Pada perayaan Natal di Katedral Hati Tersuci Maria, umat Katolik diajak untuk melampaui sekat-sekat identitas untuk menyebarkan sukacita dan perdamaian.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
MANADO, KOMPAS — Perayaan Malam Natal, Selasa (24/12/2019), di Manado, Sulawesi Utara, berlangsung lancar dan aman. Di Katedral Hati Tersuci Maria, umat Katolik diajak melampaui sekat-sekat identitas untuk menyebarkan sukacita dan perdamaian.
Warga Manado memulai perayaan Malam Natal dengan berziarah. Makam keluarga Borgo di Kecamatan Wenang dan pekuburan Teling di Wanea padat sejak sore. Warga membersihkan, meletakkan bunga, menyalakan lilin, dan berdoa di makam sanak keluarga masing-masing.
Sejak siang, aparat keamanan dari Polda Sulut dan Kodam XIII/Merdeka telah bersiaga. Pos keamanan telah diisi oleh para personel, antara lain di muka Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) Sentrum Manado dan di halaman kantor Keuskupan Manado.
Di Katedral Hati Tersuci Maria Manado, misa Malam Natal hanya dilaksanakan pada pukul 20.00 Wita. Ribuan umat telah tiba di gereja sekitar satu jam sebelum misa dimulai. Sebagian yang tak mendapat tempat duduk di dalam dipindahkan ke tenda di samping gereja.
Misa itu dipimpin Uskup Manado Mgr Benedictus Estephanus Rolly Untu MSC didampingi tiga pastor lainnya. Berbeda denganbiasanya, misa Malam Natal dimulai dengan pembacaan adegan Natal dan maklumat kelahiran Yesus Kristus. Diadakan pula prosesi simbolis perarakan bayi Yesus ke kandang Natal.
Dalam khotbahnya, Benedictus mengatakan, esensi dari Natal adalah merayakan kelahiran Yesus Kristus. Pesta besar-besaran pun digelar untuk merayakannya, baik dengan cara ibadah, pembagian kado, maupun konser.
Namun, Benedictus mengajak umat untuk berfokus pada sosok bayi Yesus untuk memaknai Natal secara rohani. Kelahiran Yesus sebagai penyelamat manusia, yang diramalkan para nabi, justru jauh dari kemegahan. Sebaliknya, Yesus hadir sebagai sosok bayi yang lemah. Kelahirannya di sebuah kandang juga menunjukkan kesederhanaan.
”Ini bukti bahwa Allah setia kawan pada manusia yang tengah bingung, frustrasi, menderita dan putus asa. Sosok bayi Yesus menunjukkan kelemahlembutan dan kepedulian Ilahi,” katanya.
Wujud bayi Yesus juga hendak mengingatkan para pemegang kekuasaan akan kemanusiaan serta kelemahannya. Umat pun diajak untuk menerima tuntunan Tuhan, terutama dalam menjalin relasi dengan sesama.
Uskup Benediktus juga mengajak umat Katolik untuk membawa sukacita dan menjadi sahabat bagi semua orang. Ini bisa dilakukan dengan perbuatan-perbuatan baik,sekalipun kecil.
”Ini bukan hal gampang. Kalau ingin hidup sebagai sahabat bagi semua orang, kita perlu keluar dari sekat-sekat suku, agama, bahkan bangsa untuk mampu menyebarkan sukacita,” katanya.
Ini bukti bahwa Allah setia kawan pada manusia yang tengah bingung, frustrasi, menderita dan putus asa. Sosok bayi Yesus menunjukkan kelemahlembutan dan kepedulian Ilahi.
Misa selama dua jam itu berlangsung aman. Bintara pembina desa (Babinsa) Kecamatan Wenang Utara, Sersan Satu Noldy Tulung, yang telah berjaga selama tiga hari di area Katedral, mengatakan, pihaknya tidak menemukan ancaman terhadap pelaksanaan misa Malam Natal, baik di Katedral maupun ibadah di GMIM Paulus Wenang.
”Semua aman, tidak ada potensi ancaman. Kami terus berjaga di sini untuk antisipasi,” katanya.
Toleransi antarumat beragama juga tampak sepanjang misa. Pintu masuk gereja dijaga, salah satunya, oleh polisi wanita Muslim, Brigadir Polisi Dua Meily Poli. Ini adalah kali ketiga ia mengamankan perayaan umat Kristiani.
”Yang pertama saat Paskah 2018 di Gereja Santo Ignatius Manado. Kedua, saat Natal 2018 di GMIM Eben Haezer Bumi Beringin. Ketiga, di Katedral sekarang,” katanya.
Setelah misa selesai, umat yang meninggalkan gereja menjabat tangan Meily sambil tersenyum. Menurut Meily, pengamanan saat Natal sudah menjadi tugas dan kewajibannya sebagai polisi.
”Apalagi, toleransi di Sulut sangat kuat. Ini harus kita pertahankan. Saya sendiri tidak merasa melanggar akidah karena ini tugas kemanusiaan,” kata Meily.
Misa ini juga dihadiri anggota Komisi III DPR, Hillary Lasut, bersama keluarganya. Menurut Hillary, perayaan Natal di Sulut tidak hanya besar dan meriah, tetapi juga diwarnai kedamaian. Sebab, ia menilai masyarakat Sulut sangat toleran dan bisa menjadi contoh bagi warga daerah-daerah lain di Indonesia.
”Kedamaian dan sukacita Natal seharusnya bisa dirayakan di daerah mana pun, bukan di daerah yang mayoritas penduduknya Kristiani saja. Saya harap, pemerintah bisa menjamin ini,” kata Hillary.