Semangat enkulturasi bisa mewujud dalam berbagai bentuk. Enkulturasi dapat muncul dalam bangunan gereja yang dibangun dengan arsitektur tradisional setempat.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
Semangat enkulturasi bisa mewujud dalam berbagai bentuk. Di Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, enkulturasi muncul dalam bangunan gereja yang dibangun dengan arsitektur tradisional setempat. Gereja yang dibangun dalam semangat enkulturasi dan memperlihatkan kekayaan arsitektur tradisional itu kini menjadi kebanggaan masyarakat.
Puluhan anak bermain di sekitar Gereja Katolik Paroki Beatus Dionysius di Kecamatan Sumbul, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, seusai mengikuti latihan perayaan Natal, Rabu (18/12/2019). Mereka mungkin tidak menyadari, gereja itu merupakan rumah adat Batak Pakpak terakhir yang ada saat ini.
Gereja Dionysius seluas kira-kira 10 meter x 20 meter tersebut tampak begitu indah di siang yang sejuk saat itu. Puluhan tiang kayu besar kokoh menopang dinding kayu bangunan gereja yang tebal. Nuansa tradisionalnya kian kuat dengan atap ijuk yang tebal dan ditumbuhi lumut di beberapa tempat.
Pastor Tamrin Berutu OCarm, pastor rekan di Paroki Beatus Dionysius, menapaki anak tangga gereja yang terletak sekitar 135 kilometer di selatan Kota Medan itu. Ia lalu membuka pintu gereja sehingga tampaklah keindahan bagian dalam gereja yang dibangun dalam semangat enkulturasi itu.
Tidak ada kursi di dalam gereja berkapasitas 200-250 orang itu. Hanya ada dua tikar pandan sebagai tempat duduk jemaat setiap kali mengikuti misa.
”Gereja ini satu-satunya rumah adat Pakpak yang tersisa. Bangunannya menyimpan warisan keindahan arsitektur rumah adat Batak Pakpak,” kata Tamrin.
Pembangunan gereja digagas RP Anthony Scerri OCarm, gembala Paroki Dionysius periode 1973-1982. ”Gereja ini digagas dan dibangun sejak 1973 atas keprihatinan pada kemunduran budaya Pakpak,” kata Tamrin.
Semangat melestarikan rumah adat Batak Pakpak turut menyemangati pembangunan gereja. Tim yang membangun gereja pun mencari rumah adat untuk dijadikan contoh.
Namun, mereka tidak menemukan satu pun rumah adat Pakpak yang masih utuh. Mereka akhirnya mengacu pada rumah adat yang tersisa di sejumlah desa.
Gereja pun lalu dibangun dengan menggunakan 43 ton kayu meranti batu yang diambil dari hutan di Dairi. Kayu yang keras seperti batu itu sengaja dipilih karena tahan terhadap serangga dan cuaca.
Pembangunan gereja dimulai pada 1973. Beberapa bagian tersulit, seperti pemasangan tiang utama, dinding yang miring ke arah luar, dan pemasangan ijuk di atap yang sangat curam, bisa dilaksanakan dengan baik.
Tamrin mengatakan, sejak awal pembangunannya, gereja tersebut menyatukan hampir semua unsur dalam rumah adat Batak Pakpak ke dalam arsitektur dan liturgi gereja, mulai dari patung, altar, tabernakel, salib, hingga gambar jalan salib.
Dinding depan di sisi kiri dan kanan pintu utama gereja, misalnya, masih mempertahankan dua patung dengan rupa mirip naga yang biasa ada di rumah adat Pakpak. Patung itu dibuat untuk melindungi pintu masuk dari roh jahat dan musuh.
Namun, di Gereja St Dionysius, kedua patung itu diadopsi menjadi Beatus Dionysius dan Beatus Redemptus, dua orang Karmelit yang mati martir di Aceh.
Patung Dionysius yang merupakan seorang imam diukir tetap dalam rupa naga dengan memegang salib. Sementara Redemptus yang merupakan bruder diukir dengan kedua tangan sedang berdoa. Di dinding depan juga diukir cicak yang merupakan lambang kesuburan.
Tamrin lalu menunjukkan altar berbentuk segitiga yang masih sama sejak gereja itu dibangun. Altar itu ditopang oleh tiga tiang. ”Ini adalah konsep dalihan na tolu yang menjadi falsafah hidup orang Batak,” katanya.
Gereja itu juga tidak menggunakan lukisan-lukisan gaya Eropa untuk gambar jalan salib.
Gambar jalan salib justru menyatu dengan bangunan karena diukir di tiang utama gereja, tujuh di sebelah kanan dan tujuh di kiri. Salib di dinding depan gereja juga terbuat dari kayu dengan Kristus yang diukir dengan wajah berkarakter Batak.
Jika pada rumah adat Batak bagian bawah rumah panggung biasanya digunakan sebagai kandang ternak, di gereja enkulturasi tersebut, bagian bawah gereja dibuat sebagai aula. Tanahnya diperdalam 1 meter sehingga tinggi keseluruhan aula menjadi 3 meter.
Pastor Paroki Beatus Dionysius Sumbul Gunawan Wibisono OCarm mengatakan, Gereja St Dionysius menginspirasi pembangunan sejumlah gereja enkulturasi lain, seperti Batak Toba, Karo, dan Simalungun. Namun, hanya enkulturasi Pakpak yang menggunakan kayu. Gereja lain hanya mengadopsi bentuk, tetapi bangunan dibuat dari beton.
Salah satu tantangan mempertahankan semangat inkulturasi di Gereja St Dionysius, kata Gunawan, adalah minimnya jemaat bersuku Batak Pakpak. ”Sebagian besar jemaat kami bersuku Batak Toba,” katanya.
Misa dengan bahasa daerah yang dilakukan sekali dalam sebulan pun akhirnya menggunakan bahasa Batak Toba. Padahal, menurut Pastor Tamrin, kemunduran kebudayaan Pakpak juga bisa tergambar dari semakin sedikitnya penutur bahasa Pakpak. Di daerahnya sendiri pun, masyarakat lebih banyak menggunakan bahasa Batak Toba atau bahasa Indonesia.
Freddy Mandalahi, jemaat Paroki Beatus Dionysius Sumbul, mengatakan, gereja inkulturasi tersebut menjadi kebanggaan masyarakat Pakpak. Gereja itu memperlihatkan kekayaan arsitektur Batak Pakpak. ”Jika ada yang ingin melihat rumah adat Pakpak, masih bisa melihatnya dalam wujud gereja,” ujarnya.
Gereja Beatus Dionysius pun kini menjadi penjaga terakhir warisan arsitektur rumah adat Pakpak.