Lazio kian menjelma jadi hantu menakutkan bagi Juventus, penguasa sepak bola Italia dalam satu windu terakhir. Untuk kedua kalinya musim ini, Juve dibekap Lazio 1-3, terakhir di Piala Super Italia, Senin dini hari WIB.
Oleh
Yulvianus Harjono
·5 menit baca
RIYADH, MINGGU — Akhir musim lalu, Juventus dikabarkan ingin merekrut Simone Inzaghi sebagai pelatih pengganti Massimiliano Allegri. Salah satu petinggi Juve yang merekomendasikannya adalah Pavel Nedved, mantan bintang Lazio. Namun, ketika itu, banyak pihak yang masih meragukan kapasitasnya menangani tim paling dominan di Italia itu dalam satu dekade terakhir ini.
Keraguan itu dijawab adik striker legendaris AC Milan, Filippo Inzaghi, itu dengan cara mencengangkan. Sentuhan ”ajaibnya” membuat Lazio membekap Juve 3-1 di Piala Super Italia 2019 yang digelar di Riyadh, Arab Saudi, Senin (23/12/2019) dini hari WIB. Kemenangan itu menegaskan superioritas Inzaghi dan ”I Biancocelesti”, julukan Lazio, atas Juve akhir-akhir ini.
”Kami telah melakukan hal yang magis. Dalam waktu kurang dari dua pekan, kami dua kali mengalahkan Juve. Ini menakjubkan. Ini adalah kemenangan laik dari tim kuat yang selalu percaya akan sebuah ide bermain,” ujar Inzaghi, pelatih yang telah lima kali mengalahkan Juve dalam kurun tiga musim terakhir.
Dua dari kemenangan Inzaghi dan Lazio atas Juve itu terjadi sepanjang musim ini. Kemenangan sebelumnya terjadi dengan skor identik, yaitu di Liga Italia pada 8 Desember lalu. Dua kekalahan telak itu menjadi tamparan keras Maurizio Sarri, pelatih baru ”Bianconeri” yang dikartu kuning pada laga di Saudi itu. Inzaghi menjadi satu-satunya pelatih yang mengalahkannya dua kali dalam waktu kurang dari dua pekan.
”Super Lazio dan Juve yang memalukan,” bunyi judul halaman utama Tuttosport, koran terbitan Turin yang selama ini dikenal sebagai media partisan Juve, mengkritik keras juara Liga Italia delapan musim beruntun itu.
Kritikan itu bisa dimaklumi. Juve kehilangan alibinya pada laga itu. Diperkuat hampir oleh para pemain terbaiknya—termasuk trisula penyerang Cristiano Ronaldo, Gonzalo Higuin, dan Paulo Dybala—sejak menit pertama, Juve kalah dalam berbagai hal dari klub ibu kota Italia itu. Mereka kalah ngotot, taktik, dan juga mentalitas.
Lazio tampil sangat percaya diri pada laga itu. Meskipun tampil di hadapan mayoritas suporter Juve yang tinggal di Saudi, para pemain mereka, seperti Senad Lulic, Luis Alberto, dan bek Luiz Felipe, berkali-kali mengecoh dan menggocek barisan pemain Juve. Gocekan maut, salah satunya oleh Lulic, itu bahkan berujung gol pembuka Lazio yang dicetak Alberto di kotak penalti Juve.
Meskipun lebih mendominasi penguasaan bola, yaitu hingga 60 persen, Juve tampak kesulitan menembus sepertiga terakhir wilayah pertahanan Lazio.
Peluang-peluang gol mereka lebih banyak dihasilkan dari luar area kotak penalti, termasuk gol dari Dybala yang memanfaatkan bola muntah hasil tendangan Ronaldo menjelang turun minum. Kesulitan Juve itu tidak terlepas dari disiplinnya Lazio dalam menjaga teritorial bertahannya.
Sebaliknya, Lazio—yang kerap mengandalkan transisi dalam melancarkan serangan cepat—tampil lebih efesien dan efektif di kotak penalti Juve. Mereka mampu membuat empat peluang emas gol, tiga di antaranya berujung gol.
Pada laga itu, Lazio memang seolah tengah mengajari Juve cara membuat gol yang efektif. Itu ditunjukkan melalui gol penutup mereka yang dicetak lewat tendangan bebas indah pemain pengganti Danilo Cataldi pada menit terakhir laga itu.
Sebelum gol itu tercipta, Juve sebetulnya berpeluang mencetak dua gol lainnya melalui keahlian khas Dybala, yaitu tendangan bebas tidak jauh dari garis kotak penalti. Namun, kedua peluang itu gagal dioptimalkan Dybala.
Miralem Pjanic, gelandang Juve, membantah timnya tampil buruk karena terlalu kenyang gelar domestik di Italia. Dalam satu windu terakhir, mereka telah meraup 16 trofi domestik.
”Sangat disesalkan kami kalah. Padahal, kami sungguh ingin memenangi trofi ini. Secara umum, itu bukan penampilan terbaik kami. Ada beberapa hal yang harus ditingkatkan, antara lain harus bisa lebih solid di belakang agar lebih mampu mengontrol lapangan,” ujarnya
Akibat kekalahan itu, rekor Juve lainnya pun tercoreng. Mereka kini telah kalah tiga kali dari Lazio dalam lima pertemuan di Piala Super Italia. Dua kekalahan itu diderita dalam tiga tahun terakhir.
Sebaliknya, raihan trofi itu melambungkan nama Lazio. Mereka kini tercatat sebagai tim dengan tingkat kesuksesan tertinggi kedua, yaitu setelah AC Milan, di laga yang mempertemukan kampiun Liga Italia dengan Copa Italia itu.
Ronaldo membumi
Dari delapan kali penampilannya di Piala Super Italia, Lazio menang lima kali. Dengan kata lain, tingkat kesuksesannya meraih trofi itu adalah 62 persen. Mereka melewati pencapaian Juve yang menorehkan tingkat kesuksesan hanya 53 persen. Meskipun demikian, jumlah trofi Juve lebih banyak, yaitu delapan trofi. Adapun Milan telah mengemas tujuh trofi dari 11 kali penampilan di Piala Super.
Rekor lain yang tidak kalah menarik adalah terkait kiprah Ronaldo. Sempat disanjung setinggi langit seusai mencetak gol ”terbang”—yaitu melalui sundulan kepala setinggi 2,56 meter atau melebihi jangkauan tangan rata-rata pemain basket NBA di laga kontra Sampdoria akhir pekan lalu—Ronaldo kembali membumi. Ia tidak mampu mencetak gol dan bahkan kesulitan melewati bek-bek tengah Lazio.
Kekalahan 1-3 itu memutus rekornya yang sangat menawan, yaitu selalu menang, baik di level klub maupun tim nasional (bersama Portugal), dalam 12 final terakhirnya secara beruntun.
Kekalahan terakhirnya sebelum laga di Riyadh itu adalah pada 17 Mei 2013. Ketika itu, timnya, Real Madrid, dibekap rival tetangganya, Atletico Madrid, 1-2, di final Copa del Rey alias Piala Raja Spanyol.
Tak heran, Ronaldo tampak melongo dengan muka memerah ketika menyaksikan para pemain dan ofisial Lazio tumpah ke lapangan dan bersorak girang seusai wasit meniup peluit panjang pada laga itu. ”Wajar saja. Dia sudah lama tidak merasakan kekalahan di final,” tulis Football-Italia. (AFP)