Kampung Sawah dan Cara Komunikasi Hidup Harmonis
Selama turun-temurun Kampung Sawah di Bekasi, Jawa Barat, dikenal akan masyarakatnya yang beragam tetapi toleran. Saling menghargai antarumat beragama telah menjadi napas dalam kehidupan sehari-hari warga di sana.
Perayaan Natal di Kampung Sawah, Kota Bekasi, Jawa Barat, berlangsung tertib dan khidmat meskipun kampung itu merupakan tempat tinggal bagi berbagai umat beragama. Kondisi itu tidak luput dari sikap masyarakat Kampung Sawah yang toleran. Saling menghargai antarumat beragama sudah menjadi napas sehari-hari warga Kampung Sawah.
Arus lalu lintas di depan Gereja Kristen Pasundan dan Gereja Katolik Santo Servatius, Rabu (25/12/2019), tersendat. Ratusan umat Katolik dan Kristen memadati dua gereja besar di Kampung Sawah. Mobil dan sepeda motor memenuhi jalan yang hanya selebar 3,5 meter tersebut.
Tidak berapa lama, sekelompok pemuda datang dari arah Masjid Al Jauhar Fisabilillah yang berada sekitar 50 meter dari gereja. Mereka kemudian ikut mengatur arus lalu lintas. Mereka berbaur dengan panitia Natal dari kedua gereja tersebut. Arus lalu lintas yang tadinya tersendat perlahan mulai lancar. Satu pemuda tampak membimbing sebuah mobil untuk parkir di halaman masjid. Mobil tersebut berhenti cukup lama di jalan karena lahan parkir gereja sudah penuh.
Sekelompok pemuda itu bergeming di depan gereja hingga kegiatan misa pagi di gereja selesai. Situasi itu merupakan potret kecil kebersamaan warga Kampung Sawah yang terpelihara selama hampir ratusan tahun lamanya. Kendati berbeda, mereka saling menjaga dan membantu.
Segitiga Gereja Kristen Pasundan, Gereja Katolik Santo Servatius, dan Masjid Al Jauhar Fisabilillah seolah menjadi pusat nilai toleran yang diresapi masyarakat dan dipraktikkan selama berabad lamanya.
Menurut Wakil Ketua Dewan Paroki Kampung Sawah, Gereja Santo Servatius, Matheus Nalih Ungin, warga Kampung Sawah sudah terbiasa hidup berbeda selama berabad-abad. Walau berbeda, mereka merasa saling memiliki karena berasal dari suku yang sama, yaitu Betawi.
Nalih mencontohkan, apabila ada seseorang yang melahirkan, semua warga akan mengucapkan selamat dan turut berbahagia. Demikian pula jika ada warga yang meninggal atau tertimpa musibah, mereka tidak segan-segan saling membantu tanpa melihat latar belakang agama masing-masing.
”Apa yang kami lakukan di Kampung Sawah tidak tertuang dalam konsep hitam putih, tetapi mengalir dalam kehidupan sehari-hari,” kata Nalih di Bekasi. Ia telah menetap di Kampung Sawah selama 55 tahun.
Warga Kampung Sawah sengaja tidak menuangkan kesepakatan hidup bersama dalam dokumen hitam di atas putih. Alasannya, apabila kesepakatan itu ditulis, justru rentan akan menemui kegagalan. Maka dari itu, warga membiarkan sikap saling percaya dan peduli itu tumbuh, kekal, dan menjadi denyut napas kehidupan warga secara alamiah.
Warga pun tidak khawatir nilai-nilai toleransi yang mereka anut selama ini akan luntur seiring banyaknya pendatang. Siapa pun yang sudah menetap di Kampung Sawah harus menyesuaikan dengan nilai-nilai yang hidup di sana. Jangan paksakan nilai-nilai yang tidak sejalan dengan nilai-nilai warga Kampung Sawah kepada warga di sana.
Pola komunikasi
Kunci keberhasilan masyarakat Kampung Sawah untuk hidup toleran dalam keberagaman ada pada pola komunikasi mereka. Nalih menjelaskan, secara umum ada tiga cara atau pola komunikasi yang dibangun di tengah-tengah warga. Tiga pola komunikasi itu adalah pola komunikasi budaya, kehidupan, dan sosial.
Pola komunikasi kehidupan merujuk pada sikap tenggang rasa dan saling memiliki antarsesama. Contoh paling mudah adalah mengucapkan selamat dan turut berbahagia apabila melihat ada warga yang mendapat rezeki.
Adapun komunikasi budaya adalah kesamaan rasa bahwa mereka berasal dari leluhur dan nenek moyang yang sama, yaitu orang Betawi. Hal itu pula yang mendasari pada saat misa Natal beberapa jemaat gereja mengenakan pakaian tradisional Betawi lengkap dengan peci dan sarung. Suguhan makanan yang disajikan pun tidak jauh-jauh dari hidangan khas Betawi.
Sementara, pola komunikasi sosial diwujudkan dengan menjaga interaksi melalui pertemuan. Dalam pertemuan, tidak pernah ada pembahasan mengenai keunggulan agama masing-masing. Yang menjadi topik pembicaraan warga tak lain dan tak bukan adalah mengenai masyarakat Kampung Sawah dan pembangunan di sana.
Warga Kampung Sawah sangat percaya pertemuan mampu mengikis rasa saling curiga antarumat beragama di sana. Oleh sebab itu, mereka kerap kumpul bersama dalam momen-momen hari raya keagamaan dan juga rapat-rapat warga. ”Kalau ibarat orang mau percaya, ya harus sering bertemu. Semakin jarang bertemu akan sering curiga,” kata Nalih.
Karena pertemuan itu pula timbul rasa saling percaya di antara pemimpin agama. Rasa saling percaya bahwa saudara mereka yang berbeda agama akan memberikan yang terbaik dan tidak akan merusak atau menyerang saudaranya yang agamanya berbeda terus tumbuh. Hubungan saling percaya itu berupaya terus dipupuk sehingga warga Kampung Sawah tidak menaruh curiga satu sama lain.
Ketua Yayasan Pendidikan Fisabilillah KH Rahmaddin Afif (75) menyampaikan, hubungan harmonis yang terbangun di antara sesama warga Kampung Sawah telah berlangsung sejak abad ke-18. Selama itu pula warga terbiasa hidup berdampingan tanpa perselisihan.
Ia menceritakan, dulu saat sebagian besar warga belum memiliki kemampuan finansial yang baik, Kampung Sawah masih belum sebagus sekarang. Kala itu, mereka saling membantu untuk merenovasi atau membangun tempat ibadah, termasuk saling meminjamkan peralatan makan atau dekorasi untuk perayaan hari-hari besar keagamaan.
KH Afif mengajarkan kepada umat Islam di Kampung Sawah bahwa masalah agama, ibadah, dan keyakinan diserahkan kepada setiap individu. Oleh sebab itu, ia tak senang jika ada umatnya yang mencampuri atau mengomentari tata cara ibadah umat lain.
KH Afif kerap menegur jika ada orang yang memberikan petuah atau khotbah yang memojokkan umat lain di Kampung Sawah. Menurut KH Afif, pemahaman terhadap agama sebaiknya berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan masing-masing tanpa saling menekan.
”Agama boleh beda, tetapi umatnya harus tetap rukun,” katanya. Selain hidup toleran berdampingan dengan semangat persaudaraan yang erat, warga Kampung Sawah juga tetap mempertahankan budaya Betawi dalam kegiatan keagamaan mereka.
Pada minggu pertama setiap bulan, masih dapat disaksikan jemaat yang datang untuk beribadah dalam balutan busana khas Betawi. Baju kurung dengan warna terang mencolok dan dipadukan dengan sarung kain batik mengidentitaskan jemaat wanita. Bentuk lain merawat budaya Betawi adalah proses peribadatan yang dilakukan dengan menggunakan bahasa Betawi Kampung Sawah, seperti yang dilakukan pada beberapa abad yang lalu.