Jakarta yang Sibuk, Bodetabek yang ”Cuek”
Tahun 2019 akan selalu diingat sebagai lahirnya MRT yang melengkapi jaringan Transjakarta dan Jak-Lingko. Kini, pembangunan transportasi publik di sekitar Ibu Kota menjadi pekerjaan rumah yang butuh segera ditangani.
Tahun 2019 merupakan tahun saat Jakarta memasuki babak baru dalam hal penyediaan dan operasionalisasi layanan transportasi umum massal. Pada 24 Maret 2019, setelah menunggu 30 tahun lebih, Jakarta akhirnya memiliki angkutan umum perkotaan berbasis rel yang disebut mass rapid transit atau MRT.
Beroperasinya MRT Jakarta melengkapi sistem transportasi umum perkotaan berbasis jalan raya atau bus rapid transit (BRT) yang sudah lebih dulu hadir. BRT sebagai pembaruan dari sistem angkutan umum bus kota hadir di Jakarta pada 2004.
MRT Jakarta, meski baru sepanjang sekitar 16 km dari Lebak Bulus ke Bundaran HI, sudah memicu Pemprov DKI Jakarta berbenah. Pembenahan dilakukan pada sejumlah aspek.
Pada Oktober 2017, menjelang MRT beroperasi, rencana pelebaran trotoar Sudirman-Thamrin dicanangkan. Revitalisasi trotoar Sudirman dan sebagian Thamrin selesai pada 2019. Pelebaran dimaksudkan supaya pejalan kaki atau pengguna MRT dan BRT mudah mengakses angkutan umum.
”Itu baru strategi pertama dan baru di satu ruas jalan,” ujar Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, pada diskusi publik ”Evaluasi 9 Bulan Operasional MRT Jakarta”, Rabu (11/12/2019).
Pemprov DKI Jakarta menilai keberadaan dan beroperasinya MRT Jakarta dalam sistem transportasi di Jakarta adalah yang paling besar. Karena itu, perlu ada perubahan cara pandang penanganan transportasi umum di Jakarta supaya berkelanjutan.
Sebagai angkutan umum massal perkotaan berbasis rel, MRT Jakarta tidak bisa berdiri sendiri. MRT perlu didukung banyak hal. Salah satunya melalui perencanaan angkutan umum Jakarta yang menyeluruh dan penataan sektor pendukung.
Baca juga : Menanti Pembenahan Metromini
Strategi pertama, ujar Syafrin, adalah penataan kembali trotoar Jakarta. ”Akan ada 31 ruas jalan yang akan direvitalisasi. Makanya jangan heran kalau di seluruh Jakarta terjadi pelambatan laju kendaraan,” kata Syafrin.
Pelebaran trotroar, ujar Syafrin, memudahkan para pejalan kaki baik yang murni pejalan kaki maupun pengguna angkutan umum bermobilitas. Dengan trotoar yang lebar dan aman, pejalan kaki juga diberikan akses yang nyaman. Mereka juga bisa mengakses angkutan umum dengan gampang.
Strategi kedua untuk mendukung penggunaan angkutan umum, Dinas Perhubungan DKI lalu membangun jalur sepeda. Tahun ini sudah 63 km jalur sepeda terbangun. Namun jalur sepeda itu masih di koridor utama.
”Tahun depan polanya adalah untuk penyelesaian first dan last miles. Jadi akan kami hubungkan ke terminal, ke stasiun, ataupun halte bus yang ada di setiap kawasan. Dengan demikian, pergerakan orang dari rumah, ada fasilitas lajur sepeda, lalu kami siapkan parkirnya, dan kemudian mereka bisa gunakan sepedanya sebagai alat transportasi dan bukan sebagai alat olahraga,” kata Syafrin.
Terkait dengan dua strategi itu, yang penting lainnya menurut Syafrin adalah peningkatan kualitas dan kuantitas angkutan umum. Itu karena saat ini angka penggunaan angkutan umum di Jakarta masih rendah. Dari catatan Dinas Perhubungan, saat ini pengguna angkutan umum ada di kisaran 20-23 persen dari total perjalanan harian.
Bambang Prihartono, Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), dalam diskusi tentang pengelolaan transportasi megapolitan, menjelaskan kemacetan di Jakarta tidak bisa lepas dari perjalanan dari dan ke seluruh wilayah Jabodetabek. Karena saat ini wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sudah teraglomerasi dan menjadi satu kesatuan ekonomi disebut Jabodetabek.
Baca juga : Satu Dekade Perubahan, Segudang Perubahan Menanti di Depan
Dengan total penduduk Jabodetabek 31 juta jiwa, terdapat 24,8 juta kendaraan. Angkutan umum hanya mengisi 2 persen dari jumlah kendaraan itu. Jumlah pengguna angkutan umum pun tercatat menurun. Pada 2002 sebanyak 38 persen warga yang berkegiatan dengan angkutan umum. Pada 2019 tercatat turun menjadi 17 persen.
Itulah, jelas Syafrin, mengapa Jakarta terus mendorong penyediaan angkutan umum yang aman, nyaman, dan cepat di Jakarta. Penyediaan transportasi umum didukung dengan sistem yang terintegrasi. Saat ini untuk angkutan BRT melalui Transjakarta dengan sistem angkutan terintegrasi, sudah sebanyak 900.000 penumpang dilayani setiap hari. Sementara MRT Jakarta yang baru sembilan bulan beroperasi sekarang sudah melayani 90.000 orang per hari.
M Effendi, Direktur Operasional dan Pemeliharaam PT MRT Jakarta, dalam diskusi tersebut juga menyatakan, ada baiknya jalur sepeda dibangun di kawasan-kawasan yang banyak dilintasi para pesepeda. Antara lain di kawasan selatan, seperti Fatmawati, kawasan dengan banyak pekerja asing yang suka bersepeda ke kantor, sehingga bisa difasilitasi dengan jalur sepeda untuk kemudian naik MRT ke kantor. Ke depan, itu akan bisa menambah ridership MRT.
Namun, dengan angka perjalanan yang besar di Jakarta dan Bodetabek, Syafrin melanjutkan, tetap diperlukan kebijakan lain untuk membenahi dan mendorong penggunaan angkutan umum. Untuk itu, DKI Jakarta segera mendorong penerapan kebijakan jalan berbayar elektronik (ERP) dan penerapan tarif parkir yang tinggi.
Baca juga : Menjaga Euforia Angkutan Umum
Kedua kebijakan ini masih dalam tahap kajian sampai hari ini, agar bisa mendorong penerapan kebijakan push and pull dalam menata angkutan umum di Jakarta. ”Tahun depan akan kami implementasikan,” ujar Syafrin.
Jakarta versus kota sekitar
Saat Jakarta begitu sibuk membenahi sistem angkutan umumnya, bagaimanakah dengan pemerintah kota sekitar Jakarta? Kota Bekasi, misalnya, menata angkutan kota sambil menunggu bantuan dari Kementerian Perhubungan atau Pemprov Jawa Barat.
”Kami sudah punya Trans-Patriot. Jumlah unit ada 21. Hanya saja untuk penambahan unit, kota Bekasi menunggu bantuan dari Kementerian Perhubungan atau Provinsi Jawa Barat,” kata Rahmat Effendi, Wali Kota Bekasi, dalam pertemuan Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekpunjur di Balaikota DKI Jakarta pertengahan Desember lalu.
BPTJ seharusnya mengelola dan mengatur manajemen transportasi seluruh Jabodetabek. Yang kami lihat, BPTJ malah seperti operator, mengeluarkan produk JR Connexion dan JA Connexion. BPTJ seharusnya mengatur. (Alfred Sitorus)
Ia pun menjelaskan bahwa keberadaan Trans-Patriot sebagai transportasi umum yang bisa menjadi pilihan warga Bekasi belum maksimal dipergunakan. ”Masih membutuhkan sosialisasi,” katanya.
Untuk itu Kota Bekasi juga sampai saat ini belum menerapkan kebijakan pembatasan kendaraan. Kota Bekasi baru menata dari aspek park and ride, atau kantuog parkir bagi pengguna angkutan umum yang hendak naik Transjakarta perpanjangan ke Jakarta atau naik KRL ke Jakarta.
”Dari BKSP kami mendapat bantuan untuk membangun dua titik park and ride, yaitu di alun-alun dan di sekitar stadion,” kata Pepen, panggilan akrab Rahmat Effendi.
Alfred Sitorus dari Koalisi Pejalan Kaki menjelaskan, untuk masalah kemacetan dan penanganan transportasi di Jabodetabek memang hanya Jakarta yang sangat sibuk berbenah. Pemerintah kota dan kabupaten di sekitar Jakarta diam saja. Jakarta juga tidak bisa memberikan hibah.
”Kalau begini, sebaiknya selain ada holding perusahaan angkutan umum berbasis rel, sebaiknya juga ada holding perusahaan angkutan umum berbasis jalan,” kata Alfred.
Untuk pengaturan dan pengelolaan transportasi di Jabodetabek supaya seirama dan seimbang dengan upaya Jakarta berbenah, lanjut Alfred, juga perlu peran BPTJ.
”BPTJ seharusnya mengelola dan mengatur manajemen transportasi seluruh Jabodetabek. Yang kami lihat, BPTJ malah seperti operator, mengeluarkan produk JR Connexion dan JA Connexion. BPTJ seharusnya mengatur,” kata Alfred.
Pengaturan yang ia maksud, misalnya BPTJ membuat aturan satu ruas jalan di tol khusus untuk bus. Dengan begitu, layanan bus perpanjangan Transjakarta dari arah Bekasi atau Tangerang bisa lancar membawa penumpang tanpa terhambat kemacetan.
”Orang mau naik bus ini karena ada jaminan waktu, kenyamanan, juga kecepatan. Jaminan yang adalah daya tarik ini saja akan membuat orang meninggalkan kendaraannya dan berganti angkutan umum,” ujarnya.
Alvinsyah, pengamat transportasi dari Universitas Indonesia, menjelaskan, untuk penanganan transportasi di Jabodetabek, memang idealnya wilayah Jabodetabek menjadi satu wilayah administratif tersendiri dengan kewenangan untuk beberapa sektor penting yang terkait erat dengan tata ruang dan transportasi.
BPTJ juga bisa melakukan itu semua, tetapi statusnya ditingkatkan dengan diberikan kewengan di sektor-sektor transportasi dan tata ruang serta secara kelembagaan setingkat dengan kementerian yang berada di bawah Presiden.
Untuk penanganan transportasi di Jabodetabek, memang idealnya wilayah Jabodetabek itu menjadi satu wilayah administratif tersendiri dengan kewenangan untuk beberapa sektor penting yang terkait erat dengan tata ruang dan transportasi. (Alviansyah)
”Kalau status kelembagaannya diperkuat, siapa pun yang ditempatkan memiliki ruang untuk berbuat banyak. Tinggal kualitas dan kompetensi individunya yang akan menentukan kiprah BPTJ,” kata Alvinsyah.
Namun, lanjutnya, untuk penataan angkutan umum memang sudah saatnya dibentuk lembaga semacam Transit Authority yang bisa diinisiasi di Jakarta dan kemudian bisa diperluas ke wilayah Jabodetabek.
Kembali ke masalah penataan angkutan umum di Jakarta, Koalisi Pejalan Kaki mengingatkan, untuk fasilitas pendukung, seperti trotoar yang menghubungkan ke titik moda transportasi, belum sepenuhnya memenuhi standar.
”Ada trotoar yang lebar, nyaman, khususnya di Sudirman dan Thamrin. Tapi, lalu ada trotoar yang menyempit di ruas lainnya. Ini menyulitkan para pengguna,” kata Alfred.
Belum lagi penyediaan rak-rak sepeda di sepanjang koridor MRT di Sudirman yang ia lihat seharusnya juga dijamin sehingga pengguna angkutan umum yang bersepeda yakin sepeda yang dipergunakan sebagai angkutan awal dan akhir tetap terjaga. Adapun untuk kawasan Jakarta, ia melihat sudah saatnya ERP diterapkan.
Baca juga : Semua Stasiun Layang MRT Sediakan Parkir Sepeda Bulan Depan