Firli: Saya Sudah Tidak Menduduki Jabatan Struktural di Polri
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023 Firli Bahuri menegaskan dirinya tidak lagi memegang jabatan struktural di Polri.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023 Firli Bahuri menegaskan dirinya tidak lagi memegang jabatan struktural di Kepolisian Negara Republik Indonesia. Meski demikian, ia menjabat sebagai analis kebijakan utama di Badan Pemelihara Keamanan Polri yang membuat posisinya sebagai pemimpin lembaga antirasuah dinilai bermasalah secara etik dan rentan terlibat konflik kepentingan.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri saat dihubungi Kompas dari Jakarta, Rabu (25/12/2019), menjelaskan, dirinya telah dimutasi dari jabatan Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Polri menjadi Analis Kebijakan Utama Baharkam Polri. Pemindahan itu berdasarkan surat telegram Kapolri Nomor ST/3229/XII/KEP./2019 tertanggal 6 Desember 2019.
Adapun serah terima jabatan Kabaharkam dilaksanakan di Jakarta, Senin (16/12/2019). Posisi Kabaharkam Polri selanjutnya diduduki oleh Inspektur Jenderal Agus Andrianto yang sebelumnya menjabat Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatera Utara.
”Jadi, saya sudah tidak menjabat jabatan struktural sejak 19 Desember 2019. Jabatan Kabaharkam sudah dilepaskan,” kata Firli.
Menurut dia, Kabaharkam merupakan jabatan terakhir yang dia emban di Polri. Terkait posisi sebagai analis kebijakan utama, ia tak menjawab saat ditanya apakah akan mundur dari kedudukan itu.
”Saya tidak ada apa pun di Polri. Jabatan terakhir saya adalah Kabaharkam Polri dan sudah diserahkan kepada Irjen Agus Andrianto. Sekarang saya hanya fokus sebagai Ketua KPK,” ujar Firli.
Seperti diberitakan sebelumnya, Firli diangkat sebagai Kabaharkam Polri pada November 2019, sekitar sebulan sebelum pelantikannya sebagai Ketua KPK periode 2019-2023 pada Jumat (20/12/2019).
Rangkap jabatan bertentangan dengan Pasal 29 Huruf i Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Pasal itu menyebutkan, untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK harus memenuhi persyaratan, yakni melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya selama menjadi anggota KPK.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Irjen (Purn) Bekto Suprapto menilai, posisi Firli sebagai Ketua KPK sudah sejalan dengan UU KPK. Analis kebijakan utama bukan bagian dari jabatan fungsional yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2017 tentang Jabatan Fungsional Anggota Polri dan bukan pula bagian dari jabatan struktural.
Oleh karena itu, Firli dinilai tak perlu mundur dari posisinya sebagai analis kebijakan utama. ”Dalam jabatan struktural Polri, tidak dikenal Analis Kebijakan Baharkam Polri, dengan kata lain tidak punya jabatan struktural apa pun,” ujar Bekto.
Masalah etik
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, sekalipun tak tergolong dalam jabatan struktural ataupun fungsional, Firli perlu melepaskan kedudukannya sebagai analis kebijakan utama di Baharkam Polri. Sebagai pimpinan, ia semestinya terpanggil secara etik untuk tidak merangkap jabatan.
Feri menambahkan, selain UU KPK, dualisme kedudukan itu juga bertentangan dengan asas tertib penyelenggaraan negara dan profesionalitas yang tercantum dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam UU No 28/1999 disebutkan, penyelenggara tidak hanya memiliki hak, tetapi juga ada sejumlah kewajiban.
”Bagaimana mungkin menjalankan dua kewajiban secara bersamaan. Jika memang hanya satu jabatan yang aktif, kenapa keduanya harus tetap diduduki,” kata Feri.
Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, Firli tidak hanya harus melepaskan segala jabatan, tetapi juga semestinya mundur dari Polri. Secara etik, tidak tepat jika Ketua KPK diisi oleh polisi aktif.
Kurnia mengingatkan, dengan status sebagai polisi aktif, Firli rentan terjerat masalah loyalitas ganda. Hal itu juga membuka peluang konflik kepentingan ketika menangani kasus korupsi yang terkait dengan kepolisian.
”Jika tidak mau mundur dari kepolisian, semestinya sejak dulu ia fokus berkarier di sana, tidak perlu menjadi Ketua KPK,” ujarnya.