tenggara itu. Hasil jauh lebih mengecewakan diperlihatkan timnas senior di kualifikasi Piala Dunia Qatar 2022 zona Asia. Digadang-gadang tampil penuh gairah menggebu-gebu karena sempat delapan tahun absen di kualifikasi itu, tim Garuda justru lesu, tidak bertenaga. Dari lima laga yang telah dijalani di kualifikasi putaran kedua itu, mereka selalu kalah.
Ironisnya, kekalahan itu diderita bertubi-tubi dari tim-tim tetangga yang seyogyanya memiliki kualitas setara seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Inilah kiprah terburuk Indonesia di kualifikasi Piala Dunia. Memang, pada kualifikasi Piala Dunia Brasil 2014 silam, Indonesia juga sempat menjalani rekor buruk, yaitu selalu kalah di enam laga. Namun, itu setidaknya diderita dari tim-tim raksasa Asia, yaitu Iran, Qatar, dan Bahrain, di putaran ketiga.
Tidak heran, dalam pertemuannya di Istana Negara, Jokowi memberikan wejangan kepada para pengurus PSSI baru di bawah “komando” jenderal polisi, Mochamad Iriawan, agar serius membenahi sepak bola nasional dan berani mengambil perubahan. Salah satu pembenahan yang paling diharapkan adalah terkait kompetisi, mulai dari usia dini hingga liga profesional. Perbaikan itu diyakini bermuara ke prestasi timnas.
Kompetisi dan prestasi timnas ibarat dua sisi koin yang tidak terpisahkan dan saling berkorelasi satu sama lain. Semakin baik kualitas kompetisi, maka kian bagus prestasi timnas di negara itu. Hal itu ditunjukkan sejumlah negara yang sepak bolanya maju, salah satunya Jepang dengan J-League. Liga sepak bola profesional di Jepang yang berdiri pada 1992 itu, menjelma kompetisi terbaik di Asia dan rutin melahirkan pemain-pemain yang mendunia seperti Hidetoshi Nakata, Shinji Kagawa, dan Takumi Minamino.
Seiring melesatnya J-League, yang tidak berhenti “mengekspor” pemain seperti Minamino (kini membela Liverpool) ke Eropa, timnas Jepang memetik manfaat besar. Tim “Samurai Biru” kini sangat kompetitif, terlepas sepak bola sempat menjadi olahraga nomor tiga yang kalah populer dari bisbol dan sumo di negara itu. Mereka menjadi langganan juara Piala Asia dan peserta Piala Dunia. Terakhir, pada Piala Dunia edisi 2018 di Rusia, mereka menjadi satu-satunya wakil Asia yang lolos ke fase gugur.
Restorasi Meiji
Majalah World Soccer pada edisi Oktober 2012 lalu mengulas, melesatnya sepak bola Jepang tiga dekade terakhir tidak terlepas dari visi besar pemimpin negara itu. Kesuksesan J-League memakai resep yang sama saat negara itu memulai modernisasi masif di bidang ekonomi yang disebut Restorasi Meiji, yaitu pada akhir abad ke-19. Jepang ingin mengejar ketertinggalannya dari negara-negara lain dengan mengirimkan para spesialisnya ke negara barat.
Di saat sama, Federasi Sepak Bola Jepang (JFA) juga mendatangkan para pesepakbola ternama Eropa seperti Gary Lineker dan Dragan Stojkovic; serta pelatih terkemuka macam Arsene Wenger dan Carlos Rexarch. Selain meramaikan J-League di awal pendiriannya, kehadiran mereka memungkinkan para pemain dan pelatih lokal Jepang menyerap cepat ilmu bak osmosis. Pola serupa lantas ditiru China yang berambisi menjadi negara adidaya baru di sepak bola.
Terkait hal itu, utusan pemerintah dan Badan Olahraga Profesional Indonesia—lembaga yang bertugas mengawasi olahraga profesional—melakukan kunjungan ke Jepang, pertengahan Desember lalu. Beberapa hal mengemuka dalam pertemuan mereka dengan JFA dan pengelola J-League adalah profesionalisme dan konsistensi mereka mendorong sepak bola sebagai industri yang menggerakkan ekonomi sekaligus membanggakan negara.
Jepang tidak berkompromi dalam menegakkan aturan main sepak bola, baik itu terkait lisensi klub profesional, pengawasan kinerja wasit, hingga perlindungan hak-hak pemain. Salah satu hasilnya, yang sangat mengagumkan, adalah sterilnya J-League dari kasus pengaturan skor (match fixing) paling tidak selama satu dekade terakhir. Padahal, berbagai negara di Asia, bahkan Eropa, terpapar virus yang menakutkan di sepak bola itu.
Virus itu juga melanda Indonesia. Sepanjang 2019 ini, sepak bola Indonesia diguncang banyak kasus pengaturan skor yang diungkap Satuan Tugas Antimafia Sepak Bola bentukan Kepolisian RI. Satu persatu pemangku kepentingan di sepak bola, mulai dari wasit, pemilik klub, hingga pejabat PSSI di daerah maupun pusat terjerat kasus itu. Berbagai strata kompetisi sepak bola nasional, mulai dari liga amatir, Liga 2, hingga Liga 1, tercemar praktik kecurangan dan diselidiki polisi.
Sudah begitu, suporter juga berulah, saling berkelahi, dan merusak fasilitas di stadion. Situasi diperburuk oleh jadwal kompetisi profesional, seperti Liga 1, yang berubah-ubah spontan entah karena hajatan politik seperti pemilu atau tidak mendapatkan izin keramaian. Perubahan jadwal itu tidak jarang beririsan dengan agenda latihan maupun jadwal tanding timnas. Kondisi yang berdampak pada stamina pemain ini beberapa kali dikeluhkan Simon McMenemy, pelatih timnas yang akhirnya dipecat.
Penyakit lama, yaitu tunggakan gaji pemain oleh klub, belum juga hilang dari kompetisi sepak bola di Tanah Air, sekali pun di Liga 1. Padahal, pemain yang lapar rentan “masuk angin” alias tergoda bujuk rayuan para pengatur skor. Berbagai masalah laten itu terus menerus terjadi bertahun-tahun tanpa upaya signifikan, khususnya dari PSSI. Tidak heran, selain timnas, prestasi klub Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara tetangga. Padahal, klub inilah yang sejatinya memiliki para pemain.
Mengacu pada situs Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC), Indonesia kini berada di posisi ke-28 dari 46 negara anggota. Posisi itu ada di bawah Myanmar (27), Singapura (19), Malaysia (18), Vietnam (16), Filipina (13), dan Thailand (8). Sejak 2012, klub-klub Indonesia tidak pernah lagi bisa menembus babak utama, yaitu penyisihan grup, Liga Champions Asia. Terakhir kali Indonesia tampil di babak itu adalah pada 2011 silam, yaitu diwakili Arema. Saat itu pun, Arema tidak bisa memenangi satu pun dari enam laga penyisihan grup.
Piala Dunia U-20
Tanpa pembenahan serius, sebagus apa pun potensi pemain-pemain muda yang kita miliki saat ini, mereka bakal sulit bersaing di Piala Dunia U-20 Indonesia 2021. Padahal, Indonesia diharapkan tidak sekadar sukses sebagai penyelenggara, melainkan juga dalam hal prestasi tim di ajang bergengsi itu. Setidaknya, jangan sampai Garuda Muda menjadi bulan-bulanan tim-tim lawan kelas dunia seperti edisi 1979 silam di Jepang, terakhir kali Indonesia berpartisipasi di turnamen itu.
Bahkan, Jokowi berharap, Garuda Muda bisa menembus semifinal. Bukan sekedar “bersabda”, ia juga telah memberikan “senjata” yang bisa dimanfaatkan PSSI dan insan sepak bola lainnya. Awal 2019, ia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional. Inilah satu-satunya Inpres dalam sejarah republik ini yang mengatur khusus tentang salah satu cabang olahraga, dalam hal ini sepak bola.
Inpres dan keberhasilan memenangi pencalonan tuan rumah Piala Dunia U-20 itu menegaskan langgam baru dalam pembangunan sepak bola di negeri ini, yaitu kemitraan erat antara pemerintah dan PSSI. Kemitraan itu disimbolkan pula oleh kaus nomor 21 yang diterima Jokowi dari Presiden FIFA Gianni Infantino di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Bangkok, November lalu.
Secara numerologi, angka 21 bisa dimaknai sebagai kesuksesan dan kerjasama erat. Inilah pintu optimisme membangun sepak bola di negara yang sempat dilanda kisruh sepak bola akibat perselisihan pemerintah dan PSSI yang berujung pembekuan FIFA, 2015 silam. Inpres Nomor 3 Tahun 2019 menjamin dukungan seluruh unsur kekuatan di negara ini untuk pengembangan sepak bola nasional, yaitu mulai dari penyediaan sarana-prasana hingga pendanaan alias dukungan sponsor dari BUMN.
Optimisme kian membuncah melihat tekad PSSI merekrut pelatih timnas berkelas dunia seperti Shin Tae-yong dan Luis Milla; perbaikan jadwal liga dan mutu wasit serta pelatih; juga pengadopsian teknologi video wasit (VAR) yang prosesnya akan dimulai tahun depan. Maka itu, 2020 bisa dikatakan tahun “lepas landas” sepak bola nasional jika tekad itu sungguh diwujudkan.