Memaknai Hukum di Tengah Residu Kontestasi
Penegakan hukum di Tanah Air sepanjang 2019 tak dapat dilepaskan dari kontestasi politik yang menyelimuti kehidupan bangsa hampir dua tahun terakhir.
Penegakan hukum di Tanah Air sepanjang tahun 2019 tidak dapat dilepaskan dari kontestasi politik yang menyelimuti kehidupan bangsa hampir dua tahun terakhir. Di tengah suasana tersebut, hukum ”berayun” menjaga keseimbangan dari satu pendulum ke pendulum berikutnya untuk menemukan tiga tujuan, yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Catatan paling menonjol dalam kerja-kerja penegakan hukum sepanjang tahun ini terutama terkait dengan dua isu besar, yakni pemberantasan korupsi dan perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Di samping dua isu tersebut, dorongan pencarian keadilan elektoral mengemuka pascapenyelenggaraan Pemilu 2019. Kendati hal itu bisa diselesaikan dengan damai melalui jalur Mahkamah Konstitusi, sejumlah residu dari hasil kontestasi tetap muncul.
Aksi kekerasan di depan gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), 21-23 Mei 2019, antara lain dipicu oleh hasil kontestasi. Korban meninggal sebanyak 10 orang di Jakarta, dan juga di Pontianak, Kalimantan Barat, diketahui menjadi sasaran pelaku yang diduga berasal dari kelompok orang yang terlatih dan terorganisasi Sembilan orang tertembak peluru tajam dan satu orang terkena benda tumpul.
Hasil investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunjukkan, Polri bukanlah pelaku penembakan karena polisi tidak membawa senjata api pada saat kejadian. Terkait kejadian ini, polisi terus mencari pihak-pihak yang bertanggung jawab (Kompas, 29/10/2019).
Isu hukum kembali menjadi sorotan ketika pengesahan sejumlah undang-undang dilakukan pada detik-detik akhir masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019.
Aksi mahasiswa dan pelajar pada 22-23 September 2019 antara lain menuntut agar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan dibatalkan, dan meminta RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) segera disahkan.
Aksi mahasiswa dan pelajar tersebut terjadi ketika konsolidasi politik pascakontestasi belum sepenuhnya selesai. Aksi dilakukan hanya sebulan sebelum pelantikan kandidat terpilih dalam Pemilu 2019. Oleh karena itu, tidak mudah untuk melihat peristiwa tersebut dalam nuansa yang saling berimpitan antara kepentingan hukum ataupun kaitannya dengan proses konsolidasi politik pascakontestasi yang sedang berjalan.
Betapa pun demikian, aksi itu mencerminkan kegelisahan dalam proses pemaknaan dan praktik hukum di Tanah Air, dengan teks atau norma hukum yang dihasilkan dari proses politik kerap ”mencengkeram” penegakan hukum yang cenderung berperspektif positivistik.
Perhatian terhadap teks hukum menjadi tidak kalah pentingnya dari penegakan hukum karena norma yang ditulis akan berdampak pada tujuan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum itu sendiri bagi pencari keadilan dan masyarakat luas.
Belum ideal
Dalam kaitannya dengan tujuan hukum itu sendiri, merujuk pada hasil kajian World Justice Project (WJP) yang dituangkan di dalam indeks negara hukum, tahun 2019, Indonesia belum sepenuhnya ideal dalam memenuhi prinsip-prinsip negara hukum.
Pada indeks itu, ada delapan indikator yang dinilai, yakni pembatasan kekuasaan, ketiadaan korupsi, pemerintahan yang terbuka, perlindungan HAM, ketertiban dan keamanan, penegakan hukum, peradilan sipil, dan peradilan pidana.
Delapan indikator itu diturunkan dari empat prinsip negara hukum universal, yaitu akuntabilitas pemerintahan, hukum yang adil, pemerintahan yang terbuka, serta mekanisme resolusi perselisihan (proses peradilan) yang dapat diakses dan imparsial. Indikator dinilai dari skor 0-1, dengan 1 merupakan skor terbaik, sedangkan 0 skor terburuk.
Tahun 2019, Indonesia mendapatkan skor 0,52 untuk indeks negara hukum yang dirilis WJP. Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 126 negara yang diteliti atau naik satu peringkat dari tahun sebelumnya.
Namun, untuk skor indeks negara hukum, capaian Indonesia tidak berubah. Skor indeks negara hukum Indonesia stagnan di angka 0,52. Skor terendah ialah pada indikator ketiadaan korupsi (absence of corruption). Skor Indonesia pada indeks korupsi ini hanya 0,38 atau berada di peringkat ke-97 dari 126 negara yang diteliti.
Skor rendah lainnya ialah pada peradilan sipil (civil justice) dengan angka 0,44, dan skor 0,37 untuk peradilan kriminal (criminal justice). Adapun untuk perlindungan HAM dan hak-hak sipil, skor Indonesia 0,52 atau menempati perigkat ke-82 dari 126 negara yang dikaji.
Rendahnya skor korupsi ini sejalan dengan indeks lain, seperti indeks persepsi korupsi (IPK) yang mengandalkan sembilan sumber data, yaitu dari World Economic Forum, International Country Risk Guide, Global Insight Country Risks Ratings, IMD World Competitiveness Yearbook, dan Bertelsmann Foundation Transform Index. Tahun 2016 dan 2017, IPK Indonesia stagnan pada skor 37.
Pada tahun 2018, skor itu naik tipis menjadi 38. Tahun 2019, dengan adanya perubahan terkait dengan revisi UU KPK, yang antara lain mengubah cara kerja KPK secara kelembagaan, dengan adanya dewan pengawas dan kewenangan pimpinan KPK yang berubah, angka skor itu boleh jadi tidak banyak bergeser, bahkan dikhawatirkan menurun.
Dengan UU KPK yang baru, yakni UU Nomor 19 Tahun 2019, terdapat kewenangan dewan pengawas yang antara lain memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan, maka rantai birokrasi dalam penanganan korupsi menjadi lebih panjang.
Ditambah lagi dengan status pimpinan KPK yang bukan lagi penyidik dan penuntut akan berdampak pada penandatanganan surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik), yang dulu bisa dilakukan secara kolektif kolegial oleh pimpinan, kini tidak bisa lagi secara prosedural. Sebab, penyidik KPK harus meminta legalitas itu dari atasannya yang juga berstatus penyidik.
Menyoal penafsiran
Di ranah pengadilan, sedikitnya ada 10 putusan di tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK) yang meringankan terdakwa atau terpidana korupsi. Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi membantah pemberian hukuman ringan itu merefleksikan paradigma para hakim yang bergeser dalam memandang korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Hakim tetap memutus berdasarkan fakta persidangan, dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak, baik pencari keadilan, negara, maupun masyarakat umum.
Terkait dengan putusan-putusan tersebut, independensi hakim sebagai salah satu asas yang termaktub dalam penyelesaian persoalan yang imparsial mendapatkan pertanyaan dari publik. Sebab, korupsi sebagai suatu kejahatan luar biasa memiliki karakter khusus yang berdampak luar biasa dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa bersama dengan peredaran narkotika, dan terorisme.
Independensi hakim dalam membuat keputusan, sebagaimana dimaksud oleh Anthon F Susanto dan Jajang dalam tulisan mereka di dalam buku Akuntabilitas Mahkamah Agung (2016) tak bisa dilepaskan dari cara penafsiran hakim. Hakim di Indonesia masih kerap menggunakan pendekatan positivistik yang memaknai teks atau UU secara sempit.
Kalaupun ada tujuan hukum yang hendak dicapai dan dimaknai dalam proses ini, maka tujuan hukum seperti keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, dipahami dalam kerangka berpikir yuridis sebagaimana dikehendaki oleh pembuat UU.
Padahal, setiap rumusan dalam aturan hakikatnya adalah reduksi terhadap banyak hal, nilai, norma, dan bahkan realitas itu sendiri, sekalipun pembentuk aturan berargumen tentang kalimat yang utuh dan sistematis.
Sementara itu, terkait isu HAM, dan hak-hak sipil, catatan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkap adanya 78 kasus pelanggaran dalam unjuk rasa sepanjang 2019 di seluruh Indonesia. Dari kasus itu, 51 orang tewas. Sebanyak 44 orang di antaranya tewas misterius. YLBHI memberi catatan tebal pada aksi penanganan unjuk rasa yang eksesif atau berlebihan, bahkan represif.
Penegakan hukum dan isu hukum secara umum di Tanah Air mengalami tantangan berat sepanjang tahun 2019. Namun, bukan berarti tidak ada harapan bagi upaya perbaikan. Pembahasan kembali RKUHP yang tidak jadi disahkan, tahun 2019, sedikit banyak membuka peluang bagi upaya perbaikan norma-norma yang diatur di dalamnya.