Setahun Berlalu, Mitigasi Masih Terabaikan
Tepat setahun usai kejadian tsunami Selat Sunda yang menewaskan 437 orang, upaya mitigasi di pesisir Kabupaten Pandeglang dan Serang, Banten, masih terabaikan. Padahal, mitigasi adalah kunci meminimalkan dampak bencana.
Tepat setahun setelah kejadian tsunami Selat Sunda yang menewaskan 437 orang, upaya mitigasi di pesisir Kabupaten Pandeglang dan Serang, Banten, belum jadi prioritas. Bangunan evakuasi tsunami masih terbengkalai, papan petunjuk rute evakuasi minim, dan tata ruang pesisir yang berada di zona rawan tsunami belum diatur.
Tsunami Selat Sunda yang melanda pesisir Banten dan Lampung pada 22 Desember 2018 menyebabkan 437 orang tewas, 41.132 jiwa mengungsi, dan ribuan bangunan rusak. Tsunami yang dipicu longsoran akibat aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau itu tak terdeteksi oleh sistem peringatan dini.
Berdasarkan pengamatan pada Sabtu (21/12/2019) dan Minggu (22/12/2019), aktivitas di pesisir Banten tampak menggeliat. Namun, tata ruang dan desain bangunan di wilayah pesisir yang menjadi zona rawan tsunami belum diatur. Masih banyak permukiman, bangunan tempat usaha, dan hotel yang berjarak 10-20 meter dari bibir pantai. Meskipun sebagian besar rumah dan penginapan yang rusak sudah diperbaiki, desain bangunan tidak banyak berubah.
Baca juga: Ironi Mitigasi di Wilayah Terdampak Tsunami
Tidak hanya itu, sepanjang jalan mulai dari Pantai Anyer (Kabupaten Serang), hingga Pantai Carita dan Tanjung Lesung (Pandeglang) papan petunjuk rute evakuasi tsunami sangat minim, hanya terlihat dua rambu petunjuk. Di Tanjung Lesung, tampak beberapa rambu yang menunjukkan kawasan rawan tsunami di sejumlah pantai, tetapi tidak diikuti petunjuk rute evakuasi.
”Kalau ada tsunami memang masih bingung harus ke mana karena enggak ada petunjuknya. Yang pasti lari ke tempat tinggi,” kata Nurhani (32), warga setempat yang sedang berwisata ke Pantai Cipenyu, Pandeglang.
Shelter tak terurus
Kondisi mencolok dari abainya upaya mitigasi adalah kondisi bangunan evakuasi atau shelter tsunami di Kecamatan Labuan, Pandeglang, yang tampak tidak terurus. Shelter tsunami seluas 2.456 meter persegi dengan kapasitas 3.000 jiwa itu kusam dan dipenuhi coretan di tembok. Bangunan itu memiliki kamar mandi yang terdiri dari enam bilik dengan kloset rusak dan tanpa air.
Aan (40), pedagang minuman yang berjualan di depan shelter, mengatakan, saat kejadian tsunami setahun lalu, banyak warga berbondong-bondong naik menyelamatkan diri ke bangunan yang berjarak sekitar 1 kilometer dari bibir pantai itu. Namun, warga mengurungkan mengungsi di shelter karena tidak ada penerangan dan air di kamar mandi.
Eneng (35), pedagang lain di sekitar shelter, mengakui bahwa bangunan untuk evakuasi tsunami tersebut tidak ada yang mengurus dan menjaganya secara khusus. Akibatnya, kerap kali digunakan sebagai tempat berkumpul para pemuda untuk mengonsumsi minuman beralkohol.
”Karena enggak ada yang ngurus jadi anak-anak ini leluasa,” kata Eneng. Padahal, shelter tsunami hanya berjarak sekitar 50 meter dari kantor Polsek Labuan.
Selain penuh coretan dan sampah, pada lantai teratas shelter sebagian lampu dan panel surya telah hilang. Adapun lantai dasar shelter digunakan untuk markas dinas pemadam kebakaran Kabupaten Pandeglang dan tempat pemberhentian angkutan kota.
Peneliti sekaligus Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATsI) Gegar Prasetya mengatakan, shelter seharusnya dirawat dan dimanfaatkan untuk kebutuhan publik selain untuk evakuasi tsunami agar masyarakat semakin sadar dengan fungsinya. ”Kalau tidak diurus dan tidak pernah digunakan, kan, masyarakat jadi tidak tahu gunanya apa. Jika tidak tahu, mana mungkin dia berlindung ke shelter kalau ada tsunami,” ujar Gegar.
Terkait dengan tata ruang, menurut Gegar, zona merah yang rawan terkena tsunami bisa saja didirikan bangunan. Hanya saja, keberadaan bangunan itu harus disertai desain bangunan yang didasarkan atas kajian risiko tsunami.
Yang pasti, Gegar menilai, lantai dasar bangunan yang berada di zona rawan tsunami harus dibuka dan tidak boleh dihuni. ”Lantai dasar itu penting untuk dikosongkan. Sebab, jika ada tsunami, air yang datang tidak memakan korban. Jadi, kalau penginapan, tidak boleh ada kamar di lantai dasar,” tutur Gegar.
Gegar menambahkan, konsep mitigasi dan persiapan menghadapi bencana seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah. Kedua faktor itu akan menjadi kunci meminimalkan korban dan kerusakan ekonomi saat terjadi bencana. Dengan kata lain, pemerintah semestinya memandang mitigasi sebagai investasi.
Bupati Pandeglang Irna Narulita mengatakan, upaya mitigasi tsunami di Pandeglang masih terus berproses. Untuk bangunan evakuasi atau shelter tsunami, misalnya, pemerintah daerah mengupayakan agar dapat dikelola badan usaha milik desa (BUMDes) setempat agar shelter itu bermanfaat dan fungsinya sebagai bangunan evakuasi tsunami kian tertanam dalam benak warga.
Terkait dengan kondisi bangunan shelter yang tidak terurus, Irna mengakui, hal itu tidak terlepas dari gagalnya kegiatan lelang untuk instalasi listrik dan air. Ke depan, dia meminta shelter itu juga dijadikan sebagai kantor perwakilan BPBD Pandeglang selain dikelola BUMDes agar tetap dirawat.
Mengenai tata ruang di zona rawan tsunami, Irna memastikan tidak akan menerbitkan izin baru untuk hunian dan hotel hingga jarak 150 meter dari bibir pantai. Namun, dia mengakui, bangunan lama yang sudah telanjur berdiri, baik rumah maupun hotel, perlu waktu untuk menyesuaikan dengan konsep tata ruang berbasis mitigasi.
”Bangunan yang sudah ada ini, kan, tidak mau dibongkar jika tidak ada kompensasi dari pemerintah. Untuk itu, kami berharap pemerintah pusat juga membantu sembari kami menyiapkan revisi tata ruang,” ujar Irna.
Kepala Bidang Kesiapsiagaan dan Pencegahan Bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banten M Juhriyadi mengatakan, sejak tsunami terjadi hingga kini, BPBD sudah melakukan sejumlah hal, seperti membuat desa tangguh bencana di daerah terdampak tsunami serta memberikan pelatihan mitigasi dan evakuasi bencana kepada aparatur kecamatan dan desa.
”Pelatihan ini diharapkan agar warga dan aparatur tahu apa yang harus dilakukan ketika bencana itu datang,” ucap Juhriyadi.
Terkait dengan pengaturan tata ruang dan desain bangunan, Juhriyadi mengakui daerah pesisir barat Banten rawan tsunami. Untuk itu, pihaknya berkoordinasi dengan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Banten agar hotel yang berada di zona rawan tsunami bisa beradaptasi dengan mengubah tata letak dan desain bangunannya. Namun, perubahan bangunan itu belum terealisasi.
”Pada prinsipnya semua sepakat untuk berbenah. Kami juga menginginkan kegiatan ekonomi berkelanjutan,” kata Juhriyadi.
Baca juga: Mereka Menjalani Malam dengan Rasa Waswas
Deteksi dini ditingkatkan
Aspek mitigasi yang memberi harapan adalah peningkatan sistem peringatan dini di Selat Sunda setelah tsunami yang terjadi tahun lalu tidak terdeteksi. Sebab, saat itu Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tidak memiliki alat pendeteksi tsunami nontektonik yang dipicu aktivitas gunung api.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan, saat ini pihaknya telah bersinergi dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. BMKG diberi akses data untuk melihat peningkatan aktivitas di Gunung Anak Krakatau dari PVMBG.
”Satu sisi memang BMKG berwenang mengeluarkan warning (peringatan) tsunami, tetapi tidak berwenang mengamati gunung. Saat ini dengan diperkuat data PVMBG kami akan keluarkan warning tsunami,” ucap Rahmat.
Soal sistem peringatan dini, BMKG memasang radar baru dan menambah jumlah sensor seismik di sekitar Selat Sunda untuk memperkuat deteksi terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono menjelaskan, kawasan Selat Sunda masih rawan tsunami akibat megathrust dan penyebab nontektonik seperti gunung api.
Selain itu, BMKG juga terbantu dengan kehadiran alat-alat baru yang dipasang lembaga lain, seperti cable based tsunameter (CBT) atau kabel laut yang dipasang Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan inexpensive device for sea level measure (IDSL) atau alat pemantau pasang surut permukaan laut yang dipasang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Adapun alat lain yang sudah lebih dulu terpasang adalah stasiun pasang surut milik Badan Informasi Geospasial.