Saling mengunjungi dan memberikan salam pada hari Natal sudah menjadi tradisi turun-temurun di Ambon. Warga setempat menyebutnya ”pi pegang tangan”.
Oleh
·4 menit baca
Saling mengunjungi dan memberikan salam pada hari Natal sudah menjadi tradisi turun-temurun di Ambon. Warga setempat menyebutnya ”pi pegang tangan”. Sebutan itu sebagai wujud dari filosofi satu rasa dan kebersamaan yang melekat dalam hidup orang Maluku.
Lagu rohani bertema Natal terdengar jelas saat La Mirun (33) melewati sebuah gang berhiaskan lampu natal yang dirangkai membentuk pohon cemara. Pemuda itu sampailah di depan rumah Petrus Oratmangun (46). Petrus yang tengah bersantai di teras langsung bangkit menyambut. Mirun yang beragama Muslim mengucapkan selamat Natal kepada sahabatnya itu. Mereka berjabat tangan.
Dari dalam rumah, istri Petrus, Helena Tiwery (45), turut menyambut. Segera saja minuman ringan dan beragam kue tersaji di teras. Setiap kali perayaan Natal, pagar rumah Petrus di kompleks perumahan Hative Kecil, Kota Ambon, Maluku, itu selalu diibuka lebar-lebar. Siapa saja boleh mampir.
Setelah menikmati makanan ringan, biasanya tamu dipersilakan menyantap berbagai jenis masakan, mulai dari sate, ketupat, hingga aneka olahan daging sapi. Agar makanan dapat dinikmati semua orang, keluarga Petrus memasak khusus. ”Yang masak makanan ini dari ibu-ibu Muslim.
Setiap tahun, kami pesan dari mereka. Insya Allah masakan ini halal dimakan untuk semua orang,” katanya. Sejak pukul 10.00 WIT hingga malam, rumah itu tak pernah sepi. Satu per satu tamu datang dan pergi, mulai dari orang per orang, keluarga, hingga kelompok. Mirun sendiri tak bisa berlama-lama. Sebab, ia masih harus mengunjungi kerabat lainnya.
”Tiap kali Natal selalu kunjungi teman-teman. Kalau tidak begitu, sepertinya ada yang kurang,” kata Mirun. Di sudut kota yang lain, Florensius Teddy (33) yang tinggal di kompleks Parigilima juga disambangi kerabat dan rekan kerjanya di kepolisian. Teddy membuka rumah sejak pukul 11.00 WIT. Makanan juga tersedia. Istri Teddy dan seorang wanita berhijab tampak sibuk melayani tamu yang silih berganti datang dan pergi.
Lebih dari enam tahun bertugas di Maluku, pria berdarah Kalimantan itu telah menyatu dengan kehidupan warga setempat. Tamu-tamu yang berkunjung kebanyakan warga lokal. Mereka telah dianggapnya sebagai keluarga. Saking dekatnya hubungan mereka, ada tamu yang tak sungkan lagi mengambil sendiri makanan di dapur. ”Mereka datang ke sini karena menganggap kami sebagai keluarga,” katanya.
Saling mengunjungi dan memberikan salam pada hari Natal sudah menjadi tradisi turun-temurun di Ambon. Warga setempat menyebutnya ”pi pegang tangan”. Sepanjang Rabu, wajah Kota Ambon begitu semarak. Warga saling berkunjung untuk mengucapkan selamat Natal. Bahkan, kemacetan pun terjadi di jalan-jalan sempit di sejumlah permukiman.
Filosofi hidup
Tokoh Muslim Maluku, Abidin Wakano, mengatakan, saling mengunjungi untuk memberikan ucapan pada hari raya besar keagamaan merupakan wujud dari filosofi hidup orang Maluku yang terkenal dengan sebutan ”ale rasa, beta rasa”. Filosofi itu berarti ikut merasakan apa yang dirasakan sesama. ”Dalam konteks Natal, maknanya saling membagi kebahagiaan kepada sesama basudara (bersaudara),” ujarnya.
Ia menuturkan, sebelum perkembangan sarana transportasi seperti saat ini, orang-orang berjalan kaki mulai dari rumah ke rumah hingga dari kampung ke kampung. Tak jarang mereka bermalam di rumah kerabat yang dikunjungi. Semacam ada rasa bersalah jika tidak sempat berkunjung. Tradisi saling mengunjungi itu diyakini membuat persaudaraan terus terjaga lintas generasi.
Baru belakangan di era media sosial dan perkembangan teknologi beredar pandangan bahwa memberikan ucapan Natal haram.
Di balik istilah basudara, katanya, tidak ada istilah haram dalam memberikan ucapan selamat Natal. ”Baru belakangan di era media sosial dan perkembangan teknologi beredar pandangan bahwa memberikan ucapan Natal haram. Masyarakat lalu terpapar dengan hal itu. Padahal, di Maluku dari dulu tidak begitu,” katanya.
Tradisi ”pi pegang tangan” bukan hanya saat Natal. Ketika Idul Fitri, umat Kristiani gantian mengunjungi umat Muslim untuk berlebaran. Mereka mengenakan pakaian pesta seperti halnya orang yang sedang merayakan Idul Fitri. Bahkan, ada yang membeli baju baru khusus dipakai saat bertamu.
Bingkai budaya
Meski pernah dilanda konflik sosial bernuansa agama beberapa waktu lalu, tradisi ”pi pegang tangan” terus terjaga. Hubungan persaudaraan dalam bingkai budaya pela gandong, yang berarti saling mengangkat satu sama lain, menjadi penjaga tradisi itu.
Uskup Diosis Amboina Mgr PC Mandagi MSC mengatakan, momentum saling bersalaman pada hari raya keagamaan seperti Natal dan Idul Fitri membuka ruang untuk saling mengunjungi. Perjumpaan semacam itu akan semakin menambah rasa saling percaya. Membangun rasa saling percaya. Di daerah bekas konflik, butuh perjumpaan yang lebih sering. ”Saya senang lihat kondisi di Maluku. Semakin lebih baik dari waktu ke waktu,” ujarnya.
Mandagi yang terlibat aktif dalam perdamaian Maluku punya pengalaman betapa kuatnya pengaruh tradisi ”pi pegang tangan”. Saat konflik masih membara, tokoh Katolik itu nekat menemui tokoh-tokoh Muslim untuk menyampaikan selamat Idul Fitri. Bagi dia, itulah salah satu cara dalam meredakan amarah kedua pihak.
Maluku kini menduduki papan atas daerah dengan indeks kerukunan tertinggi di Indonesia. ”Pi pegang tangan” mengeratkan ikatan persaudaraan sebab ”ale rasa” sama dengan ”beta rasa”. (FRANSISKUS PATI HERIN)