Indonesia dapat meninjau defisit neraca perdagangan dengan negara-negara yang menjadi mitra. Jika defisit kian dalam, pemerintah perlu mempertimbangkan efektivitas kebijakan perdagangan dan perjanjian perdagangan.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia tengah menyiapkan dokumen untuk menjalani evaluasi kebijakan perdagangan oleh Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Evaluasi ini dapat menjadi refleksi bagi Indonesia untuk meninjau efektivitas kebijakan perdagangan nasional.
WTO akan melaksanakan evaluasi kebijakan perdagangan (TPR) terhadap Indonesia pada November 2020. TPR ini dilaksanakan tujuh tahun sekali.
TPR merupakan sebuah mekanisme transparansi WTO untuk meninjau perkembangan dan capaian kebijakan perdagangan dalam periode waktu yang telah ditentukan. TPR juga menjadi mekanisme peninjauan terhadap kinerja perdagangan anggota WTO.
Peneliti Center of Investment, Trade, and Industry Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, menilai, TPR WTO dapat menjadi sarana refleksi kebijakan perdagangan global bagi Indonesia. ”Di tengah situasi pelambatan perdagangan global, Indonesia bisa melihat sejauh mana kebijakan perdagangan nasional sudah cukup cocok, baik bagi Indonesia sendiri maupun mitra dagang Indonesia dalam keanggotaan WTO,” tuturnya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (24/12/2019).
Oleh sebab itu, Andry mengharapkan pemerintah menjadikan TPR WTO sebagai momentum untuk mengevaluasi efektivitas kebijakan perdagangan Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, evaluasi efektivitas kebijakan perdagangan terhadap perluasan pasar bagi produk dalam negeri turut menjadi sorotan penting bagi Indonesia dalam menyiapkan TPR tersebut.
Sebagai salah satu indikator evaluasi dan refleksi, Andry menyebutkan, Indonesia dapat meninjau defisit neraca perdagangan dengan negara-negara yang menjadi mitra. Jika defisit kian dalam, pemerintah perlu mempertimbangkan efektivitas kebijakan perdagangan dan perjanjian perdagangan yang berkaitan.
Sementara itu, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal, menilai, hasil TPR WTO dapat menjadi sinyal positif dari Indonesia bagi negara-negara mitra dagangnya, utamanya yang merupakan anggota WTO. Hasil TPR dapat menjadi sinyal positif jika menyiratkan kebijakan perdagangan Indonesia sudah sejalan dengan WTO.
Sebelumnya, Duta Besar RI untuk WTO Syamsul Bahri telah bertemu dengan Sergio Stamnas, perwakilan Divisi TPR (TPRD) WTO, di Jakarta, 17-19 Desember lalu. ”Perwakilan TPRD mengatakan, TPR bukanlah wadah untuk menghakimi dan menyengketakan kebijakan anggota WTO. TPR bertujuan menelaah kemajuan anggota WTO dari aspek kebijakan dan program prioritas yang mendukung perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi Indonesia,” katanya, melalui siaran pers yang diterima Senin.
TPR WTO terhadap Indonesia dijadwalkan pada 2-4 November 2020. TPR merupakan yang ketujuh. Prosesnya menerapkan prinsip keterbukaan terhadap informasi dan penjelasan kebijakan.
Direktur Perundingan Multilateral Kementerian Perdagangan Dandy Satria Iswara menggambarkan, dalam proses TPR, setiap anggota WTO diberikan kesempatan menyampaikan pandangan dan pertanyaan kepada Indonesia. ”Hal ini merupakan kesempatan yang sangat baik untuk menyampaikan keberhasilan-keberhasilan Pemerintah Indonesia di bidang perdagangan kepada para anggota WTO,” katanya.
Berdasarkan dokumen laporan TPR yang dipublikasikan WTO pada 2013, WTO menilai Indonesia sebagai negara yang mampu mempertahankan perkembangan ekonominya sejak 2007 dengan rata-rata pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tahunan mencapai 5,9 persen per kapita. Dalam masa evaluasi, kontribusi perdagangan Indonesia dinilai terbatas dalam pertumbuhan ekonomi.
Penilaian kontribusi terbatas disimpulkan berdasarkan peran ekspor barang terhadap PDB mencapai 21-26 persen selama masa evaluasi. Peran impor terhadap PDB berkisar 15-18,5 persen.
Menyikapi proteksionisme
Melalui proses evaluasi ini, Fithra mengharapkan WTO mesti tegas kepada negara-negara maju yang telah menerapkan kebijakan-kebijakan perdagangan yang menyiratkan proteksionisme secara tidak langsung. Kebijakan ini menimbulkan aksi retaliasi.
Dari sisi posisi Indonesia di kancah global, Fithra mengatakan, hasil TPR WTO terhadap negara-negara lain dapat menjadi sarana bagi pemerintah memperkirakan kecenderungan perdagangan global. ”Hal ini bisa menjadi referensi kebijakan perdagangan yang akan diterapkan Indonesia secara jangka panjang,” ujarnya.
Selain itu, Fithra menambahkan, tinjauan TPR terhadap semua negara WTO juga dapat menjadi referensi tren pola perdagangan internasional. Contohnya, sifat pola perdagangan lebih mengarah ke regional, bilateral, multilateral, atau makin protektif.