Liverpool, untuk pertama kalinya, menyegel status klub terbaik sejagat seusai membekap Flamengo 1-0 di final Piala Dunia Antarklub 2019. Inilah tonggak emas dari klub legendaris itu.
Oleh
Yulvianus Harjono
·4 menit baca
DOHA, SABTU – Penyerang Liverpool, Roberto Firmino, berteriak histeris dan membuka kausnya seusai mencetak gol kemenangan timnya ke gawang Flamengo di babak tambahan waktu final Piala Dunia Klub 2019, Minggu (22/12/2019) dini hari WIB di Doha, Qatar. Selebrasi gol itu menandai dibukanya era emas baru “The Reds” yang bergelimang prestasi.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Liverpool meraih trofi Piala Dunia Klub. Trofi yang menjadi simbol klub sepak bola terbaik sejagat itu melengkapi prestasi menawan klub Inggris itu yang sebelumnya meraih gelar juara Liga Champions Eropa dan Piala Super Eropa dalam kurun enam bulan terakhir ini.
Firmino dan timnya kini boleh berbangga diri karena melampaui pencapaian barisan pemain legendaris seperti Steven Gerrard, Ian Rush, Kenny Dalgish, dan Graeme Souness, yang juga pernah membawa The Reds ke era keemasan sebelumnya. Dari banyaknya pemain hebat itu, di masanya, tiada satu pun mampu meraih gelar juara dunia.
Sebelum laga di Doha itu, Liverpool selalu menderita di final Piala Dunia Klub maupun turnamen sejenis sebelumnya yaitu Piala Interkontinental. Pengalaman patah hati itu terjadi pada 1981, 1984, dan 2005 silam. The Reds kini bisa pulang dengan membusungkan dadanya karena kini sejajar rival terberatnya, Manchester United, yaitu satu-satunya tim lain di Inggris yang pernah meraih gelar juara dunia itu.
Dengan meraih trofi itu Doha, Liverpool berhak memasang emblem khusus, yaitu simbol juara dunia FIFA yang berwarna emas, di kostum mereka pada ajang Liga Champions musim ini dan berikutnya. Emblem prestisius itu juga pernah dipakai tim-tim nasional juara dunia seperti Spanyol, Brasil dan Italia. Inilah hadiah keistimewaan lainnya dari juara Piala Dunia Klub yang tidak pernah dirasakan Liverpool sebelumnya.
“Ketika saya menyinggung turnamen ini (Piala Dunia Klub) dengan keluarga dan teman-teman, mereka semua membicarakan soal emblem emas ini. Itu adalah sesuatu hal yang sangat Anda inginkan sebagai pesepak bola. Setiap kali melihat kaus dengan emblem itu, Anda teringat pernah meraih hal hebat sebagai juara dunia,” ujar Giorginio Wijnaldum, gelandang Liverpool, seperti dikutip dari laman resmi klub itu.
Kesuksesan Liverpool di Doha itu sekaligus menegaskan “DNA” atau identitas khas baru mereka sepanjang tahun ini. Identitas itu berupa determinasi serta semangat pantang menyerah. Itu kembali mereka tunjukkan pada final melawan Flamengo, klub juara Amerika Selatan. Seperti diprediksi sebelumnya, klub asal Brasil itu tampil ofensif, agresif, sekaligus terorganisir.
Mereka lebih banyak menguasai bola, yaitu hingga 53 persen. Namun, dominasi itu kurang berarti berkat pertahanan solid Liverpool yang dipimpin bek Virgil van Dijk. Pemain terbaik Eropa 2019 itu tampil sejak awal laga itu setelah sempat absen pada laga sebelumnya, yaitu semifinal kontra Monterrey, wakil Amerika Utara.
Flamengo, yang mengalahkan tim emas The Reds di final Piala Interkontinental 1981 silam, sempat memaksakan babak tambahan waktu. Di babak ekstra itu, yaitu tepatnya menit ke-99, Liverpool memecahkan kebuntuan melalui gol semata wayang Firmino. Kemenangan dramatis serupa juga terjadi di semifinal. Liverpool baru bisa menyegel kemenangan 2-1 atas Monterrey berkat gol Firmino di menit injury time 90+1.
“Saya tidak tahu seperti apa rasanya (menjadi juara dunia) sebelumnya. Namun, kini saya bisa katakan, itu luar biasa dan sungguh sensasional. Saya bangga dengan perjuangan anak-anak. Flamengo sungguh tim yang bagus. Namun, kami tim yang lebih baik malam ini,” ujar Klopp seusai laga itu.
Menembus batasan
Diakui Van Dijk, 2019 menjadi tahun luar biasa bagi Liverpool. Namun, ia berharap, kesuksesan itu terus berlanjut dengan meraih trofi-trofi lainnya di tahun 2020. Salah satu trofi yang tengah mereka incar adalah gelar juara Liga Inggris, prestasi yang terakhir kali diraih The Reds pada 1990 silam. “Kami tidak boleh berpuas diri. Kami harus terus merasa lapar dan menginginkan trofi-trofi lainnya,” ujarnya.
Dengan keunggulan sepuluh poin di puncak klasemen, trofi Liga Inggris kini berada dalam jangkauan The Reds. Namun, untuk bisa sekaligus mempertahankan gelar juara Liga Champions pada tahun depan, mereka harus menembus batasan kewajaran dan menjadi tim paling legendaris di Inggris. Sepanjang sejarah, belum ada klub yang mampu menjuarai Liga Inggris sekaligus mempertahankan gelar juara Eropa.
Namun, menembus batasan, bahkan logika, telah menjadi kebiasaan lainnya The Reds di era emas kali ini. Itu telah mereka tunjukkan saat menyingkirkan Barcelona di semifinal Liga Champions Eropa musim lalu. Sempat divonis “mati” karena tertinggal agregat gol 0-3 dan tidak bisa diperkuat dua penyerang terbaiknya, Firmino dan Mohamed Salah, Liverpool ganti menggilas Barca 4-0 pada duel kedua di Anfield. Mereka pun lolos ke final.
Pengalaman mengatasi kesulitan yang luar biasa itu telah menebalkan mentalitas dan semangat The Reds sepanjang musim baru ini. “Kami ingin meninggalkan warisan hebat dan memenangi lebih banyak trofi. Kami hanya bisa melakukannya dengan menerapkan hal dan mentalitas yang sama seperti musim lalu,” ujar Andy Robertson, bek sayap Liverpool, pada awal musim ini.(AFP)