Tak ada jemaat yang terusik saat azan terdengar hingga ke dalam gereja. Ibadah Natal bahkan digeser 15 menit menunggu shalat berakhir. Seusai shalat, umat Islam gantian keluar dari masjid, membantu kelancaran ibadah.
Oleh
Dionisius Triwibowo/I Gusti Agung Bagus Angga Putra
·4 menit baca
Begitulah gambaran toleransi di dua tempat ibadah yang dibangun dalam satu dinding di Palangkaraya.
Wahyudin (35) yang berada di dalam Masjid Al-Azhar, di Kelurahan Menteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Sabtu (14/12/2019), mendengar kidung nyanyian gereja tanda ibadah dimulai. Ia beranjak keluar dari masjid menuju tempat parkir motor.
Alih-alih mengambil motornya untuk pulang, ia malah mengatur tempat parkir motor di depan Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) Nasaret, yang berada persis di sebelah Masjid Al-Azhar. Dengan sigap, ia menata motor-motor jemaat yang malam itu akan merayakan Natal. Ia dibantu Ronny Kankarendeng Mankin (42), penjaga gereja.
Wahyudin bersama sejumlah pemuda Masjid Al-Azhar lainnya kemudian juga ikut menjaga motor-motor itu selama ibadah berlangsung. Ia menghabiskan waktu sambil mengobrol dan menyeruput kopi yang dibuat Ronny. Tak terasa hampir dua jam berlalu. Ibadah Natal berakhir. Mereka kembali sibuk mengatur motor yang keluar. Semalaman itu Wahyudin dan pemuda masjid menjadi sukarelawan menjaga kelancaran ibadah Natal.
Tak ada yang protes ketika azan berkumandang. Begitu pula ketika lonceng gereja menggema.
Pengurus masjid dan yayasan di Al-Azhar, Haji Noorsabri, menceritakan, kedua tempat ibadah itu dibangun bersama-sama tahun 1984. ”Alasannya hanya satu, toleransi. Kami sepakati untuk dibuat satu dinding saja. Dibangunnya juga bersamaan,” ungkapnya.
Dindingnya pun dibangun menyatu. Bagian terbawah atap bersentuhan, menyiratkan eratnya persaudaraan di antara pemeluk kedua agama. Sejak pertama dibangun, lanjutnya, tak pernah ada konflik di antara kedua belah pihak. Tak ada yang protes ketika azan berkumandang. Begitu pula ketika lonceng gereja menggema.
Bahkan, dirinya pernah diingatkan jemaat gereja ketika suara azan tidak terdengar. Saat itu pelantang suara masjid sedang rusak. ”Setelah tahu alat (pelantang) rusak, saling bantu jadinya,” tambahnya.
Keturunan pelaut
Semangat persaudaraan juga terlihat dalam bangunan Masjid Al-Muqarrabien dan Gereja Protestan Mahanaim di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dua rumah ibadah itu berdiri berdampingan sejak 1958. Wakil Ketua Jemaat Gereja Protestan Mahanaim Dikson Bawuna menuturkan, Gereja Mahanaim didirikan tahun 1957 oleh para pelaut Kristen dari Sangihe, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara.
Kala itu, mereka membutuhkan gereja untuk beribadah. Permohonan untuk membangun gereja di atas tanah milik Kementerian Perhubungan (Kemenhub), tak jauh dari Pelabuhan Tanjung Priok ini, lalu diajukan dan kemudian dikabulkan.
Setahun berselang, pelaut beragama Islam yang datang dari luar Jakarta juga membutuhkan masjid. Pilihan kemudian jatuh pada tanah milik Kemenhub yang ada di sebelah Gereja Mahanaim. Pada 1958, Masjid Djawatan Perhubungan Laut lalu didirikan. Itulah cikal bakal Masjid Al-Muqarrabien.
”Sejak didirikan, hubungan yang ada selalu harmonis. Tak pernah ada selisih paham di antara keduanya,” ujar Dikson yang merupakan generasi ketiga di Gereja Mahanaim. Alih-alih berselisih paham, kedua umat senantiasa rukun dan saling menghargai. Pada saat perayaan Natal, misalnya, pengurus masjid mempersilakan halaman masjid menjadi tempat parkir jemaat yang hendak beribadah.
Sebaliknya, ketika Idul Fitri jatuh pada hari Minggu, pihak Gereja Mahanaim sengaja meniadakan ibadah pagi yang biasa digelar pukul 06.00. Tujuannya agar halaman gereja bisa digunakan sebagai lokasi shalat Id.
”Dari generasi ke generasi, kami sudah ditanamkan bahwa hidup berdampingan meski berbeda itu bukan sesuatu hal yang mustahil atau buruk,” kata Dikson.
Hal serupa diutarakan Imam Masjid Al-Muqarrabien Endang Guna Raharja (57). Hidup bersama dalam perbedaan, katanya, tidak perlu dipermasalahkan.
Saling menjaga
Hidup saling menolong dan menghormati selalu dijaga dan dipraktikkan di daerah itu. Hal ini, umpamanya, terjadi saat banjir menerjang perkampungan di sekitar Masjid Al-Muqarrabien dan Gereja Mahanaim, lima tahun silam. Kala itu semua rumah penduduk terendam. Pihak gereja lalu membuka pintu untuk menampung korban banjir. Mereka kemudian mengungsi di lantai dua gereja selama tiga hari hingga banjir surut.
Sementara itu, misalnya Ketika peristiwa berdarah Tanjung Priok pada 1984, umat Islam membantu menjaga dan mengamankan Gereja Mahanaim. ”Boleh dibilang kami ini saling menjaga satu sama lain,” ujar Dikson.
Hubungan harmonis itu terus dijaga hingga kini. Bahkan, ketika ada rencana kedua rumah ibadah yang berdampingan itu akan terkena relokasi pada 2014 akibat rencana pelebaran jalan, kedua umat bersatu. Mereka menolak berpisah. Relokasi mereka nilai akan menghancurkan simbol kerukunan beragama yang telah terbangun selama ini.
Masjid Al-Muqarrabien dan Gereja Mahanaim serta Masjid Al-Azhar dan GKE Nasaret menjadi saksi sejarah keberagaman di republik ini. Perbedaan menjadi kekuatan menghadapi musibah dan kesulitan.