Perayaan Natal 2019 yang mengambil tema kebersamaan menjadi momentum untuk memperkuat persatuan dan kualitas hidup bersama sebagai bangsa Indonesia.
Oleh
Haris Firdaus/Al Fajri/Stafanus Ato
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Dalam beberapa tahun terakhir muncul sejumlah tantangan dalam merawat kehidupan bersama di Tanah Air. Jurang pemisah di antara sesama anak bangsa ditengarai melebar.
Terkait hal itu, perayaan Natal 2019 menjadi momentum bagi umat Kristiani untuk lebih berperan dalam mempererat ikatan persaudaraan antarsesama anak bangsa. Natal menjadi momentum untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kehidupan bersama yang dipenuhi kedamaian, persaudaraan, dan keharmonisan.
”Kita harus menciptakan kehidupan bersama demi Indonesia maju,” kata Uskup Agung Semarang Mgr Robertus Rubiyatmoko seusai bertemu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengku Buwono X, Senin (23/12/2019), di Kantor Gubernur DIY, Kota Yogyakarta.
Rubiyatmoko menjelaskan, pada perayaan Natal tahun ini umat Katolik dan Kristen memiliki tema bersama, yakni ”Hiduplah sebagai Sahabat bagi Semua Orang”. Tema tersebut memiliki makna agar umat Kristiani menjadi sahabat untuk orang-orang di sekitarnya. Tema itu juga bermakna agar umat Kristiani bisa berkontribusi mewujudkan kehidupan yang damai dan harmonis.
Secara terpisah, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom memaknai tema Natal 2019 sebagai respons gereja terhadap tata pergaulan manusia yang secara global kian mementingkan diri sendiri dan kelompok.
Ada kecenderungan umat manusia saat ini menjadi eksklusif dan menegasi kelompok lain. Hal itu memacu manusia untuk saling berkontestasi dan berkompetisi di ruang publik.
Di sisi lain, manusia melupakan ruang untuk saling berbagi. ”Jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin terjadi konflik dan pertentangan,” kata Gultom.
Atas dasar itulah, gereja mengajak umatnya untuk menjadi sahabat bagi sesama, dalam arti memilih mendengarkan ketimbang didengarkan, lebih mengutamakan ketimbang ingin diutamakan, dan lebih memperhatikan ketimbang ingin diperhatikan.
Selain kepada sesama manusia, katanya, umat Kristiani juga diminta untuk bersahabat dengan alam. Manusia sudah keterlaluan mengeksploitasi alam. Alam harus diperlakukan sebagai sahabat, bukan semata-mata obyek untuk mengeruk keuntungan ekonomi.
Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo mengatakan, ada tiga faktor utama yang kian mengancam persaudaraan, yaitu ujaran kebencian, intoleransi, dan politik identitas. Tiga faktor itu membuat jurang pemisah di antara sesama anak bangsa kian melebar dan mengikis kesadaran untuk hidup bersama sebagai sahabat.
Deklarasi Abu Dhabi
Rubiyatmoko menuturkan, tema perayaan Natal 2019 sesuai dengan Deklarasi Abu Dhabi yang ditandatangani pemimpin Gereja Katolik Roma Paus Fransiskus, serta Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb, di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 4 Februari 2019.
Deklarasi Abu Dhabi merupakan dokumen bersejarah tentang persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia dan hidup berdampingan guna menangkal radikalisme dan terorisme.
”Deklarasi Abu Dhabi yang ditandatangani Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar itu mengajak kita semua untuk sungguh- sungguh mengupayakan kehidupan bersama yang damai, rukun, dan semua menjadi saudara,” ungkap Rubiyatmoko.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menjelaskan, dalam konteks kebangsaan, Natal adalah peribadatan untuk meraih damai dan menebarkan kedamaian bagi bangsa Indonesia.
”Sesuai dengan Pancasila dan Konstitusi 1945, negara berkewajiban memberikan kebebasan dan menjamin agar umat Kristiani dapat merayakan Natal dengan khidmat,” katanya.
Toleransi antarumat beragama adalah keniscayaan.
Dia menambahkan, bangsa Indonesia hendaknya senantiasa memelihara toleransi, saling menghormati, dan bekerja sama di antara umat beragama. ”Kerukunan umat beragama perlu diwujudkan dalam setiap aspek kehidupan sosial-kebangsaan, termasuk dalam perayaan Natal,” katanya.
Sultan Hamengku Buwono X berharap perayaan Natal bisa menjadi kesempatan bagi semua pihak untuk melakukan perbaikan dalam berbagai aspek, misalnya hubungan kebersamaan, politik, dan kesejahteraan. Masyarakat Indonesia, katanya lagi, menganut berbagai macam agama dan kepercayaan. Untuk itu, toleransi antarumat beragama adalah keniscayaan.