Manchester United menjalani musim Liga Inggris terburuknya dalam tiga dekade seusai dipermalukan tim juru kunci, Watford, 0-2, Minggu malam. Desakan terhadap Manajer Ole Gunnar Solskjaer untuk mundur pun kembali menguat.
Oleh
Yulvianus Harjono
·6 menit baca
WATFORD, MINGGU — Hingga awal dekade ini, Manchester United adalah tim paling ditakuti di Liga Inggris. Tidak heran, mereka dijuluki ”Setan Merah”. Tim yang buas itu menjadi kian beringas apabila manajernya saat itu, Sir Alex Ferguson, mulai menunjukkan wajah memerah menahan kegeraman jika MU tampil kurang baik di pertengahan laga.
Menjelang Ferguson pensiun, Mei 2013, MU berdiri gagah di puncak klasemen akhir Liga Inggris dengan keunggulan masif, yaitu 11 poin dari Manchester City. Setan Merah menjadi juara Liga Inggris yang sulit ditandingi lawan-lawan lainnya, termasuk tim tetangganya itu.
”Ferguson sangatlah menakutkan, bahkan sampai sekarang. Dia memiliki kemampuan muncul mendadak di depan rumahmu dan menghabisimu (dengan omelan). Jangan sekali-kali kamu membuat dia marah. Itu bakal tidak kamu lupakan,” ujar Ryan Giggs, mantan pemain MU, mengenai ”gurunya” itu seperti dikutip Sportskeeda beberapa waktu lalu.
Enam tahun berlalu, MU menjelma menjadi tim yang sangat berbeda. Warna merah kostum MU tidak lagi disegani tim-tim lawan, bahkan sekalipun para penghuni zona degradasi di Liga Inggris. Seperti di laga kontra Watford, Minggu (22/11/2019) malam, para pemain MU justru dipaksa pulang dari Stadion Vicarage Road dengan muka memerah. Namun, kali ini menahan malu.
MU dibekap 0-2 oleh tim juru kunci Liga Inggris yang sebelumnya tidak bisa menang di lima laga Liga Inggris beruntun. Ironisnya pula, kekalahan MU itu berawal dari blunder David De Gea, kiper yang dahulu sempat dielu-elukan, dalam mengantisipasi bola hasil tendangan lemah penyerang Watford Ismaila Sarr.
Sudah begitu, Aaron Wan-Bissaka, bek sayap MU yang biasanya bisa diandalkan, ceroboh melanggar lawan yang berujung penalti bagi tim tuan rumah.
Kekalahan itu kian menegaskan ambigu performa MU pada musim ini. Mereka bak karakter ”Two Face” rekaan DC Comics. Dalam sejumlah laga, mereka mematahkan prediksi dan membuat kejutan dengan menahan Liverpool serta membekap rival-rival beratnya seperti Chelsea, Tottenham Hotspur, dan Manchester City. Namun, di laga-laga lainnya, mereka justru bertekuk lutut dari tim-tim yang di atas kertas jauh lebih lemah dari mereka.
Sepanjang musim ini, mereka kerap dipermalukan banyak tim papan tengah dan bawah, seperti Crystal Palace, Bournemouth, Newcastle United, dan West Ham United. Selain itu, mereka juga tidak mampu menang atas penghuni zona degradasi lainnya, yaitu Aston Villa.
Inkonsistensi itu membuat mereka kini tertahan di peringkat kedelapan klasemen sementara Liga Inggris dengan 25 poin dari 18 laga yang telah dijalani.
Koleksi poin MU itu adalah yang terendah dalam tiga dekade, yaitu ketika Liverpool terakhir kali menjuarai Liga Inggris pada musim 1989-1990. Jumlah poin MU itu bahkan lebih buruk dari capaian ketika terpuruk bersama mantan manajernya, Jose Mourinho, musim lalu. Ia lantas dipecat MU tepat setahun lalu dan kini melatih Spurs.
”Anda harus mengerahkan segala upaya untuk meraih setiap poin di medan laga. Hari ini kami memang tidak laik mendapatkannya. Kami bermain terlalu lambat dan kebobolan dari dua peluang gol yang mereka buat,” ungkap Manajer MU Ole Gunnar Solskjaer mengakui penampilan buruk timnya.
Tim-tim papan bawah, yang kerap bermain pasif dan menumpuk para pemain di lini bertahan, memang menjadi momok bagi Setan Merah sejak diasuh Solskjaer. Mantan penyerang MU itu selama ini memang lebih banyak memainkan pola lugas, yaitu menyerang balik cepat dengan mengoptimalkan kecepatan para penyerangnya, seperti Marcus Rashford dan Anthony Martial.
Taktik itu memang cukup ampuh menghadapi lawan-lawan besar seperti City dan Chelsea yang memang menyukai pakem ofensif, penguasaan bola, dan garis pertahanan tinggi. Sebaliknya, itu tidak efektif saat menghadapi lawan-lawan macam Watford yang pragmatis dan enggan terpancing serangan balik MU.
”Kami harus bisa tampil lebih baik menghadapi tim-tim papan bawah dengan pertahanan lebih ke dalam ini,” ujar Harry Maguire, bek sekaligus kapten MU, seusai laga itu.
Kembalinya Pogba
Salah satu masalah terbesar MU adalah ketiadaan pemain kreatif yang bisa memecah kebuntuan dari situasi pertahanan menumpuk di kotak penalti lawan.
Kembalinya Paul Pogba, setelah absen tiga bulan akibat cedera pergelangan kaki, tidak banyak membantu di laga itu. Masalahnya, ia baru dimainkan di pertengahan laga untuk menggantikan Jesse Lingard. Saat itu MU sudah telanjur tertinggal 0-2.
Kekalahan memalukan itu membuat para suporter MU berang. Mereka ramai-ramai menuntut Solskjaer mundur sebagai manajer. Salah satu pendukung MU, Gabriel, berkata, Solskjaer ibarat badut yang mencoba membuat lelucon tidak lucu.
”Poin terendah di titik ini dalam beberapa musim terakhir. Sungguh menjijikkan. Ole harus pergi,” kicau Richy, suporter MU lainnya, lewat Twitter.
Meskipun demikian, belum ada tanda-tanda dari pemilik ataupun petinggi MU untuk merespons tuntutan para penggemarnya itu.
Langkah ini berbeda dengan yang dilakukan klub-klub di Liga Inggris lainnya, seperti Arsenal, Spurs dan Everton, yang telah memecat manajernya. Arsenal mengangkat mantan pemainnya, Mikel Arteta, sebagai manajer barunya. Adapun Everton merekrut Carlo Ancelotti, pelatih kaya pengalaman asal Italia.
Efek Lampard
Pada laga lainnya, Mourinho harus mengakui keunggulan yuniornya yang juga mantan anak asuhnya, Frank Lampard. Tim yang saat ini dia latih, Spurs, dibekap Chelsea 0-2 di kandang sendiri, Senin dini hari WIB.
Kekalahan itu menegaskan rekor buruk Mourinho atas Lampard. Dalam dua kali duel kedua manajer, Mourinho selalu kalah. Kekalahan sebelumnya dideritanya di laga Piala Liga Inggris musim lalu, saat Mourinho melatih MU dan Lampard memimpin Crystal Palace.
Tidak kalah ironisnya bagi Mourinho, kedua gol Chelsea dicetak Willian, pemain yang dulu diorbitkannya.
Rasisme
Namun, kegembiraan Lampard diusik tindakan rasis penonton. Kali ini yang menjadi korban adalah bek Chelsea, Antonio Rudiger, yang diteriaki kata-kata ”monyet”.
Lampard pun berang dan menuntut otoritas terkait menindak tegas pelaku. ”Masalah ini harus direspons keras, tidak peduli di stadion mana itu terjadi,” ujarnya.
Kasus rasisme ini direspons oleh Asosiasi Pesepak Bola Profesional (PFA) Inggris. Mereka bahkan meminta pemerintah melakukan penyelidikan rasisme dalam sepak bola.
PFA pun akan melakukan investigasi mendalam, juga menuntut Spurs untuk ”mengambil tindakan sekeras mungkin” terhadap perilaku rasis ini.
”Kami jijik dan kecewa bahwa sekali lagi pertandingan Liga Inggris dinodai oleh pelecehan dari tribune (penonton) terhadap para pemain,” tegas PFA.
Sejumlah pelatih klub juga memberikan dukungan untuk penyelidikan guna mencegah perilaku rasisme berkembang.
”Ini masalah di mana-mana. Saya bertengkar besar tahun lalu di Italia saat Kalidou Koulibaly (bek Napoli) dilecehkan di dalam stadion di Milan. Kita harus kuat,” kata Ancelotti dikutip BBC, kemarin.
”Sepak bola tidak bisa membiarkan orang melecehkan orang lain. Setiap federasi di dunia harus kuat melawan ini,” ujar Ancelotti.
Pelatih Newcastle United Steve Bruce bahkan menuntut suporter yang bersalah dilarang masuk stadion seumur hidup. Ia juga menilai ini masalah serius dalam masyarakat. (AFP)