Pemilihan kepala daerah yang bergulir sejak 2005 belum sepenuhnya menghasilkan pemimpin berintegritas. Tercatat hingga kini 129 kepala daerah hasil pemilihan langsung terjerat kasus korupsi.
Oleh
C Wahyu Haryo
·4 menit baca
Penangkapan sembilan kepala daerah yang terjerat tindak pidana korupsi mewarnai dinamika pemerintahan daerah sepanjang 2019. Penangkapan itu menambah panjang deretan kasus korupsi kepala daerah, mengutip data Kementerian Dalam Negeri, dalam lima tahun terakhir yang mencapai 119 kasus.
Operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Bupati Mesuji Khamami pada 23 Januari 2019 membuka lembaran kasus korupsi oleh kepala daerah pada tahun ini. Khamami tersandung kasus dugaan suap proyek pembangunan infrastruktur di Kabupaten Mesuji, Lampung, tahun 2018. Ia divonis 8 tahun penjara.
Selang tiga bulan, tepatnya 30 April 2019, giliran Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyuni Manalip terjerat kasus korupsi. Ia ditangkap tangan dalam kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa revitalisasi pasar di Talaud, Sulawesi Utara.
Penangkapan Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun, 10 Juli 2019, menjadi satu-satunya penangkapan oleh KPK pada level kepala daerah provinsi tahun ini. Ironisnya, penangkapan terjadi kurang dari dua pekan setelah Nurdin bersama bupati/wali kota di Kepri menandatangani kesepakatan pencegahan korupsi.
Nurdin yang diduga menerima suap terkait perizinan lokasi rencana reklamasi di Kepri merupakan Gubernur Kepri kedua yang terjerat kasus korupsi.
Sebelumnya, Gubernur Kepri yang pertama, Ismeth Abdullah, terjerat kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran 2004-2005. Adapun sejak KPK terbentuk pada 2004, sebanyak 21 gubernur, termasuk Nurdin, yang terjerat kasus korupsi.
Sepuluh hari setelah penangkapan Nurdin, tepatnya 20 Juli 2019, KPK menangkap Bupati Kudus Tamzil. Ia diduga menerima suap terkait pengisian jabatan di Pemerintah Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Ironisnya, Tamzil merupakan residivis kasus korupsi bantuan sarana pendidikan di Kudus pada 2004 saat ia menjabat Bupati Kudus periode 2003-2008.
Operasi tangkap tangan kepala daerah oleh KPK kembali terjadi beruntun, awal September 2019. Bupati Muara Enim Ahmad Yani ditangkap pada 2 September 2019 untuk kasus dugaan suap proyek infrastruktur di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
Sehari berselang, 3 September 2019, giliran Bupati Bengkayang Suryadman Gidot yang ditangkap KPK. Serupa Ahmad Yani, Gidot diduga menerima suap atas proyek infrastruktur di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.
Operasi tangkap tangan kepala daerah oleh KPK pada Oktober mencatat rekor terbanyak sekaligus menjadi penutup tahun ini. Tiga kepala daerah ditangkap, yakni Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara pada 6 Oktober 2019, Bupati Indramayu Supendi (14 Oktober 2019), dan terakhir Wali Kota Medan Dzulmi Eldin (16 Oktober 2019).
Baik Agung maupun Supendi terjerat kasus dugaan suap proyek infrastruktur. Sementara Dzulmi diduga menerima suap dari dinas-dinas di Pemerintah Kota Medan. Penangkapan Dzulmi juga menjadi ironi bagi Kota Medan, ibu kota Sumatera Utara.
Sejak pemilihan kepala daerah langsung digelar di Medan, wali kota yang terpilih senantiasa terjerat kasus korupsi. Dua wali kota sebelum Dzulmi, yakni Abdillah (periode 2005-2008) dan Rahudman Harahap (periode 2009-2014), terjerat kasus korupsi. Bahkan, Wakil Wali Kota Medan Ramli, yang mendampingi Abdillah, juga terjerat kasus korupsi.
Tantangan 2020
Serangkaian penangkapan kepala daerah sepanjang tahun 2019 seolah menjadi cerminan beragam modus korupsi di daerah. Mulai dari suap proyek pembangunan infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, perizinan, pengisian jabatan di pemerintahan daerah, hingga suap dari dinas-dinas di daerah.
Beragam modus itu mengonfirmasi hasil penelitian Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahun 2016. Dari hasil penelitian diketahui faktor-faktor penyebab kepala daerah melakukan korupsi antara lain monopoli kekuasaan dan diskresi kebijakan.
Kepala daerah memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam pengelolaan anggaran daerah, perekrutan pejabat daerah, pemberian izin sumber daya alam, pengadaan barang dan jasa, serta pembuatan peraturan kepala daerah. Pada saat yang sama, akuntabilitas dari kewenangan kepala daerah juga masih lemah.
Faktor penyebab lain, seperti diungkap BPKP, biaya pilkada langsung yang mahal, kurangnya kompetensi dalam pengelolaan keuangan daerah, dan kurangnya pemahaman terhadap peraturan. Dari ribuan pilkada langsung yang digelar sejak 2004, Kementerian Dalam Negeri mencatat, 434 kepala daerah dan mantan kepala daerah terjerat kasus korupsi.
Banyaknya kepala daerah hasil pemilihan langsung yang terjerat kasus korupsi sepatutnya memantik kesadaran rakyat di daerah untuk benar-benar memilih calon kepala daerah yang berintegritas. Apalagi, dengan kewenangan kepala daerah yang cukup besar dalam roda pemerintahan di daerah, turut menentukan kemajuan setempat. Kerugian besar diderita rakyat di daerah manakala kepala daerahnya korup.
Tahun 2020 sebanyak 270 daerah akan menggelar pilkada serentak pada 23 September. Daerah itu meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Pilkada 2020 bisa menjadi momentum untuk memilih pemimpin daerah yang berintegritas. Rekam jejak calon dan program inovatif yang diusung selayaknya menjadi pertimbangan utama bagi pemilih.
Namun, pilkada yang ideal masih menghadapi tantangan yang tidak mudah. Keberadaan calon berintegritas, misalnya, sebagian besar masih sangat ditentukan elite partai politik di tingkat pusat. Sementara keberadaan calon independen sebagai alternatif perekrutan politik di daerah, persyaratannya tidak mudah dipenuhi.
Tantangan lain, kontestasi yang mengusung politik identitas, baik berdasarkan suku maupun agama. Politik identitas di level daerah sangat rentan konflik karena menyentuh langsung rakyat akar rumput.
Kedewasaan rakyat menggunakan haknya dan komitmen parpol menghadirkan calon berintegritas bakal menentukan kematangan demokrasi di Nusantara.