Era Revolusi Industri 4.0 memberi dampak luas bagi pengelolaan organisasi, termasuk pemerintahan, sehingga pembangunan gedung arsip baru jadi tak relevan lagi. Namun, transisi menuju arsip digital harus disiapkan betul.
Oleh
Dyah Safitri
·4 menit baca
Era Revolusi Industri 4.0 memberi dampak luas bagi pengelolaan organisasi, termasuk pemerintahan. Ketika Kompas.com menurunkan artikel tentang langkah Kementerian BUMN yang akan mencoret anggaran pembangunan gedung arsip dan digantikan anggarannya untuk peremajaan gedung dan pembangunan creative workspace, sebagian masyarakat bertanya-tanya apakah arsip tak lagi penting bagi sebuah organisasi.
Menteri BUMN Erick Thohir membeberkan alasan, saat ini era iCloud (komputasi awan) dan ibu kota baru bakal terwujud sehingga pembangunan gedung arsip baru jadi tak relevan lagi.
Di satu sisi, alasan itu dapat dilihat sebagai kebijakan masuk akal sebagai langkah efisiensi. Namun, di sisi lain, hal itu memperlihatkan bagaimana pemangku kepentingan memandang arsip di dalam sebuah organisasi.
Indonesia sudah memiliki UU Kearsipan Nomor 43 Tahun 2009 yang memandu dengan jelas pengelolaan arsip kementerian/lembaga negara. Di beleid itu bentuk corak dokumen arsip mulai dari arsip tekstual, audio visual, kartografis, hingga arsip elektronik harus memiliki karakteristik otentik, kredibel, sah dan utuh sehingga dapat jadi acuan penting dalam mendukung aktivitas organisasi. Artinya, arsip di sebuah organisasi, apa pun bentuknya, mestinya terlindungi oleh aspek hukum itu.
Persoalan digitalisasi arsip, apakah itu sejak dari penciptaan sudah digital (born-digital) ataupun mengubah arsip tercetak jadi digital (digitize records) memang sebuah keniscayaan yang tak bisa ditolak bagi pengelola arsip. Dengan demikian, sejak awal strategi yang tepat dan efektif harus dirancang dalam menerapkan arsip digital.
Beberapa persoalan mendasar harus diselesaikan lebih dulu, seperti arsip dinamis untuk kelancaran aktivitas organisasi, apakah harus langsung alih media menjadi digital atau masih perlu menyimpannya di lokasi tertentu. Tentu ada konsekuensi dari pilihan yang dilakukan.
Kalau alih media, berapa biaya dan berapa target alih media yang harus dicapai. Apakah juga perlu memprioritaskan digitalisasi arsip sebatas arsip dinamis atau menyangkut semua arsip yang dihasilkan organisasi. Kalau tak alih media, apakah perlu ruangan lagi untuk menyimpan arsip itu.
Beberapa persoalan mendasar harus diselesaikan lebih dulu, seperti arsip dinamis untuk kelancaran aktivitas organisasi, apakah harus langsung alih media menjadi digital atau masih perlu menyimpannya di lokasi tertentu.
Ketika pilihannya adalah memusnahkan arsip, hal itu tak semudah membalik tangan karena ada konsekuensi, arsip bisa dimusnahkan sesuai masa penyimpanannya atau masa retensinya. Memusnahkan tak sesuai masa retensi berarti akan menghadapi masalah di kemudian hari.
Masalah lain menyangkut hubungan antarorganisasi. Dapat dibayangkan jika satu organisasi sudah menerapkan digitalisasi, sementara mitra atau lembaga lain masih berbasis kertas. Keruwetan akan terjadi jika keduanya saling berhubungan.
Pilihannya biasanya menggunakan wahana digital untuk internal, tapi saat interaksi antarlembaga memakai sebaliknya. Tentu idealnya semua organisasi punya kemampuan dan standardisasi digital sehingga interaksi antarlembaga bisa berlangsung lebih cepat dan efisien.
Dari sisi aturan hukum, Indonesia sudah melangkah ke depan dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 sebagai perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Perpres Nomor 95 Tahun 2018 tentang sistem pemerintahan berbasis elektronik, termasuk tanda tangan digital sudah diakui sebagai bukti hukum.
Akan tetapi, masih perlu aturan pelaksanaan dalam pengelolaan arsip digital, seperti perlindungan, pemanfaatan, hingga kewenangan akses dan keamanan arsip digital itu.
Dengan aturan yang komplet, semua kebijakan terkait arsip digital akan terlindung dari persoalan hukum.
Terlebih dalam soal digital, sejumlah risiko seperti penyusupan hingga mengubah materi digital bisa terjadi.
Transisi ke digital
Yeo (2018) dalam buku Records, Information, and Data menjelaskan pergeseran dari proses pengelolaan record dan arsip dari analog ke digital memang jadi kecenderungan pada abad ke-21. Metode baru juga akan terus ditemukan dalam mengakses dan membagi dokumen arsip sehingga menjadi tantangan baru bagi pengelola arsip.
Record dan arsip digital memang memiliki interpretasi informasi yang cair dengan skala sangat luas. Arsip digital adalah pekerjaan panjang yang sistematis dan harus disiapkan dengan tekun agar kian efisien dan hasilnya memuaskan. Ini pekerjaan rumah besar bagi pengelola record dan arsip dalam menerapkan arsip digital.
Arsip digital adalah pekerjaan panjang yang sistematis dan harus disiapkan dengan tekun agar kian efisien dan hasilnya memuaskan. Ini pekerjaan rumah besar bagi pengelola record dan arsip dalam menerapkan arsip digital.
Transisi menuju arsip digital harus memperhatikan betul kesiapan tiap-tiap organisasi serta pilihan strategi pengelolaan arsip digital akan seperti apa. Strategi ini bisa bervariasi dan tak dapat dibuat seragam karena masing-masing memiliki kekhasan, seperti fungsi dan struktur organisasi yang berbeda.
Sistem informasi kearsipan yang dikembangkan Arsip Nasional Republik Indonesia sebagai penyelenggara arsip tingkat nasional dan pembina kearsipan nasional dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pengelolaan arsip digital.
(Dyah Safitri, Ketua Program Studi Manajemen Rekod dan Arsip Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia)