Menjaga Euforia Angkutan Umum
Aneka terobosan dilakukan Jakarta sepanjang tahun 2019 untuk merayu warganya, serta para pekerja komuter, agar meninggalkan kendaraan pribadi dan memakai angkutan umum. Terobosan ini perlu berlanjut di tahun depan.
Kalau ada kegembiraan warga menyambut angkutan umum tahun ini, salah satunya pasti karena MRT beroperasi. Jalur sepanjang 16 kilometer itu menyedot perhatian warga sejak awal beroperasi 24 Maret lalu. Hingga tahun akan berganti, saban akhir pekan, euforia warga itu masih terasa.
Kegembiraan warga menyambut lahirnya angkutan umum massal tentu sah-sah saja. Suasana serupa juga terasa ketika LRT beroperasi, begitu juga saat bus tingkat wisata mengaspal tahun 2014.
Sebelumnya, sejak 1978 hingga pertengahan tahun 1990-an, Jakarta sebenarnya punya bus kota yang dioperasikan PPD. Namun, karena alasan keterbatasan suku cadang dan kasus bus terbakar, bus tingkat ini dihapus bertahap sejak 1991. Munculnya bus tingkat wisata seakan mengembalikan memori warga Jakarta. Apalagi, sampai 2019, layanan ini masih tersedia gratis.
Baca juga : Satu Dekade Perubahan, Segudang Perubahan Menanti di Depan
Baca juga : Menanti Pembenahan Metromini
Saat bus kota dengan penyejuk ruangan (AC) pertama beroperasi tahun 1990-an, warga kota juga bersemangat menyambutnya. Kini, AC seperti menjadi syarat wajib bagi angkutan umum.
Pelan tapi pasti, operator yang bergabung di bawah PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) juga mulai mengoperasikan armada dengan pengusir hawa panas ini. Beberapa mikrobus dalam sistem Jak-Lingko juga memakai armada bernyejuk ruangan. Dengan peningkatan fasilitas itu, hingga tahun ini, penumpang yang memakai mikrobus berlogo Jak-Lingko tidak ditarik biaya.
Setelah perhelatan Asian Games 2018, Transjakarta juga mengoperasikan Metrotrans. Bus berwarna oranye dengan lantai rendah ini semula melayani hilir-mudik atlet dan ofisial. Kini, bus dipakai untuk penumpang yang naik-turun di halte sisi kiri.
Penumpang tidak perlu menyeberangi jalan atau naik jembatan penyeberangan orang (JPO) yang tinggi untuk mencapai halte bus di 13 koridor. Sayangnya, layanan Metrotrans ini tidak terkoneksi dengan 13 koridor Transjakarta. Selain itu, di hampir seluruh rute, penumpang yang berganti rute Metrotrans juga harus membayar lagi.
Bergabungnya operator bus sedang seperti Kopaja dan Metromini sejak tahun 2017 juga membuat jejaring Transjakarta kian luas. Bus ini umumnya memiliki irisan dengan layanan 13 koridor Transjakarta sehingga memudahkan penumpang untuk berganti angkutan umum.
Meskipun rute MRT, LRT, dan sebagian besar Transjakarta ini masih berada di seputar Jakarta, ada beberapa perpotongan rute yang masuk wilayah tetangga. Layanan angkutan umum lintas provinsi ini bersama KRL komuter membantu pergerakan komuter Jabodetabek. Bahkan, sejak 2014, KRL sudah menjangkau Maja dan Rangkasbitung yang ada di Kabupaten Lebak.
Pada Oktober 2017, menjelang MRT beroperasi, rencana pelebaran trotoar Sudirman-Thamrin dicanangkan. Revitalisasi trotoar Sudirman dan sebagian Thamrin selesai pada 2019. Pelebaran trotoar juga dilakukan di banyak tempat lagi di Jakarta. Langkah ini dimaksudkan supaya pejalan kaki atau pengguna MRT dan BRT mudah mengakses angkutan umum.
”Itu baru strategi pertama dan baru di satu ruas jalan,” ujar Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, pada diskusi publik ”Evaluasi 9 Bulan Operasional MRT Jakarta”, Rabu (11/12/2019).
Baca juga : Jembatan Integrasi Stasiun LRT Pulomas dan Halte Transjakarta Dibangun 2020
Baca juga : Rute Baru Integrasi LRT-Transjakarta
Namun, pembangunan infrastruktur transportasi publik ini bukannya tanpa pamrih. Di sebagian lokasi proyek trotoar, pejalan kaki terpaksa bersusah payah berjalan di tengah pembongkaran trotoar ini. Ratusan batang pohon juga ditebang untuk berbagai proyek transportasi publik seperti MRT dan trotoar.
Strategi kedua, kata Syafrin, Dinas Perhubungan DKI membangun jalur sepeda. Tahun ini sudah 63 kilometer jalur sepeda terbangun. Namun, jalur sepeda itu masih di koridor utama. Panjang jalur sepeda juga direncanakan bertambah menjadi 500 kilometer pada 2030.
Baca juga : Transjakarta Siapkan Rak Sepeda di Bus Royaltrans
Mengejar target
Terobosan-terobosan ini merupakan upaya Jakarta merayu warganya serta para pekerja komuter untuk meninggalkan kendaraan pribadi dan memakai angkutan umum. Dari catatan Dinas Perhubungan, saat ini pengguna angkutan umum ada di kisaran 20-23 persen dari total perjalanan harian.
Bambang Prihartono, Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), dalam diskusi tentang pengelolaan transportasi megapolitan menjelaskan kemacetan di Jakarta tidak bisa lepas dari perjalanan dari dan ke seluruh wilayah Jabodetabek. Sebab, saat ini wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sudah teraglomerasi dan menjadi satu kesatuan ekonomi yang disebut Jabodetabek.
Dengan total penduduk Jabodetabek 31 juta jiwa, terdapat 24,8 juta kendaraan. Angkutan umum hanya mengisi 2 persen dari jumlah kendaraan itu. Jumlah pengguna angkutan umum pun tercatat menurun. Pada 2002 sebanyak 38 persen warga yang berkegiatan dengan angkutan umum. Pada 2019 tercatat turun menjadi 17 persen.
Adapun BPTJ menargetkan 60 persen perjalanan warga difasilitasi dengan angkutan umum pada tahun 2030.
Tentu mencapai target itu bukanlah perkara mudah. Banyak detail persoalan yang mesti dibenahi demi memudahkan perjalanan warga.
”Tahun depan polanya adalah untuk penyelesaian first dan last miles. Akan kami hubungkan ke terminal, ke stasiun, ataupun halte bus yang ada di setiap kawasan sehingga pergerakan orang dari rumah, ada fasilitas lajur sepeda. Lalu kami siapkan parkirnya agar mereka bisa gunakan sepeda sebagai alat transportasi dan bukan sebagai alat olahraga,” kata Syafrin menjelaskan fokus tahun 2020.
M Effendi, Direktur Operasional dan Pemeliharaan PT MRT Jakarta, dalam sebuah diskusi menyatakan, ada baiknya jalur sepeda dibangun di kawasan-kawasan yang banyak dilintasi para pesepeda, di antaranya di Fatmawati, Jakarta Selatan, yang menjadi salah satu tempat hunian banyak pekerja asing.
Mereka umumnya suka bersepeda ke kantor sehingga bisa difasilitasi dengan jalur sepeda, dan bisa berlanjut naik MRT ke kantor. Keterhubungan ini berpotensi menambah jumlah penumpang MRT.
Kebijakan sementara berupa perluasan ganjil-genap juga mesti disikapi dengan kebijakan yang lebih permanen, yakni jalan berbayar (electronic road pricing/ERP) dan penetapan tarif parkir yang tinggi.
”Tahun depan akan kami implementasikan (ERP dan tarif parkir),” kata Syafrin.
Alfred Sitorus dari Koalisi Pejalan Kaki berpendapat, fasilitas pendukung seperti trotoar yang menghubungkan ke titik moda transportasi belum sepenuhnya memenuhi standar. ”Ada trotoar yang lebar, nyaman, khususnya di Sudirman dan Thamrin, tapi ada trotoar yang menyempit di ruas lainnya. Ini menyulitkan para pengguna,” ujarnya.
Padahal, pengguna angkutan umum bakal mengakses trotoar sejak keluar rumah hingga tiba di tujuan.
Ada baiknya jalur sepeda dibangun di kawasan-kawasan yang banyak dilintasi para pesepeda, di antaranya di Fatmawati, Jakarta Selatan, yang menjadi salah satu tempat hunian banyak pekerja asing.
Terkait jalur sepeda, kata Alfred, perlu dilengkapi dengan penyediaan rak-rak sepeda di sepanjang koridor MRT. Rak sepeda ini juga mesti dijamin keamanannya sehingga pengguna angkutan umum yang bersepeda yakin sepeda yang dipergunakan sebagai angkutan pengumpan ini tetap terjaga.
Soal parkir, keberadaan area park and ride di simpul-simpul masuk Jakarta juga perlu diperhatikan, baik dari sisi kapasitas maupun keamanannya. Dengan begitu, para komuter bisa mengakses halte atau stasiun secara mudah hingga tiba di Jakarta.
Baca juga : Semua Stasiun Layang MRT Sediakan Parkir Sepeda Bulan Depan
Vini, pengguna angkutan umum, mengaku merasakan adanya perbaikan pelayanan angkutan umum. Di sisi lain, pembenahan masih perlu terus dilakukan, salah satunya perluasan halte-halte Transjakarta seiring pertambahan jumlah penumpang.
”Halte Adam Malik di Koridor 13, misalnya, sangat nyaman untuk menunggu bus Transjakarta pada masa awal beroperasi. Sekarang, haltenya sudah penuh di jam sibuk,” katanya.
Kualitas angkutan umum memang perlu terus ditingkatkan demi memudahkan penumpangnya sekaligus menjaga euforia orang memakai angkutan umum. Kalau tidak, kini bukan hanya kendaraan pribadi yang memberikan kenyamanan, melainkan juga ojek yang kian meruyak.