Pemerintah mendorong hilirisasi, yang antara lain melalui pembangunan smelter. Namun, operasional smelter perlu listrik. PLN menghadapi tantangan untuk memenuhi kebutuhan listrik itu.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Sebanyak 52 smelter diperkirakan selesai dibangun dan beroperasi pada 2022. Pengoperasian smelter yang sebagian besar untuk pemurnian bijih nikel itu memerlukan pasokan listrik sekitar 4.200 megawatt.
PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) ditantang bisa memenuhi pasokan listrik untuk mendukung program hilirisasi pemerintah.
Dari 52 smelter tersebut, sebanyak 30 smelter di antaranya adalah smelter untuk mengolah dan memurnikan bijih nikel. Sisanya berupa smelter tembaga dan bauksit. Sebagian besar berada di Sulawesi dan Maluku Utara.
"Total kebutuhan pasokan listrik untuk operasional smelter sebanyak 4.204,41 megawatt. Di situlah tantangannya, bagaimana kebutuhan listrik sebanyak itu bisa terpenuhi," ujar Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Yunus Saefulhak dalam diskusi tentang kecukupan pasokan listrik untuk industri smelter, akhir pekan lalu, di Jakarta.
Yunus menambahkan, sebagian lokasi pembangunan smelter di wilayah terpencil dan tidak terhubung dengan jaringan listrik PLN. Akibatnya, investor smelter harus membangun pembangkit listrik swadaya untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik smelter. Dari sisi bisnis, tentunya akan lebih menarik jika listrik dipasok dari pembangkit PLN.
Mengenai kebutuhan listrik untuk smelter, Pelaksana Tugas Direktur Utama PLN Sripeni Inten Cahyani menjamin pihaknya mampu menyediakan pasokan listrik untuk smelter secara memadai. PLN tengah mempercepat pembangunan transmisi yang bisa terhubung dengan wilayah-wilayah yang menjadi lokasi pembangunan smelter.
Bahkan, kata Sripeni, PLN siap dikenai sanksi jika tak mampu menyediakan listrik untuk smelter tersebut.
"Kami akan memberikan usaha terbaik untuk menyediakan listrik bagi industri smelter. Selain itu, kami juga diminta untuk memberikan tarif listrik bagi industri besar di kawasan ASEAN," kata Sripeni.
Tarif ideal
Berdasarkan data PLN, tarif listrik untuk golongan industri menengah di Indonesia masih lebih mahal daripada tarif di Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Tarif listrik golongan industri menengah di Indonesia adalah Rp 1.115 per kWh, sedangkan di Malaysia Rp 1.052 per kWh. Adapun tarif di Thailand Rp 1.077 per kWh dan di Vietnam Rp 1.090 per kWh. Besaran tegangan listrik untuk golongan industri menengah di atas 200 kilovolt ampere.
"Tarif listrik untuk industri memang harus kompetitif. Kalau tidak, Indonesia tidak akan dilirik investor. Khusus untuk tarif listrik golongan industri besar (di atas 30 megavolt ampere), Indonesia hanya kalah dari Malaysia," ujar Direktur Regional Sulawesi dan Kalimantan PLN Syamsul Huda.
Dalam diskusi tersebut, beberapa pelaku industri mengusulkan agar dibuat klasifikasi tarif berdasar beban puncak dan di luar beban puncak. Mereka juga menginginkan tarif listrik untuk industri bisa lebih murah. Namun, PLN menekankan, tarif yang kompetitif, bukan murah, adalah standar tarif yang sama-sama menguntungkan, baik bagi pelanggan maupun pemasok listrik.
"Di kawasan ASEAN, secara umum tarif listrik Indonesia lebih kompetitif dibanding dengan negara lain. Memang, untuk tarif listrik golongan industri besar, di Indonesia belum yang termurah, akan tetapi bisa dinegosiasikan dengan PLN," kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana.
Saat ini kapasitas terpasang pembangkit listrik milik PLN sebesar 61.327 MW dengan panjang transmisi 56.899 kilometer sirkuit. Ada 74,5 juta pelanggan listrik PLN yang didominasi rumah tangga.
Dari sisi konsumsi listrik per kapita, Indonesia tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN. Sampai dengan triwulan III-2019, konsumsi listrik per kapita di Indonesia sebesar 1.077 kWh. Pemerintah menargetkan konsumsi listrik per kapita pada 2019 sebesar 1.200 kWh. (APO)